Friday, December 28, 2018

Ini Lho Black Sea (2014)

Sejatinya Black Sea tidak jauh beda dengan kapal selam yang menjadi setting utamanya. Keduanya sama-sama beresiko. Jika ditangani dengan pintar, film dengan satu lokasi sempit bisa mendatangkan keberhasilan besar, sama ibarat kapal selam di medan perang. Namun satu kesalahan fatal bisa merusak semuanya. Semua kru di kapal bisa terbunuh, dan bagi filmnya sendiri sanggup menghilangkan intensitas, hanya memunculkan kesan monoton. Kevin Macdonald selaku "kapten" bagi film ini pertanda ia bisa membawa Black Sea bertahan hidup meski tidak berhasil meraih kejayaan ibarat yang diharapkan. Karakter utamanya yaitu Robinson (Jude Law), veteran angkatan bahari yang mendapati dirinya gres saja dipecat sehabis puluhan tahun mengabdi. Respon yang ia munculkan ketika mendengar itu sudah cukup menggambarkan sakit hati dan amarahnya.

Bagaimana tidak? Selama puluhan tahun Robinson harus menghabiskan secara umum dikuasai hidupnya di laut, meninggalkan anak dan istrinya, hingga berujung pada perceraian. Kini ia sendirian, mendapati keluarganya hidup dengan seorang laki-laki kaya sedangkan ia miskin. Hanya satu hal yang Robinson tahu, yakni menjadi kapten sebuah kapal selam. Karena itu ia tidak berpikir dua kali ketika menerima usulan mengambil harta bernilai puluhan juta pounds peninggalan Hitler pada masa perang dunia II. Harta tersebut berada di dasar laut, tepatnya tenggelam bersama sebuah kapal selam Jerman. Robinson pun mulai mengumpulkan kru yang terdiri dari separuh orang Inggris dan separuh orang Rusia. Naskah goresan pena Dennis Kelly memanfaatkan banyak sekali macam konflik yang terjadi ketika pencarian harta. Baik konflik yang berasal dari medan perairan berbahaya maupun konflik antar kru dalam kapal.
Perjalanan ini memang punya semua jalan untuk memunculkan konflik. Segalanya terasa salah. Jangan bayangkan sebuah kapal selam canggih dan fresh seperti milik Steven Siegel dalam Under Siege. Robinson dan kru menerima sebuah kapal berkarat dengan mesin rusak dimana-mana. Tidak berlebihan untuk disebut sampah logam. Begitu pula dengan kru yang ada. Sedari awal sudah terbentuk kubu antara orang Inggris dengan Rusia. Ditambah lagi dengan kehadiran Ben Mendelsohn dalam tugas khanya sebagai Fraser yang gila. Semua bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebagai penonton kita pun tahu bahwa ledakan itu akan segera terjadi. Menghilangkan unsur kejutan, tapi bisa dimanfaatkan untuk membangun ketegangan sebab antisipasi yang hadir. Muncul tantangan lebih bagi Macdonald sebab ketegangan harus dibangun dalam setting sempit.

Poin utama thriller satu lokasi yaitu menghadirkan kesan klaustrofobik bagi penonton. Penonton harus bisa ikut mencicipi betapa pengap, sesak dan memuakkannya kawasan tersebut. Untuk itu Black Sea masih terlalu segar dan ringan. Masih banyak ruang bernafas dalam thriller ini. Muncul banyak pertengkaran, tapi tidak menciptakan saya tercekik. Kebanyakan jawaban pembangunan sekaligus resolusi yang terlalu cepat. Seperti ketika orang Inggris dan Rusia berselisih kemudian berujung pada masing-masing menguasai separuh penggalan kapal. Konfik itu berakar dari sebuah pembunuhan, dan bahkan bisa jadi template bagi satu film penuh. Tapi Dennis Kelly hanya menjadikannya sebagai sub-plot yang pada eksekusinya oleh Macdonald tidak bertahan hingga 15 menit. Begitu pula konflik lain yang tiba silih berganti begitu cepat. Bermaksud tidak berlama-lama pada satu titik, yang terjadi justru kesan terburu-buru.
Belum sempat saya merasa terikat, suatu permasalahan telah usai dan berganti dengan yang lain. Memang sering berujung pada kematian, tapi bahkan di ruang sempit itu aroma bacin mayit tidak tercium sedikitpun. Dalam artian, sebagai penonton saya tidak pernah benar-benar diajak hadir pribadi mencicipi ketidak nyamanan di dalam kapal selam tersebut. Pemilihan Macdonald untuk melaju cepat sebab banyaknya konflik yang dituangkan Kelly memang berujung tidak terikatnya penonton dengan cerita, tapi disisi lain hal itu berhasi menciptakan filmnya jadi suguhan seru. Tidak begitu menegangkan, tapi masih menyenangkan. Setiap teriakan, setiap maut dan setiap hantaman di tubuh kapal tidaklah menyesakkan, tidak mendebarkan, tapi cukup untuk menjaga intensitas setidaknya dalam kondisi stabil. 

Sebagai drama, Black Sea juga menonjolkan tema keserakahan. Robinson dan kawan-kawannya yaitu korban keserakahan para pemilik modal yang memanfaatkan mereka untuk menerima keuntungan, tapi begitu uang didapat mereka pun dibuang begitu saja. Terdapat kebencian akan pihak kaya, khususnya dalam diri Robinson yang berulang kali mengingatkan pada kru bahwa mereka harus berhasil jikalau tidak mau terus ditindas. Hingga kemudian keserakahan juga turut menyerang para kru, berdampak pada konflik antara mereka. Tapi yang paling menarik yaitu ketika Kelly memperlihatkan sentuhan ambiguitas dalam diri Robinson selaku huruf utama. Memulai dongeng sebagai sosok "putih" yang terluka, perlahan Robinson mulai bertransformasi. Tiap perintah yang tadinya bertujuan semata-mata demi keselamatan kapal makin usang bermetamorfosis demi bisa membawa pulang emas. Jude Law dengan mulus menghadirkan transformasi tersebut. Dari kapten kapal yang handal menjadi laki-laki hancur yang dibutakan kekayaan.

Verdict: Black Sea isn't that thrilling but definitely very entertaining. Walaupun kelam tapi minim kedalaman pada konflik yang menciptakan penonton tidak terikat sekaligus melucuti potensinya sebagai thriller klaustrofobik. Untungnya Kevin Macdonald masih tahu cara menciptakan hiburan non-stop yang bergerak cepat, menjaga filmnya semoga tidak karam.

Artikel Terkait

Ini Lho Black Sea (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email