Friday, December 28, 2018

Ini Lho Badlands (1973)

Seperti apa dunia beserta segala isinya di mata Terrence Malick? Ambil sehelai daun, mintalah orang biasa mendeskripsikannya, mungkin apa yang terlontar tidak jauh dari: "berwarna hijau" atau "bagian dari tumbuhan." Tapi berikan pada Malick, maka ia akan memberi deskripsi berupa untaian kalimat panjang bersayap nan filosofis yang menyentuh ranah pemaknaan hidup dan mati. Bisa jadi lebih. Badlands adalah debut penyutradaraan Malick yang naskahnya mulai ditulis ketika ia gres berusia 27 tahun. Sekilas bukan hal spektakuler, namun menengok apa yang ia tuturkan dalam film, saya tidak dapat untuk tidak ingin tau perjalanan self-discovery macam apa yang telah beliau tempuh. Seperti dominan filmnya yang lain, Badlands juga meliputi banyak sekali tema besar mengenai hidup dan mati memakai kisah cinta sebagai perantara. Dua insan yang jatuh cinta yaitu Kit (Martin Sheen) dan Holly (Sissy Spacek).

Holly yang gres berusia 15 tahun tinggal berdua bersama sang ayah di kota kecil tempat South Dakota. Akrab dengan kesendirian, Holly tumbuh sebagai gadis cukup umur pendiam, tidak terkenal dan lugu. Pertemuannya dengan Kit merubah jalan hidup Holly. Kit berusia 10 tahun lebih tua, bekerja sebagai pemungut sampah dan bergaya "rebel" ala James Dean. Diam-diam keduanya saling jatuh cinta. Perjalanan rumit romansa keduanya terjadi ketika Kit terlibat perkara pembunuhan yang memaksa mereka kabur melintasi padang gurun, hidup di alam liar, sambil berusaha melindungi diri dari kejaran banyak pihak. Berisikan romansa berbumbu kriminalitas semacam itu, perbandingan dengan Bonnie and Clyde memang sulit terelakkan. Walau terkesan mirip, kedua film ini sejatinya amat berbeda. Karakter, pengemasan, suasana, tema, semuanya begitu berbeda.
Sejauh ini Badlands merupakan film Malick paling dekat yang pernah saya tonton, dalam artian minim simbolisme ala The Tree of Life atau free-flowing narrative macam To the Wonder (saya belum menonton Days of Heaven dan The Thin Red Line). Narasi memang lebih linear, tapi DNA Malick yang kita kenal kini sudah mengakar kencang sedari debutnya ini. Seolah menawarkan bahwa gayanya bertutur merupakan panggilan rasa, bukan sekedar pengolahan trial & error secara teknis. Sepanjang film voice over dari Holly hampir selalu terdengar menarasikan kisah. Sissy Spacek tidak berbisik layaknya Jessica Chastain tapi tetap dengan intonasi datar yang dengan ajaibnya dapat terasa tragis, mengerikan, bahkan indah tergantung adegan di layar. Voice over digunakan Malick tidak dengan fungsi "memudahkan" penonton layaknya film mainstream Hollywood, melainkan benar-benar sebagai alat bantu bertutur. 
Momen yang tak sempat disajikan gambarnya jadi tetap dapat terwakili dengan narasi tersebut. Gambar dan bunyi alhasil jadi kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Saling mengisi dan melengkapi untuk membangun plot layaknya mimpi yang digerakkan oleh mood. Alurnya memang bersahabat, dimana ada titik awal, tengah serta selesai yang jelas. Namun perjalanan dari satu titik menuju yang lain tetaplah sebuah mood-driven daripada plot-driven. Inilah keajaiban seorang Terrence Malick. Disaat film pada umumnya memakai kejadian signifikan alias "terjadi sesuatu" untuk menciptakan penonton ikut mencicipi batin karakter, Badlands langsung membawa kita pada perasaan itu. Tidak perlu terjadi apapun untuk dapat tahu isi rasa karakternya. Rasanya ibarat jatuh cinta. Saat jatuh cinta, alasan ibarat kecantikan, kebaikan hati, kepintaran yaitu pendukung yang hadir belakangan. Momen pertama ketika cinta itu datang, kita tak tahu kenapa. Saya juga tanpa sadar menyukai Badlands, namun kesulitan untuk menyebut alasan kasatmata secara terperinci.

Sepanjang perjalanan Kit dan Holly, begitu banyak yang coba dituturkan Malick. Narasi Holly merupakan perpanjangan mulut Malick dalam pencurahan isi hatinya. Begitu banyak yang dituturkan, tapi tidak terasa penuh sesak tak beraturan. Kehidupan dan maut pastinya jadi pokok bahasan favorit sang sutradara. Sebagai kisah cinta, film ini berkisah perihal sepasang insan yang dapat dibilang outsider. Holly penuh keluguan, tapi ekspresi dan intonasi bicara Sissy Spacek selalu memunculkan kesan cuek dan mencekam yang ditumpuk oleh rasa kesepian. Sedangkan Martin Sheen sebagai Kit yaitu cool guy yang sekilas berkebalikan dari Holly, namun seiring perjalanan makin menawarkan sisi psychotic yang berkulminasi pada ending. Inilah cara Malick menghadirkan kisah cinta terlarang. Keduanya sedari awal nampak begitu berbeda, hingga seusai perjalanan panjang kepribadian mereka bagai bersilangan. Tetap berseberangan namun bertukar posisi.

Verdict: Apa saja yang dibutuhkan dari film Terrence Malick baik dari aspek teknis (visual indah plus musik pembangun mood) hingga kisah filosofis dipunyai Badlands. Malick menawarkan semua hal punya dua sisi. Romantis-Tragis, Indah-Kejam, Bahagia-Sedih, Hidup-Mati.

Artikel Terkait

Ini Lho Badlands (1973)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email