Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Honeymoon (2014)

Tentu saja dengan judul Honeymoon, film ini mempunyai abjad utama yang tengah berbulan madu. Mereka yaitu Paul (Harry Treadaway) dan Bea (Rose Leslie). Keduanya berbulan madu di sebuah kabin milik keluarga Bea yang terletak di tempat resort terpencil (yep, another cabin in the wood scenario). Seperti yang sudah sanggup ditebak, bulan madu yang awalnya penuh romansa dan kebahagiaan ini perlahan mulai berubah ketika pada suatu malam Paul menemukan Bea bangun di tengah hutan dalam kondisi telanjang. Bea mengaku ketika itu ia mungkin berjalan sambil tidur, tapi sosok Bea yang tadinya riang semenjak ketika itu mulai berubah semakin aneh. “Apa yang terjadi pada Bea?” Seharusnya pertanyaan itu terus berputar di pikiran saya sepanjang film, tapi nyatanya tidak. Kemunculan sekilas suatu cahaya terang menyerupai lampu sorot di tengah malam pada awal film sudah menjelaskan apa yang akan terjadi.

Sutradara debutan Leigh Janiak mengemas filmnya ini sebagai slow-burning horror. Temponya lambat. Permainan intensitas tidak bergantung pada scare jump melainkan atmosfer yang diperkuat oleh scoring. Kesan angker dan mengganggu dihadirkan lewat segala ketidak beresan yang terjadi pada sosok Bea. Akting dan chemistry kedua pemain utamanya pun kuat. Ditambah dengan penyutradaraan Leigh Janiak yang solid, seharusnya Honeymoon jadi sajian horror memikat yang tidak murahan. Seharusnya film ini yaitu angin segar di tengah busuknya sajian horror mainstream tahun 2014 kemudian (I’m talking about Hollywood). Tapi “hanya” alasannya beberapa kekurangan saja, semua itu gagal dan menyebabkan film ini sebagai sajian medioker yang membosankan. Kekurangan pertama ada pada aspek misteri. Potensi misteri disini ada pada pertanyaan diatas, yaitu “apa yang terjadi pada Bea?”. Atau kalau lebih luas lagi dengan melihat pasagan Will dan Annie, pertanyaannya yaitu “hal gila apa tolong-menolong yang terdapat di tengah hutan?"
Film ini terang sama sekali tidak mengakomodir pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk hadir dalam benak penonton. Saya yakin hamper semua penonton sudah tahu harus mengasosiasikan “cahaya misterius” dengan apa. Saya sendiri berharap akan ada twist wacana identitas cahaya itu, tapi tidak terjadi. Dengan balasan pertanyaan yang sudah diketahui, suatu misteri pun jadi tidak menarik lagi. Disisi lain kalau Leigh Janiak memang sengaja memberi tahu hal tersebut filmnya tidak pernah dikemas kearah sana. Narasinya masih berjalan dengan arah menggiring penonton kedalam suatu misteri. Alhasil, Honeymoon terasa sebagai sebuah sajian misteri yang sama sekali tidak mempunyai misteri, alias kosong. Ceritanya sendiri tidak punya daya jual selain kecacatan Bea, dan pertengkarannya dengan Paul memperdebatkan kecacatan itu. Tidak ada hal lain yang ditawarkan, film ini pun terasa hanya berputar-putar, tanpa pernah beranjak. Istilah slow-burning merujuk pada tontonan yang bergerak perlahan tapi pasti, dan film ini tidak. Setelah lebih dari 20 menit awal tanpa terjadi apapun, begitu terjadi sesuatu saya tidak diajak untuk beranjak. Membosankan.
Daripada memperlihatkan rasa takut, film ini lebih sering menghadirkan rasa kesal dan geli. SPOILER (jika anda tidak sanggup menebak identitas cahaya “misterius”) Tentu saja kesal, alasannya disaat saya berharap ditakut-takuti, yang lebih sering hadir justru sepasang suami istri muda yang saling bertengkar tanpa argument masuk logika dan pertengkaran itu sama sekali tidak pernah beranjak untuk menghasilkan sesuatu. Geli, alasannya lewat film ini saya mendapat pengetahuan bahwa penyebab kebodohan paling berbahaya ternyata bukan tontonan tak bermutu televise atau institusi pendidikan yang tidak becus tapi alien. Alien sanggup membuatmu lupa cara menciptakan roti, cara menciptakan kopi, identitas diri, hingga fakta bahwa insan tidak sanggup bernafas dalam air pun sanggup terlupakan. Kalau dibayangkan, memang angker kalau kelak istri saya tiba-tiba lupa cara memasak atau menciptakan kopi.

Honeymoon membuang potensinya menjadi horror yang cerdas dan punya hati. Bermodalkan sepasang suami istri yang senang ketika bulan madu sebelum hasilnya semua romansa itu dihancurkan harusnya film ini sanggup begitu intens, shocking, bahkan tragis. Pembukanya sudah cukup meyakinkan ketika chemistry pemainnya menciptakan saya bersimpati pada Paul dan Bea, tapi sehabis itu semuanya lenyap. Sempat ada momen yang cukup menyeramkan dan disturbing pada klimaks, tapi lagi-lagi dihancurkan oleh sebuah ending yang maunya tragis tapi justru menggelikan. Jujur saja saya benar-benar ingin menyukai film menyerupai ini. Sebuah film kecil dari sutradara debutan yang bersemangat untuk menyajikan karya sederhana tapi cerdas. Di tengah gempuran horror mainstream yang begitu membosankan, film macam Honeymoon sangat ingin saya apresiasi lebih. Tapi saya tidak bisa, alasannya alih-alih seram, horror ini justru menggelikan.

Artikel Terkait

Ini Lho Honeymoon (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email