Sunday, December 30, 2018

Ini Lho American Sniper (2014)

Chris Kyle yakni seorang legenda dalam sekaligus satria dalam dunia kemiliteran Amerika Serikat. Mengabdi selama 10 tahun tepatnya dari 1999 hingga 2009, Chris sempat bertugas pada masa perang Irak. Disanalah namanya mulai dikenal sebagai sniper paling mematikan sepanjang sejara Amerika. Selama di medan perang ia telah menghabisi nyawa musuh sebanyak 160 orang, dan itu gres yang tercatat secara resmi. Bahkan konon bila menambahkan jumlah tidak resmi, angkanya bisa mencapai lebih dari 200 orang. Karena itulah ia menerima julukan The Devil of Ramadi. Rekan-rekannya di militer sendiri memanggil Chris dengan sebutan Legend. Membawa cerita patriotik ditambah pesan anti peperangan dan memasang kata “American” dalam judulnya memang menciptakan film ini seolah berteriak “minta Oscar”. Tapi dengan track record Clint Eastwood yang tengah menurun, apakah American Sniper memang layak menerima nominasi Best Picture?

Chris Kyle (Bradley Cooper) dibesarkan dengan fatwa dari sang ayah untuk tidak menjadi domba yang lemah maupun serigala yang gemar memangsan, tapi anjing penjaga yang bersedia dengan berani menolong mereka yang tertindas. Penanaman moral itu ditambah harapan Chris untuk menjadi “someone” mendorongnya untuk bergabung dengan Navy SEAL. Berbekal talenta alam dan pembinaan sewaktu kecil yang didapat dari berburu bersama sang ayah, Chris pun menjadi seorang penembak jitu paling handal dalam timnya. Dia tidak hanya menciptakan lawan gentar, tapi juga menawarkan rasa kondusif diantara teman-temannya. Seperti kebanyakan prajurit lainnya, masa paling ditunggu-tunggu yakni ketika penugasan usai dan mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga di rumah. Begitu pula dengan Chris yang selalu dinanti kepulangannya oleh sang istri, Taya (Sienna Miller). Tapi pada kenyataannya tidak gampang bagi Chris untuk hidup tenang di rumah. Pikirannya selalu tertuju pada medan perang. Apalagi ia masih belum berhasil menghabisi sasaran yang telah banyak melukai bahkan membunuh rekan-rekannya.
Tidak gampang menciptakan film anti-war, sebab salah sedikit saja akan merubah pesannya 180 derajat menjadi memuja peperangan entah sebab “keseruan” yang hadir dalam filmnya atau sebab kesan bahwa perang beserta segala kerugiannya memang dibutuhkan untuk menjaga kedamaian dunia. Lewat filmnya ini Clint Eastwood menentukan pendekatan yang kondusif cenderung klise. American Sniper terang bukan Apocalypse Now yang menyuguhkan horror peperangan ataupun Full Metal Jacket yang berfokus pada kerusakan psikologis prajurit untuk meneriakkan anti peperangan. Filmnya memang berfokus pada proses perubahan sosok Chris yang tadinya riang dan humoris menjadi seolah kehilangan sisi kemanusiaannya. Film ini memperlihatkan bagaimana medan perang bisa merubah kepribadian seseorang, merusak psikisnya. Saya tidak bermaksud begitu saja membandingkan film ini dengan Full Metal Jacket, tapi perbandingan perlu dilakukan untuk mengupas kenapa American Sniper masih terkesan klise meski berfokus pada degradasi psikis karakternya.

