Friday, December 28, 2018

Ini Lho The Water Diviner (2014)

Setelah kemarin Ryan Gosling, hari ini aku giliran menonton debut penyutradaraan dari Russell Crowe. Di luar dugaan, Crowe dengan segala arogansinya itu menentukan kisah drama penuh kehangatan serta rasa cinta seorang ayah kepada anak-anaknya. Diangkat dari buku berjudul sama karya Andre Anastasios dan Dr Meaghan Wilson-Anastasios, The Water Diviner ber-sentral pada huruf Joshua Connor (Russell Crowe), seorang petani sekaligus pencari air di Australia. Joshua harus menghadapi kenyataan bahwa sang istri, Eliza (Jacqueline McKenzie) masih tidak sanggup merelakan ketiga anak mereka yang hilang di "Pertempuran Gallipoli" lima tahun sebelumnya. Eliza pun hasilnya bunuh diri, dan Joshua bertekad membawa pulang ketiga anaknya meski mereka telah mati sekalipun. Maka berangkatlah sang pencari air ini ke Turki untuk mencari keberadaan ketiga anaknya yang telah usang dianggap tewas.

The Water Diviner adalah kisah usaha berlandaskan cinta seorang ayah untuk melaksanakan sesuatu yang dianggap tidak mungkin bahkan kurang cerdik oleh banyak orang. Potensinya pun jelas, yakni menjadi tontonan dramatis nan menyentuh. Tapi resiko yang hadir juga besar. Berlebihan sedikit saja, filmnya akan terasa murahan. Semuanya terpancar terang dari kisah yang hadir. Karakter Joshua berhasil menghadapi segala rintangan yang menciptakan pencariannya nampak mustahil. Bahkan di tengah dataran gersang yang menjadi "kuburan masal" bagi mereka yang gugur di medan perang sekalipun Joshua sanggup menemukan keberadaan anak-anaknya. Caranya? Sama menyerupai dikala beliau mencari air. Tidak ada ilmu pasti, yang ada hanya keyakinan hati berbekal rasa cinta. Daripada extraordinary, perjalanan Joshua sanggup saja menjadi super cheesy. Tapi Russell Crowe untungnya tidak suka ber-melodrama ria.

Seolah menyadari resiko tersebut, ia berusaha sebisa mungkin mengakibatkan film ini lebih sederhana. Setiap perjuangan, penemuan, momen-momen penuh keajaiban tidak coba didramatisir berlebihan. Kalau mau, iringan scoring dari David Hirschfelder pun sanggup saja dibentuk lebih mendayu dan membahana. Tapi nyatanya tidak. Setiap adegan berpotensi dramatis tersaji sederhana. Bukan berarti ala kadarnya, masih dipenuhi emosi hanya saja tidak dicurahkan secara berlebih. Karena dasar dongeng nampaknya diniati overly-dramatic, pengemasan Crowe tersebut memang sama saja melucuti senjata utamanya, namun itu jauh lebih baik daripada berlebihan. Fokusnya lebih pada menghadirkan rasa tenang daripada segala tangisan haru. Tanpa adanya kesan murahan, The Water Diviner pun sanggup menjadi suatu drama yang hangat serta nyaman ditonton.
Sebagai salah satu lawan main Crowe ada Olga Kurylenko sebagai Ayshe, seorang pemilik hotel yang suaminya juga hilang di Gallipoli. Meski disatu sisi persamaan kehilangan diantara mereka menghadirkan simpati pada kekerabatan yang terjalin, tetap ada ganjalan bagi saya. Ayshe masih merasa kehiangan sang suami, apalagi Crowe yang belum usang mendapati istrinya bunuh diri. Namun pertemuan beberapa waktu di hotel sudah cukup menciptakan keduanya jatuh cinta. Saya paham dengan maksud dongeng yang ingin memperlihatkan fase babak gres kehidupan. Tapi konklusi yang hadir dalam subplot kekerabatan mereka dipaksakan terlalu bahagia. Setelah semua usaha menghindarkan film ini dari kesan cheesy (yang mana berhasil), kesan itu justru hadir pada subplot tersebut. Akan terasa lebih hangat sekaligus tidak out-of-character jika konklusinya menyiratkan babak baru, bukan secara total sudah berada di sana.
Tapi diluar kekurangan tersebut baik Crowe maupun Kurylenko telah memperlihatkan penampilan individu yang baik, termasuk chemistry kuat. Sebuah chemistry yang menciptakan aku tetap mencicipi simpati pada kekerabatan mereka meski kekurangan di atas hadir. Olga Kurylenko meyakinkan sebagai seorang perempuan penuh harga diri yang masih terkekang oleh duka. Matanya memperlihatkan kekuatan, tapi juga berkaca-kaca memancarkan kesedihan terpendam. Sedangkan Crowe menghadirkan kembali sebuah penampilan yang membuatnya sempat dinobatkan sebagai pemain drama terbaik di dunia, khususnya berkat tiga nominasi Oscar beruntun lebih dari satu dekade lalu. Ingin tahu menyerupai apa rasa sayang nrimo seorang ayah pada anaknya? Lihat Russell Crowe disini. Tidak perlu melihat segala usaha huruf Joshua, cukup lihat bagaimana lisan hingga gerak badan Crowe. Ada penderitaan yang hadir alasannya yaitu kehilangan, namun disaat bersamaan keinginan berkat rasa cinta turut menyeruak kuat.

Verdict: Secara tidak terduga Russell Crowe tahu cara elegan untuk menghadirkan drama penuh perasaan. Tidak terlalu mengaduk-aduk emosi, tapi hangat dan penuh cinta.

Artikel Terkait

Ini Lho The Water Diviner (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email