Saturday, December 29, 2018

Ini Lho St. Vincent (2014)

Grumpy old man and innocent kid, formula klasik yang sama sekali tidak dirubah pengemasannya oleh sutradara Theodore Melfi dalam debutnya. Vincent (Bill Murray) yakni veteran perang Vietnam yang kesehariannya diisi dengan mabuk-mabukan, judi pacuan kuda, hingga berafiliasi dengan pelacur Rusia yang tengah hamil, Daka (Naomi Watts). Ditambah ekspresi pedas yang tidak segan mencela siapapun, Vincent pun jauh dari kesan orang renta panutan apalagi likable. Sebagai laki-laki yang membenci dan dibenci hampir semua orang, kedatangan Maggie (Melissa McCarthy) dan anaknya Oliver (Jaeden Lieberther) dipastikan bakal membawa masalah. Baru pada hari pertama, Vincetn dan Maggie sudah terlibat pertengkaran. Tapi sebuah kesiaan yang menimpa Oliver di sekolah membuatnya mau tidak mau harus menghabiskan hari di rumah Vincent ketika sang ibu tengah bekerja. Bisa ditebak, hubungan orang renta  kasar dan bocah polos ini bakal menjadi persahabatan yang membantu mereka menangani duduk masalah masing-masing. 

Vincent yakni lansia dengan tingkah seenaknya, ekspresi tajam dan gaya keren. Oliver yakni bocah polos yang sanggup tiba-tiba berubah jauh lebih remaja dari usianya. Kita pernah melihat Johnny Knoxville dalam makeup tebal sebagai kakek mesum yang gila lewat Bad Grandpa, jadi Bill Murray akan terlihat waras. Banyak hal termasuk abjad begitu klise disini. Ekspektasi berada pada titik terendah, kecuali untuk performa Murray. Pada hasilnya hingga film usai tidak ada twist apapun yang diberikan oleh Theodore Melfi. Semuanya tetap predictable sampai akhir. Tapi pemaksimalan pada setiap aspek dan penampilan cantik masing-masing pemeran menyebabkan St. Vincent sebagai drama komedi wacana "memperbaiki hidup" yang langka. Tidak hanya lucu, film ini juga terasa hangat materi cukup menyentuh pada beberapa momen.
Vincent sebagai titular character jelas reasonable dan menarik. Hal ini penting agar penonton sanggup terikat dan memahami sosoknya. Vincent punya masa kemudian berat, pernah ikut perang Vietnam, kondisi ekonomi yang jelek dan harus mendapatkan fakta bahwa sang istri, Sandy (Donna Mitchell) menderita alzheimer yang membuatnya tidak lagi sanggup mengenali Vincent. Alhasil segala sisi agresif dari Vincent punya alasan kuat. Ditambah lagi, seiring berjalannya waktu kita diajak perlahan melihat sisi lembutnya mulai ketika Vincent secara rutin berpura-pura sebagai dokter untuk mengunjungi sang istri, hingga ketika ada sedikit rasa iba ia tunjukkan terhadap Oliver. Karena hal-hal itu gampang bagi aku bersimpati pada Vincent. Tentu saja itu pun alasannya yakni kesan keren yang berpengaruh dari sosok ini. Tidak terlalu dalam, tapi setidaknya menawarkan latar belakang yang cukup dan pasti. 
Semakin menarik ketika masing-masing pemain sanggup memanfaatkan keklisean abjad mereka justru menjadi keunikan. Jangan ragukan Bill Murray dalam fase melucu dengan penuh sinisme serta ekspresi datar. Ada alasan berpengaruh kenapa laki-laki dengan wajah yang jauh dari kesan ramah ini dijuluki the funniest man in the world. Sarkasme dan ajukan agresif sanggup termaksimalkan potensi kelucuannya bila dilontarkan oleh Murray. Jaeden Lieberher yang harus banyak menyebarkan adegan dengan Murray pun tidak buruk. Disaat karakternya sering tidak konsisten (kadang polos, kadang terlalu dewasa), akting Jaeden menciptakan sosok Oliver tidak berlebihan. Melissa McCarthy dan Naomi Watts melaksanakan hal sama: merubah abjad klise menjadi unik alasannya yakni abjad itu berbeda dari yang selama ini identik dengan keduanya. McCarthy dalam tugas paling seriusnya ternyata cukup baik. Adegan emosional ia tangani dengan baik. Naomi Watts dengan aksen Rusia, gestur liar, dan kalimat ceplas ceplos yakni scene stealer.

Saya suka komedinya. Salah satu yang terlucu dari rilisan tahun 2014 berkat penghantaran lawakan khususnya oleh Bill Murray. Untuk drama, aku justru merasa kualitasnya tidaklah konsisten. Kadang hangat, kadang menyentuh, tapi kadang pula membosankan. Hangat melihat bagaimana di dalam sosok Vincent yang keras ternyata ada seorang laki-laki penuh kasing sayang dan peneritaan. Kata "mengharukan" sendiri pantas disematkan pada bab konklusi. St. Vincent meski berisikan laki-laki renta yang agresif terang merupakan feel good movie. Konklusinya tidak saja berkesan positif tapi juga memperlihatkan bahwa semua abjad yang ada semakin mempunyai harapan, dan mendekati definisi "orang baik". Sebuah konklusi yang tidak saja klise tapi naif. Tapi tidak semua film harus berbeda, dan kata "klise" tidak selalu berakhir buruk. St. Vincent terbukti berhasil mengaduk-aduk perasaan lewat komedi lucu dan drama positif yang hangat. Sama menyerupai kisahnya yang membawa pesan bahwa orang menyerupai Vincent pun tidak serta merta buruk. Bahkan bagi Oliver, Vincent yakni seorang saint.

Artikel Terkait

Ini Lho St. Vincent (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email