Friday, December 28, 2018

Ini Lho Melancholy Is A Movement (2015)

Bicara soal misleading trailer, film ini jadi salah satu teladan terbaik. Dari potongan-potongan yang dihadirkan trailer-nya, saya dibentuk percaya bahwa ini komedi satir biasa wacana seorang sutradara yang harus melepaskan idealisme sebab tuntutan keadaan. Ditambah beberapa kepingan jokes yang menggelitik tapi tidak cerdas-cerdas amat, saya hanya berekspektasi dihibur dikala film ini mentertawakan banyak sekali aspek yang disindir. Makara alangkah terkejutnya saya begitu mendapati Melancholy is a Movement bukan sekedar tontonan satir melainkan dreamlike surreal yang sulit dipecahkan. Sinopsis yang bertebaran tidak salah. Film ini memang bercerita wacana Joko Anwar yang sebab tuntutan dana serta kegundahan hati memutuskan menciptakan film religi. Sinopsis itu benar, bahkan trailer-nya sendiri tidak salah. Tapi bukan cuma itu yang disajikan sutradara sekaligus penulis naskah Richard Oh disini. Saya lupa kalau beliau yaitu orang yang juga menciptakan Koper sembilan tahun lalu.

Suasana sunyi, nuansa melankoli, long take dengan kamera steady yang "tidak menawarkan apapun", surrealisme layaknya mimpi, saya pun eksklusif teringat pada karya-karya Apichatpong Weerasethakul. Dingin tapi meditatif. Terksan tanpa jiwa tapi mengalun lembut menghasilkan misteri. Misteri memusingkan berupa mimpi dalam hidup atau kehidupan dalam mimpi. Dalam sebuah adegan, Joko Anwar menyarankan pada Upi yang tengah dipusingkan oleh proses syuting FTV untuk meletakkan kamera statis, mengambil gambar karakternya yang membisu tanpa melaksanakan apapun supaya penonton merasa ada sesuatu yang "deep deep gimana gitu". Persis menyerupai itu juga yang dilakukan Richard Oh disini. Kita dibiarkan melihat sebuah ruang tengah di malam hari tanpa ada apapun, sedangkan dari kejauhan Joko sedang sibuk di dapur. Adegan semacam itu tidak hanya muncul sekali. Mungkin Richard Oh sedang berusaha memunculkan aura melankolis yang gloomy (dimana itu berhasil). Atau mungkin beliau sedang "mempermainkan" para penonton yang berpikir terlalu rumit dalam menyusun interpretasi.
Semua itu masih ditambah rangkaian adegan-adegan lain yang semakin absurd, semakin gila dan sanggup tiba-tiba melompat secara acak ke momen yang tidak terasa linier dengan bencana sebelumnya. Memang terasa menyerupai mimpi. Pengemasan layaknya puzzle tak beraturan itu menjadikan Melancholy is a Movement sebagai tontonan segmented. Semakin segmented lagi dengan selentingan-selentingan yang diangkat Richard Oh untuk disindir lewat naskahnya. Beberapa sindiran (dan curhatan) memang universal, tapi banyak yang tidak. Banyak info bukan merupakan bencana umum, dan mungkin penonton tidak akan merasakannya bila mereka bukanlah orang yang terjun atau menggemari suatu dunia tertentu. Atau dalam hal ini film khususnya sutradara. Keberadaan sindiran dalam bentuk komedi itu yang membedakan film ini dengan karya-karya Weerasethakul, Winding Refn, Lynch, atau terserah, siapapun itu sutradara dengan film dreamlike surreal kelam. Tentu saja perbandingan yang saya lakukan ini sebatas pada atmosfer serta sedikit gaya, bukan secara menyeluruh.
Film ini nyinyir dengan gaya yang unik. Tapi aspek yang sedikit mengganggu bagi saya berkaitan dengan komedi yaitu beberapa banyolan yang terlalu lugas, straight to the point. Sebagai teladan lihat saja guyonan dalam trailer film ini. Tidak mengurangi kualitas film secara signifikan, tapi tidak bersatu tepat dengan kelamnya "alam mimpi" yang ditampilkan Richard Oh. Biar begitu saya suka dengan apa-apa saja yang disindir oleh film ini. Hal itu menjawab juga pertanyaan kenapa harus Joko Anwar yang menjadi pemeran utama. Jika harus sutradara orisinil untuk mengakibatkan kesan meta, kenapa harus dia? Secara akting tidaklah buruk, tidak juga spesial. Layaknya film-film Weerasethakul, pemeran utama dituntut memasang serta pengucapan obrolan datar. Tapi di samping itu, bila anda sering mengikuti segala celotehan Joko di akun twitter-nya, anda akan tahu lebih banyak didominasi  hal dalam film ini sudah sering ia lontarkan. Maka begitu film ini hadir memajang wajahnya sebagai fokus utama, kesan related hadir begitu kuat. Sulit membayangkan sosok (sutradara) lain yang lebih cocok.

Melancholy is a Movement sejatinya dipenuhi curhatan, bahkan sanggup jadi berasal dari kehidupan Richard Oh sendiri. Penuh perenungan wacana ganjalan demi ganjalan dalam berkarya serta korelasi seorang sutradara dengan karya tersebut. Aneh, bahkan sangat sederhana bila ditinjau dari segi teknis. Tapi saya suka film menyerupai ini. Menantang penonton untuk berpikir lebih jauh terlepas benar/salah atau ada/tidaknya suatu interpretasi. Begitu pula alur yang mengalir lambat dan hambar serta beberapa adegan dengan kamera statis yang seolah tidak menampilkan apapun. Saya suka semua itu. Menilai sebuah fim manis hanya sebab berbeda memang terasa amat menggampangkan. Tapi salah satu alasan kenapa Melancholy is a Movement begitu berkesan bagi saya memang sebab film dengan bentuk penggarapan menyerupai ini sudah usang saya impikan hadir dalam perfilman Indonesia. Film macam apa? Dingin, misterius, menggelitik dan pastinya deep deep gimana gitu. Dazed and confused tepat menggambarkan perasaan penonton pada film ini, terlepas suka atau tidak. Saya pun memaklumi reaksi mereka yang ada di bioskop bersama saya dimana lebih banyak didominasi tidak segera beranjak meski credit title telah bergulir. 

Artikel Terkait

Ini Lho Melancholy Is A Movement (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email