Sunday, December 30, 2018

Ini Lho Rurouni Kenshin: The Legend Ends (2014)


Kyoto Inferno (review) merupakan sebuah "jembatan" menyenangkan sebelum titik puncak yang begitu ditunggu dalam The Legend Ends. Build-up yang baik membuat aku tidak sabar untuk segera menonton film epilog trilogi Rurouni Kenshin ini. Jika anda merupakan pembaca komiknya, tentu anda setuju bahwa salah satu momen paling ditunggu dalam Kyoto arc ialah pertarungan titik puncak yang melibatkan Shishio melawan empat main hero dalam serial ini. Kaprikornus cukup satu hal yang aku harapkan dari film ketiga ini, yakni pure epicness. Tapi sutradara Keishi Otomo nyatanya tidak eksklusif membuka filmnya dengan tempo cepat. Kita diajak terlebih dahulu melihat aneka macam drama dengan fokus utama pada bagaimana Kenshin (Takeru Satoh) kembali belajar pada, Seijuro Hiko (Masaharu Fukuyama) yang merupakan gurunya dulu. Jujur saja potongan ini terasa kurang menarik dan menjadi awal yang gagal mengangkat tensi film ini. Terlalu banyak obrolan filosofis yang tidak menawarkan dampak apapun bagi pondasi drama maupun eksplorasi karakternya.

Saya bergotong-royong suka pada selipan drama dalam film aksi, sebab berpotensi membuatnya tidak hanya berakhir sebagai sebuah tontonan tanpa hati. Tapi sebagai chapter penutup sekaligus klimaks, takaran drama yang diberikan dalam The Legend Ends terlalu banyak, bahkan melebihi porsi adegan aksinya. Seperti yang sudah aku sebutkan dalam review Kyoto Inferno, beberapa huruf bergotong-royong sudah dapat dieksplorasi dari film pertama, khususnya Aoshi. Dengan begitu dikala memasuki film kedua dan ketiga huruf itu sudah punya pondasi mantap, menawarkan celah lebih luas untuk mengeksplorasi hal lainnya. Kekhawatiran aku pun jadi kenyataan dikala Aoshi Shinomori (which is one of the best character in Rurouni Kenshin) tetap berakhir sebagai huruf yang kurang menggigit hingga film berakhir. Hal yang sama terjadi juga pada para Juppongatana. "Keharusan" untuk mengeksplorasi Aoshi membuat kelompok villain ikonik ini sama sekali tidak menarik. Padahal mereka bukan hanya sekelompok orang berpakaian asing tapi juga punya karakterisasi menarik. Bahkan nama-nama menyerupai Anji, Usui dan Kamatari menawarkan imbas besar pada pengembangan huruf utama macam Sanosuke, Saito hingga Kaoru.
Tapi untungnya adegan agresi yang dijanjikan masih memukau, sesuatu yang juga menjadi kelebihan dua film pertamanya selain desain karakter. Tercatat hanya ada dua pertarungan besar disini. Pertama ialah Kenshin melawan Aoshi yang meski dikemas dengan apik tetap kurang menggigit sebab lagi-lagi sosok Aoshi yang kurang dimaksimalkan. Disaat Kenshin dengan Hiten Mitsurugi-nya punya ciri khas menarik, atau Saito dengan gatotsu setidaknya punya kuda-kuda ikonik yang dipertahankan dalam film, Aoshi dengan kodachi plus teknik mematikan Kaiten Kenbu tidak dipertontonkan dengan sepantasnya. Well, lagi-lagi aku tetap beropini bahwa pertarungan Kenshin dan Aoshi akan lebih maksimal jikalau menjadi titik puncak film pertama. Sedangkan pertarungan kedua ialah rangkaian pertarungan panjang dari pantai yang berlanjut di kapal. Pertarungan di kapal inilah yang kesudahannya menjadi titik puncak mengesankan. Keishi Otomo sedikit merombak klimaksnya dengan mengganti "pertarungan bergilir" antara Kenshin, Sanosuke, Saito dan Aoshi melawan Shishio menjadi sebuah "keroyokan". Dan itu merupakan keputusan yang tepat.
Butuh perjuangan lebih, durasi lebih dan pengemasan tempo yang super cermat dalam beralih dari cepat ke lambat begitu pula sebaliknya untuk dapat menghadirkan kesan epic menyerupai panel demi panel komiknya. Karena itu menyatukan pertarungan itu dan mempercepat temponya merupakan keputusan cerdas. Dengan koreografi yang luar biasa dan tebasan demi tebasan yang ditangkap secara utuh (tanpa ada shaky cam atau cut super cepat) pertempuran empat lawan satu itu menebus segala penantian aku sedari Kyoto Inferno dan paruh pertama yang lambat dari The Legend Ends. Ditambah juga dengan scoring megah plus dramatis garapan Naoki Sato yang bersatu membuat keseruan sekaligus ketegangan, maka sempurnalah titik puncak epic film ini yang bahkan layak disebut sebagai salah satu adegan pertarungan pedang terbaik dalam film atau setidaknya salah satu titik puncak terbaik dalam film penyesuaian buku komik. Klimaks film ini menandakan bahwa sebagus apapun CGI mengemas film aksi, cara konvensional minim imbas (kecuali api Shishio yang memang dibutuhkan) tetaplah yang terbaik.

Jika ada kekurangan, itu ialah hal sama yang sudah aku tuliskan berkali-kali (baik dalam review ini maupun dua film sebelumnya) yaitu penokohan yang kurang pas bagi huruf macam Sanosuke, Saito dan Aoshi. Begitu pentingkah penokohan berdampak pada adegan aksi? Tengok adegan ini di manga-nya, dan anda akan tahu kenapa. Secara keseluruhan trilogi ini terang jauh dari kata sempurna, apalagi bagi aku yang merupakan penggemar komiknya. Tapi dibandingkan penyesuaian dari serial favorit aku lainnya, Rurouni Kenshin ialah yang terbaik. Setidaknya Keishi Otomo dan timnya telah sebisa mungkin menaati hukum pertama dalam mengadaptasi komik fenomenal, yaitu setia pada sumbernya entah itu dalam hal ceritanya, adegan, hingga desain huruf yang dibentuk semirip mungkin. Bukankah impian fanboy dalam penyesuaian film mustahil terpenuhi semuanya? Setidaknya Emi Takei masih sangat anggun walaupun porsinya sangat sedikit disini.



NB: Sebuah kebetulan yang amat sangat luar biasa, salah seorang senior aku amat menyerupai dengan Aoshi Shinomori (which is very very handsome!) Ini ia tampangnya:

Artikel Terkait

Ini Lho Rurouni Kenshin: The Legend Ends (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email