Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Daun Di Atas Bantal (1998)

Langit seolah tidak pernah cerah dalam film karya Garin Nugroho ini. Film yang sempat diputar dalam seksi Un Certain Regard pada Cannes Film Festival tahun 1998 ini bercerita wacana kehidupan tiga anak jalanan di Yogyakarta. Kancil, Heru dan Sugeng (tiga anak jalanan orisinil yang memerankan diri mereka sendiri) harus menghadapi kerasnya kehidupan di jalan yang bersahabat dengan rasa lapar serta kriminalitas. Meski begitu mereka khususnya Heru tetap punya angan-angan untuk kelak bisa terentas dari kemiskinan. Sehari-hari, ketiganya tinggal bersama Asih (Christine Hakim) seorang saleswoman yang juga harus bergulat dengan kemiskinan. Daun di Atas Bantal berfokus pada kehidupan tiga anak jalanan tersebut plus Asih dengan alur yang bergerak bebas. Tidak ada satu konflik terpusat. Penonton dibiarkan mengikuti sebuah tema yang menjadi cerita, bukan dongeng yang berbasiskan sebuah tema. Terkesan "bebas", tapi jauh lebih linier dan ringan diikuti ketimbang banyak film Garin lainnya yang surreal dan artsy.
Judulnya terdengar manis. Selain merujuk pada bantal daun milik Asih yang sering diperebutkan oleh Kancil, Heru dan Sugeng, Daun di Atas Bantal merupakan judul yang merepresentasikan harapan masing-masing dari mereka. - Anak-anak jalanan itu sering bermimpi (bantal diasosiasikan sebagai kawasan bermimpi) mengenai kehidupan yang lebih baik (daun sebagai metafora hidup) - Tapi filmnya sendiri tidaklah semanis dan seoptimis kedengarannya. Bukan sekedar drama kehidupan, dongeng yang dibentuk Garin Nugroho dan Armantono ini merupakan tragedi. Penonton dihadapkan tidak hanya pada kesulitan hidup tapi juga peristiwa yang dialami karakternya. Rangkaian peristiwa tragis yang tidak diniati sebagai melodrama tapi potret apa adanya wacana kehidupan jalanan. 
"Apa adanya", begitulah film ini bertutur. Garin Nugroho telah menciptakan drama dengan rasa dokumenter yang kuat. Tentu saja terdapat dramatisasi sebagai penguat dinamika alur, tapi tidak dipaksakan dan di luar itu semuanya terasa nyata. Alur yang bergerak bebas tanpa terikat pada satu konflik khusus makin menguatkan kesan tersebut. Itu pula yang nampaknya menjadi tujuan penggunaan anak jalanan orisinil daripada memakai pemeran cilik. Menangkap setiap sisi dari mereka apa adanya. Tidak ada kepalsuan yang terpancar disini kecuali jikalau kita menghitung pengucapan obrolan beberapa dari mereka yang tentunya kaku. Tapi pemeran cilik manapun tidak akan bisa menandingi aura yang mereka pancarkan. Aura penuh penderitaan hasil tempaan kerasnya jalanan sehari-hari. Christine Hakim sebagai nama terbesar di jajaran pemain (tidak menghitung Sarah Azhari yang ketika itu belum tenar) juga bisa "membaur" dalam suasana tersebut. Kumuh dan penuh tatapan penderitaan.
Daun di Atas Bantal adalah tipikal film yang akan memperlihatkan tamparan keras pada penonton. Tamparan yang muncul dari gambar-gambar mencengangkan yang tampil begitu kuat. Tamparan yang juga dihadirkan oleh kenyataan. Film ini juga tidak hanya menjadi potret dokumentasi, tapi juga memperlihatkan banyak sekali kritik sosial. Tidak, Garin Nugroho dan Armantono tidak sedang menyuguhkan jurang sosial pada naskah mereka. Ini bukan kontradiksi antara si kaya dan si miskin, alasannya yang ada hanyalah si miskin. Jika ada hal ibarat itu, mungkin hanya terdapat pada selipan konflik mengenai penipuan berkedok asuransi. Di luar itu, mereka yang berada di strata sosial yang tidak jauh beda harus bergulat dalam kerasnya hidup. Begitu kerasnya hingga nasib tragis berupa janjkematian yang bisa menjemput lewat cara sangat mengenaskan.

Film ini bukanlah tearjerker yang mengajak penontonnya bersimpati terlebih dahulu pada karakter-karakter tepat sebelum menghujani mereka dengan banyak sekali cobaan yang mengundang tangis. Memang banyak kesedihan, tapi lebih terasa sebagai sebuah dokumentasi realita daripada dramatisasi penuh kepalsuan. Garin Nugroho mengambarkan kapasitasnya sebagai sutradara dengan insting visual yang luar biasa. Meski tidak mengandung unsur sureal kental (masih ada beberapa momen sejenis tapi tidak mendominasi) dan mengandung dialog-dialog yang signifikan menggiring jalannya cerita, kekuatan utama film ini tetap ada pada rangkaian gambar yang mampu bertutur secara lugas. Bahkan jikalau tidak berfokus pada obrolan yang di banyak bab kurang terdengar jelas, anda akan tetap bisa memahami bahkan mencicipi apa yang tengah dituturkan Garin lewat filmnya ini. Daun di Atas Bantal adalah film lokal yang langka alasannya lebih tertuju pada pembangunan rasa lewat atmosfer daripada jalinan alur.



(Selamat HARI FILM NASIONAL. Terus dukung film-film berkualitas Indonesia dengan cara menontonnya di bioskop)

Artikel Terkait

Ini Lho Daun Di Atas Bantal (1998)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email