Friday, December 28, 2018

Ini Lho Mad Max: Fury Road (2015)

Orang boleh berkata bahwa sekuel demi sekuel merupakan salah satu bentuk kemiskinan pandangan gres industri perfilman mainstream. Tapi George Miller gres saja memberi bukti bahwa sekuel berapapun jumlahnya (entah diharapkan atau tidak) bukan suatu dilema asal digarap dengan baik. Mungkin berkaca pada fakta bahwa film terakhir Mad Max yakni Beyond the Thunderdome dirilis 30 tahun lalu, banyak yang akan menuduh pembuatan Fury Road tidak lebih dari sekedar perjuangan Miller menimbun pundi-pundi dollar. Tapi melihat hasil balasannya aku berani menyangkal opini tersebut. Fury Road merupakan bentuk pelampiasan idealisme sekaligus kegilaan terpendam seorang laki-laki berumur 70 tahun yang semenjak 1998 hingga 2011 menghabiskan karirnya untuk menciptakan tiga film bernafaskan "film anak". Meski tanpa Mel Gibson, Miller memang siap seutuhnya kembali ke dunia post-apocalyptic penuh kekeraasan serta kegilaan yang pertama ia hadirkan tahun 1979 lalu.

Gaya bertutur film ini bagaikan The Raid-nya Gareth Evans: bergerak cepat dan mengalir tanpa putus menuturkan satu kejadian. Bedanya, Miller tidak hanya memakai setting sempit melainkan padang gurun tandus yang begitu luas sebagai "arena balapan" antara Max (Tom Hardy) dengan sekelompok tentara gila dari tiga kota berbeda. Mengacu pada premis tersebut, dua jam film ini berisikan kejar-kejaran antar mobil-mobil modifikasi gila nan gahar. Tapi mereka tidak hanya berpacu, namun juga saling berperang di atas kendaraan masing-masing yang melacu kencang menembus gurun gersang hingga salah satu angin puting-beliung pasir paling ganas yang pernah ditampilkan dalam film. Disinilah Miller menumpahkan seluruh kegilaan yang telah terpendam puluhan tahun. Tidak hanya melacu kencang tapi juga brutal, penuh stunt sinting, serta dikemas dengan CGI yang luar biasa. George Miller sungguh memanfaatkan dengan baik bujet $150 juta yang ia miliki. Efek CGI bukan sekedar "gaya" melainkan aspek penting demi mewujudkan visinya membentuk suasana wasteland yang brutal dan penuh bahaya.
Terus bergerak dengan kecepatan tinggi, Fury Road tidak pernah kehabisan materi bakar. Awalnya aku ragu Miller sanggup melebihi rentetan adegan agresi yang sudah ia munculkan ketika angin puting-beliung menyerang di awal film. Saya pun bertanya-tanya apakah klimaksnya bakal lebih gila atau justru berakhir mengecewakan alasannya ialah kekalapan sang sutradara mengeksploitasi segalanya di paruh awal. Tapi George Miller memang seorang kakek-kakek jenius yang disaat bersamaan rupanya juga orang gila. Tidak hanya memperbesar skala dan menambah ledakan serta kesadisan, klimaksnya menyuntikkan ketegangan tingkat tinggi ketika penonton tanpa sadar sudah peduli pada karakternya, khususnya mereka para wanita. Para istri Joe ialah perempuan lemah secara fisik namun tangguh di dalam yang merupakan modal cukup. Furiousa (Charlize Theron) ialah perwujudan badass heroine. Max? Well, he's mad anti-hero right? Tapi patut disayangkan dalam filmnya sendiri Max justru kalah bersinar dibanding karakter-karakter lainnya. Dengan sintingnya, Miller juga melibatkan gang nenek-nenek dalam pertempuran tersebut. Membuat mereka beraksi hingga membunuh mereka dengan cara yang brutal. Siapa tidak tercengang melihat hal semacam itu?

