Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Baraka (1992)

"If man sends another voyager to the distant stars and it can carry only one film on board, that film might be Baraka." Begitu sebut Roger Ebert dalam review-nya untuk film ini. Apakah film garapan Ron Fricke ini sehebat itu? Tanpa mengesampingkan kualitasnya, ada hal lain yang menciptakan Baraka layak menerima sebutan itu, yakni konten. Tanpa narasi maupun voice over, filmnya mengajak kita berkeliling dunia, tepatnya menuju 152 lokasi di 23 negara (Indonesia salah satunya). Mengamati dan merasakan, begitu seruan Ron Fricke pada penonton. Mulai dari indahnya hamparan pegunungan bersalju Himalaya, tempat-tempat peribadatan aneka macam agama menyerupai Ka'bah, tembok ratapan dan kuil Ryoan-ji, kegiatan berkesenian macam tari kecak di Bali atau penari Buto di Jepang, aktifitas industrial di banyak pabrik, kerumunan masyarakat berlalu lalang, hingga ritual pemakaman beraneka raham. Hal-hal itu yang akan kita jumpai dalam film ini.

Diambil selama 14 bulan dengan kamera 70mm, Ron Fricke yang punya dasar sebagai sinematografer menyuguhkan apa itu "keindahan" dalam tiap gambar. Eksploitasi aneka macam teknik menyerupai slow-motion, tracking shot dengan frame luas, hingga timelapse jadi andalan Fricke. Berbagai imbas itu menyajikan keindahan alami, tanpa perlu rekonstruksi dramatik atau manimpulasi cahya berlebih. Jika anda sering melihat foto-foto keindahan panorama alam, bayangkan foto itu hidup dan bergerak. Menyajikan aneka macam sudut dunia dan sendi kehidupan secara apa adanya tapi dengan mengutamakan unsur estetika visual, begitulah Baraka. Bahkan aneka macam hal yang bila sekilas kita temui terasa biasa saja menyerupai pabrik rokok, peternakan ayam, kamp konsentrasi, orang berdoa atau wajah suku Kayapo yang berhiaskan cat di pedalaman Brazil terasa begitu puitis. Memunculkan keindahan tak terduga dari hal di sekitar kita, mengingatkan kembali betapa memikatnya Bumi yang kita tinggali.
Bagi aku Ron Fricke ialah satu dari sedikit sutradara yang sanggup disandingkan dengan Terrence Malick dalam hal insting visual. Sinematografi memukau tersaji, dan semua itu bukan sekedar tempelan. Jika penonton rela memperlihatkan fokus, melaksanakan observasi lebih mendalam, maka semua gambarnya bukan saja bagus tapi mengandung makna. Baraka memang mempunyai label "non-narrative documentary", tapi bukan berarti film ini tidak bertutur wacana apapun. Ron Fricke pada awalnya mengajak penonton mengamati keindahan alam di aneka macam penjuru dunia. Dengan lebih banyak didominasi dikemas secara slow-motion, kita diajak mencicipi cantiknya semesta ini. Tapi semesta tidak berdiri sendiri. Sebagai penguat keindahan Bumi ada umat manusia. Mereka berdoa, berkesenian, melaksanakan upacara adat. Manusia hidup dalam harmoni dengan alam. Tapi segala kekhidmatan tersebut perlahan berganti.
Industri mengambil alih, terjadi ledakan populasi, kemiskinan merajalela, bahkan pohon ditebangi secara liar. Keindahan menyejukkan berganti dengan kesan kumuh dan chaotic. Untuk menguatkan semua itu, timelapse lebih banyak dipakai pada momen ini. Keramaian kota New York, begitu crowded-nya jalanan, hingga padatnya aktifitas di aneka macam pabrik termasuk pabrik rokok Gudang Garam di Kediri. Teknologi mendominasi, dan insan pun semakin menjauh dari harmonisasi dengan semesta. Tidak ada lagi mereka bersuka cita dengan alam, berganti dengan tatapan kosong di tengah kemiskinan yang memaksa mereka berjuang mati-matian untuk hidup bahkan hingga menjual diri. Pada ketika itu bukan tarian syukur yang hadir, melainkan silent scream dari penari Buto, seolah menggambarkan katarsis tiap individu yang ingin meneriakkan kepenatan hidup mereka. Tidak segelap apa yang Fricke tampilkan dalam sekuelnya, Samsara 10 tahun kemudian, tapi Baraka begitu baik menghadirkan jomplangnya kedua situasi tersebut. 

Circle of life mendominasi film ini. Selain hubungan insan dengan alam, tentu saja perputaran roda kehidupan individu sendiri turut hadir. Berkesan religius, ketika kita balasannya hingga pada momen penuh nuansa kematian. Bukan memperlihatkan orang mati, melainkan aneka macam makam atau monumen untuk arwah leluhur menyerupai kamp konsentrasi di Auschwitz atau piramida Giza di Mesir. Ada juga ritual kremasi di India. Semuanya memperlihatkan bagaimana bundar hidup manusia. Tidak peduli apa yang mereka hadapi atau dapatkan, pada balasannya kematian niscaya menjemput. Film ditutup dengan pemandangan gelap di taman nasional Arches, Utah, Amerika Serikat. Adegan epilog yang berpengaruh kesan mistis tanpa terasa mengerikan melainkan puitis. Menjadi konklusi tepat dari circle of life tentang alam dan hidup-mati insan dalam film ini. Tanpa voice over, scoring garapan Michael Stearns dengan tepat membangun setiap emosi dan suasana yang terpampang pada gambar. Kenapa Roger Ebert mengungkapkan kalimat di atas? Praktis saja, alasannya ialah Baraka adalah film yang paling berhasil menangkap secara kasatmata bagaimana tiap sendi keindahan Bumi dan kehidupan manusianya. Mengobati kerinduan sang voyager kesepian akan wajah Bumi yang sempat ia tinggali.

Artikel Terkait

Ini Lho Baraka (1992)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email