Dalam filmnya Stanley Kubrick total berfokus pada segala siksaan dan kegilaan yang harus dialami karakternya hingga kesannya ia terseret dalam kegilaan pula. Tidak ada “distraksi” lain dalam plot-nya kecuali horror psikologis ketika secara sedikit demi sedikit dan mendetail kita dibawa melihat sang huruf kehilangan nalar sehat. Karena itulah penonton bisa dibentuk mengutuk perang yang mampu merusak kemanusiaan seorang manusia. American Sniper tidak menyerupai itu. Kita mellihat transformasi Chris, kita tahu kenapa itu terjadi, tapi tidak diajak menengok secara jauh lebih mendalam akan prosesnya. Lalu bagaimana cara Eastwood menciptakan penonton membenci perang? Dia memakai cara paling simple kalau tidak mau dibilang standar. Berikan tokoh prajurit itu sosok orang tercinta yang menunggu kepulangannya. Penonton diajak untuk berada pada posisi Taya yang terganggu dengan perubahan Chris. Kita juga diajak untuk menyerupai Taya yang selalu cemas apakah sang suami akan pulang dengan selamat. Dengan begitu kita akan bersimpati pada Taya kemudian mengutuk peperangan. Karena simpati itu juga kita akan peduli pada keselamatan Chris, dan dari situlah tercipta ketegangan.
Menyelipkan unsur cinta untuk mengangkat kedua aspek itu (anti-war dan ketegangan). That’s the oldest trick in the book. Tapi jangan salah, dengan pernyataan diatas termasuk perbandingan dengan Full Metal Jacket bukan berarti saya mengkritisi pemilihan cara bertutur Eastwood. Memang cara itu sudah jauh dari kata baru, tapi bukan berarti ketinggalan jaman dan tidak efektif. American Sniper tidak menawarkan dobrakan tapi masih terasa besar lengan berkuasa baik pada drama dengan segala pesannya hingga ketegangan yang hadir di medan perang. Mungkin tidak hingga pada tahap yang begitu tinggi, tapi film ini tetap berhasil memercikkan kebencian akan perang dalam diri saya, meski bahwasanya imbas itu terbantu oleh fakta bahwa rasa benci tersebut sudah sedari awal saya miliki. Saya bersimpati dan peduli pada nasib karakternya, ketegangan pun berhasil disajikan dalam setiap baku tembak atau tarikan pelatuk Chris yang seringkali penuh keraguan. Ada alasan kenapa suatu formula termasuk yang ada disini menjadi standar alias sering dipakai, yakni sebab keefektifannya.

Para pemainnya sendiri menyajikan akting yang bagus. Bradley Cooper yang lewat kiprahnya dalam film ini berhasi mengantongi nominasi Oscar untuk tiga kali secara berturut-turut berhasil menghidupkan Chris dengan segala “gangguannya” namun belum dalam tahapan kegilaan total. Chris Kyle terang berbeda dengan Michael Sheen di Apocalypse Now yang totally out of “it”. Chris masih ada dalam proses menuju dan tidak pernah hingga pada tingkatan itu. Cooper anggun sebab transformasinya dari Chris yang cerah menjadi gloomy. Tanpa perlu berkata-kata kita sudah bisa membedakan dua sisi tersebut hanya dari tatapan matanya. Sienna Miller mungkin tidak menerima porsi yang membuatnya berakting sekelas Cooper, tapi itu sudah cukup menciptakan karakternya terasa simpatik. Pembawaannya yang tak berdaya menciptakan kita bersimpati, tapi simpati lebih besar lagi hadir ketika Miller bisa memperlihatkan seorang perempuan yang begitu sabar dan menyayangi sang suami tanpa perlu terasa berlebihan. American Sniper yakni film ketika Clint Eastwood kembali ke “jalan yang benar”. Belum hingga pada tingkatan terbaiknya tapi terang pencapain memikat bagi seorang sutradara berusia 84 tahun. Memang pilihan sempurna disaat Eastwood mengemas filmnya dengan sederhana tapi efektif. Salah satu adegan favorit saya yakni ketika Bradley Cooper (dengan tatapan kosong memendam horror) duduk memandang televisi yang mati tapi terdengar bunyi mencekam dari medan perang. 

Artikel Terkait

Ini Lho American Sniper (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email