Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Foxcatcher (2014)

Another biographical sport drama from Bennett Miller, another Oscar contender, another surprisingly great dramatic performance by famous comedian. Film ini merupakan penyesuaian dari autobiografi milik Mark Schultz yang berjudul Foxcatcher: The True Story  of My Brother's Brother, John du Pont's Madness, and the Quest for Olympic Gold. Dari judul panjang tersebut tentunya kita sudah bisa banyak mengetahui akan bertutur wacana apa Foxcatcher ini. Kisahnya terjadi pada pertengahan 80-an, disaat pegulat sekaligus pemenang medali emas Olimpiade, Mark Schultz (Channing Tatum) tengah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kejuaraan dunia tahun 1987. Selama ini Mark terus berlatih bersama sang kakak, Dave Schultz (Mark Ruffalo) yang juga seorang peraih medali emas Olimpiade. Meski sama-sama berstatus juara Olimpiade, Mark selalu merasa ada di bawah bayang-bayang sang kakak. Karena itu ketika tiba usulan dari philantropist sekaligus penggemar gulat berjulukan John du Pont (Steve Carell) untuk bergabung dengan tim "Foxcatcher" dengan bayaran tinggi serta akomodasi lengkap, Mark eksklusif menerimanya.

Pada awalnya Foxcatcher tidak nampak berbeda dari aneka macam drama olahraga lain yang bertutur wacana impian, kesuksesan sampai kejatuhan. Tanpa perlu mengetahui cerita sebenarnya terlebih dulu, penonton bisa menebak bahwa Mark akan meraih kesuksesan yang ia dambakan sebelum suatu pukulan telak menghancurkan semuanya. There's something wrong with John du Pont, dan penonton sudah bisa meraba itu sedari pertemuan pertama kali antara ia dengan Mark. Tapi yang menjauhkan film ini dari formula standar biopic Hollywood ialah penggarapan dari Bennett Miller. Dia mengeksplorasi perasaan sepi, depresi dan penderitaan tanpa berusaha mendramatisirnya dengan berlebihan. Sebuah langkah yang berani dari Miller ialah ketika ia mengemas filmnya supaya mendukung segala atmosfer kelam itu semaksimal mungkin. Berani, sebab dari situ Bennett Miller menentukan untuk mengeksploitasi kesunyian (literally). Tentu masih ada sentuhan scoring Rob Simonsen dan West Dylan Thordson, tapi hanya seperlunya saja. Diluar itu, Foxcatcher cukup sering membiarkan kesunyian yang hambar merambat, mengesankan sisi horror nan disturbing terpancar dari sosok John du Pont.

Film ini pun pada akibatnya terkesan begitu sunyi dan depresi, suatu hal yang mungkin bakal menciptakan banyak penonton berpaling darinya. Bagi aku justru itulah yang menyebabkan Foxcatcher terasa spesial. Digerakkan oleh mood serta rasa yang terbangun secara alamiah dan bukan dari momen dramatis "buatan" Foxcatcher terasa begitu besar lengan berkuasa meski pada akibatnya hal itulah yang menciptakan film ini menjauh dari selera para juri Oscar, membuatnya tidak meraih nominasi Best Picture. Ini ialah suatu bencana penuh ironi disaat hal berjulukan "olahraga" dipertunjukkan sisi gelapnya. Sebuah sisi yang pada masa kini semakin kental terlihat, dan film ini menunjukkannya dengan sempurna. Kompetisi olahraga yang sejatinya punya esensi mempersatukan, memupuk semangat patriotisme dan fair play dalam apa yang disebut sportmanship justru menjadi suatu kendaraan untuk obsesi, kegilaan, serta cita-cita seseorang. Karakter yang ada khususnya du Pont dan Mark mewakili semua sisi gelap tersebut. Sekilas mereka mungkin tampak berbeda, tapi sebenarnya begitu mirip.
John dan Mark dari luar sama-sama meneriakkan cita-cita membawa Amerika kembali berjaya khususnya di bidang wrestling, tapi sebenarnya mereka berdua sama-sama membawa kepentingan pribadi yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama sosok individu yang ingin menandakan sesuatu. Mark merasa hidup di bawah bayang-bayang Dave dan berusaha memperlihatkan bahwa beliau sendiri bisa menjadi besar tanpa santunan sang kakak, sedangkan John begitu berhasrat menandakan pada sang ibu bahwa impiannya di gulat patut diperjuangkan. Pada akibatnya sulit untuk menyalahkan mereka bahkan du Pont sekalipun. Apa yang terjadi bukanlah kejahatan, namun kegilaan yang terpupuk oleh kesendirian dan cita-cita yang semakin jauh dari jangkauan seseorang. Berawal dari eksplorasi akan hal itulah yang menciptakan Foxcatcher terasa begitu kelam dan depresif, apalagi melihat apa yang akibatnya terjadi pada ending film. It's sad, it's tragic, and it's disturbing at the same time.

Kesan disturbing dan depresif itu begitu aktual terpancar dari sosok John du Pont dalam penampilan luar biasa Steve Carell. Carell mengalami apa yang terjadi pada Jonah Hill ketika bermain di Moneyball (film Bennett Miller sebelumnya), yakni menyuguhkan performa yang layak disebut sebagai career changing. Mengejutkan sekaligus menyenangkan melihat Carell yang aku kenal sebagai sosok idiot di Anchorman itu bertransformasi sebagai pemain film tabiat luar biasa. Sosoknya ketika hanya membisu berdiri atau duduk memancarkan kengerian. Kengerian yang hanya bisa muncul dari seseorang yang mengalami kesepian dan kesedihan bertumpuk. Tapi ada simpati yang hadir melihat perjuangan "putus asanya" dalam meyakinkan sang ibu bahwa impiannya di gulat tidak keliru. Melihat filmography Carell ke depan, nampaknya ia memang tengah berusaha lebih banyak mengeksplorasi tugas drama yang lebih berbobot. Penampilan solid juga dihadirkan Channing Tatum dan Mark Rufallo meski tidak berada di level yang setara dengan Carell. Setidaknya bagi Tatum, aktingnya disini makin memantapkan sosoknya sebagai pemain film dengan range luas. Mungkin Academy tidak menyukainya drama kelam macam ini, tapi bagi saya, sajian depresif justru bisa menggali sisi terdalam serta wajah aktual seorang manusia. Itulah yang dihadirkan Bennet Miller dalam Foxcatcher.

Artikel Terkait

Ini Lho Foxcatcher (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email