Mad Max: Fury Road boleh saja berjalan layaknya The Raid yang tanpa henti, tapi bedanya film ini punya naskah kuat. Lagi-lagi kejeniusan Miller berperan besar. Naskah yang ia tulis bersama Brendan McCarthy dan Nico Lathouris berpadu tepat dengan penyutradaraannya yang cermat. Tidak hanya andal mengemas adegan aksi, Miller masih jeli menyelipkan kekayaan dongeng yang tertuang dalam naskah. Musuh utama Max kali ini ialah seorang raja berjulukan Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne) yang dipuja bagaikan Tuhan oleh para pengikutnya. Karakterisasi Immortan Joe beserta kepemimpinannya ialah cara George Miller menyelipkan kritik terhadap perbedaan kasta sosial. Joe beserta pasukan serta orang-orang bersahabat termasuk anaknya hidup di bebatuan tinggi yang bab atasnya dipenuhi rerumputan hijau (satu-satunya tumbuhan segar yang kita lihat sepanjang film). Mereka hidup makmur. Bahkan di satu adegan kita melihat sekelompok orang obesitas yang terus-terusan duduk sambil bersantai. Hal itu berbanding terbalik dengan rakyatnya yang hidup di bawah, kelaparan, kekeringan, dan menderita banyak penyakit menjijikkan.
Karena itulah Joe begitu dipuja termasuk ketika ia menurunkan air yang eksklusif diperebutkan oleh orang-orang. Miller memperlihatan sebuah tirani yang mencengkeram kehidupan kaum bawah, mengadu mereka hingga berkelahi satu sama lain hanya untuk mendapat air bersih. Sedangkan bagi pasukannya, Joe ialah panutan yang menciptakan mereka rela mati dalam pertempuran. Karena dengan itu mereka percaya sang pemimpin bakal menuntun mereka menuju "valhalla". Hal ini tidak jauh beda dengan realita masa sekarang ihwal kemunculan kelompok cult yang menjanjikan nirwana versi mereka yang seringkali coba digapai dengan melaksanakan bunuh diri. Ditambah dengan sub-plot beberapa karakternya ibarat Max yang dihantui kematian sang puteri, penebusan dosan Furiosa dan Nux, hingga ambisi Immortan Joe mendapat putera dengan fisik sempurna, memperlihatkan bahwa Mad Max: Fury Road sejatinya ialah film ihwal kemanusiaan. Disaat dunia telah hancur, kegilaan menyelimuti, penyakit pun menyebar, nyatanya beberapa orang masih berusaha mencari jawaban atas kehidupan mereka sebagai insan meski lewat caranya masing-masing.

Saya begitu suka penggambaran dunia post-apocalyptic film ini. Tentu saja salah satu hal wajib ialah kondisi dunia yang begitu gersang, hampir tidak tersisa apapun termasuk hewan, air dan tumbuhan hijau. Tapi diluar itu, atmosfer hopeless dalam diri insan yang berujung pada kegilaan digambarkan begitu nyata. Desain huruf dengan pakaian maupun make-up yang unik cenderung gila plus banyaknya kendaraan-kendaraan berat dengan modifikasi yang tak kalah sinting pun jadi terasa bukan sekedar gaya-gayaan. Bayangkan anda hidup dalam dunia ibarat Fury Road dimana sandang pangan dan air higienis semakin langka, namun penyakit justru merajalela. Manusia didorong untuk bertahan hidup hingga batasan terakhir, pastilah menciptakan hati serta pikiran mereka tak lagi jernih. Jangankan dandanan tak wajar, mental breakdown, nurani yang menghilang, serta memuja penguasa yang diharap sanggup memperlihatkan kemakmuran layaknya Tuhan pun sanggup dimaklumi. 

Verdict: Mad Max: Fury Road adalah penceritaan mendalam dan cerdas ihwal kondisi post-apocalyptic yang bersembunyi dalam sampul B-Movie penuh kegilaan tak berotak. 

Artikel Terkait

Ini Lho Mad Max: Fury Road (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email