Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Nosferatu: A Symphony Of Horror (1922)

Inilah film disaat Vampir/Dracula belum banyak digambarkan sebagai sosok aristokrat berpakaian trendi atau laki-laki tampan berkulit pucat pemikat hati wanita. Film Jerman garapan F. W. Murnau ini tidak hanya tercatat sebagai salah satu film pertama yang mengangkat kisah Dracula milik Bam Stoker tapi juga salah satu yang paling influential dalam perkembangan film horror. Naskah goresan pena Henrik Galeen memang mengambil banyak aspek dari novel Bam Stoker, tapi alasannya yaitu tidak mendapat hak resmi (yang membuat istri sang novelis mengajukan tuntutan di pengadilan dan berujung pada pemusnahan hampir semua copy film ini) maka dibuatlah beberapa perubahan. Sebagai pola nama "vampire" diubah jadi "nosferatu", dan "Count Dracula" menjadi "Count Orlok". Dirilis 93 tahun yang lalu, maka jangan heran ketika mendapati Nosferatu sebagai sebuah film bisu dan bertutur hanya lewat gambar, musik, serta beberapa cue kalimat yang muncul di sela-sela adegan. Tapi mungkinkah dengan usia yang hampir satu era film ini masih relevan untuk zaman sekarang?

Thomas Hutter (Gustav von Wangenheim) yaitu pegawai real estate yang bekerja untuk Knock (Alexander Granach). Suatu hari Hutter ditugaskan untuk mendatangi seorang klien berjulukan Count Orlok (Max Schreck) yang tinggal di Transylvania. Dengan penuh semangat alasannya yaitu mendapat klien kaya raya, Hutter pun melaksanakan perjalanan jauh, meninggalkan sang istri Ellen (Greta Schroder) dalam kekhawatiran. Di tengah perjalanan sebetulnya Hutter sudah diperingatkan untuk tidak menuju kastil Count Orlok alasannya yaitu disana banyak terdapat hal-hal misterius, tapi alasannya yaitu ketidak percayaannya akan hal gaib, Hutter terus melanjutkan perjalanan. Sesampainya disana, ia disambut oleh Count Orlok yang memang tampak misterius. Tapi perasaan takut gres mulai menyeruak dalam diri Hutter ketika Count Orlok mulai memperlihatkan ketertarikan akan darah. Dari situlah horror sebetulnya dimulai ketika Count Orlok mulai membuatkan terornya.
Apakah film ini masih menakutkan? Saya jawab tidak. Jika ada yang menyebut film ini menyeramkan secara keseluruhan, maka entah beliau yaitu penakut luar biasa atau seseorang yang ingin pamer bahwa beliau sanggup menikmati film jaman dulu. Bukan hanya tidak lagi terasa menakutkan, Nosferatu: A Symphony of Horror juga sering terasa menggelikan. Tidak hanya teknologi, pengemasan narasi film masa kemudian belumlah sebaik sekarang, bahkan untuk kisah sesederhana ini. Begitu banyak plot hole dan motivasi huruf yang tidak masuk akal. Tendensi penonton di era itu yang sudah tersihir oleh gambar bergerak dan tidak terlalu mempedulikan kebijaksanaan mungkin jadi salah satu penyebabnya (well, bahkan di masa kini pun tidak jauh beda). Salah satu aspek yang membuatnya terkadang menggelikan yaitu dramatisasi. Saya sanggup membayangkan penonton pada masa itu bergumam "ooowh..." sambil tersenyum ketika melihat romansa Hutter dan Ellen. Tapi dari beling mata kini itu berlebihan. Begitu pula dengan gestur dimana semakin chaos suatu adegan, semakin berlebihan dan menggelikan gesturnya. Tapi itu memang "keharusan" dari sebauh film bisu agar penonton sanggup menangkap maksud dan feel adegan tanpa perlu dialog.

Jadi film ini tidak mengerikan dan sering menggelikan, kemudian kenapa saya masih menawarkan rating positif? Secara horror Nosferatu memang tidak mengerikan, tapi sebagai film menyeluruh ini yaitu masterpiece. Mengatakan film ini buruk alasannya yaitu dua poin diatas sama saja menyebut Einstein kurang bakir alasannya yaitu tidak sanggup memakai komputer, atau menyebut temuan telepon Graham Bell sebagai temuan ketinggalan jaman. Saya yakin kalau F. W. Munrau hidup di era sekarang, ia akan sanggup membuat horror yang bahkan lebih angker dari The Conjuring sekalipun. Kepiawaian Munrau terlihat dari bagaimana beliau sanggup membuat suatu atmosfer besar lengan berkuasa lewat gambar. Horror yang tersaji bukan dari adegan mengagetkan atau penampakan menyeramkan berulang-ulang, tapi lewat suasana yang secara tidak sadar menghantui bawah sadar penonton. Munrau sanggup membuat saya membayangkan betapa mengerikannya suasana disaat Nosferatu mengambil alih kapal hanya dengan satu adegan dan kalimat dengan intin "kapal itu telah bermetamorfosis kapal kematian". Perasaan yang sama juga hadir ketika Nosferatu memasuki rumah Hutter. Kita tidak melihat sosoknya, hanya bayangan creepy dengan kuku-kuku tajam menaiki tangga, membuka pintu, kemudian menggerayangi Ellen. 
Bukti lain kejeniusan Munrau dalam mengemas gambar yaitu penggunaan filter warna. Dengan kamera dan lighting seadanya memang bakal menyulitkan untuk mengambil gambar di kegelapan, padahal film ini secara umum dikuasai ber-setting gelap entah itu malam hari atau ruangan minim cahaya. Untuk itu Munrau memakai banyak sekali filter warna di setiap situasi berbeda. Biru untuk malam dan gelap, merah muda untuk senja dan fajar, kuning untuk siang hari/suasana terang. Selain mempunyai kegunaan untuk membangun suasana, warna-warna ini mempermudah penonton mengetahui setting waktu. Dengan akting yang banyak mengandalkan gestur serta permainan filter, Nosferatu memang terasa ibarat sebuah pementasan teater yang dijadikan film. Permainan suasana masih diperkuat dengan penampakan Count Orlok/Nosferatu yang diperankan Max Schreck. Tanpa memandang rendah aktingnya yang besar lengan berkuasa di gestur dan ekspresi, faktor utama yang membuat sosok itu menyeramkan yaitu divisi make-up. Gigi taring, pendengaran tajam, cakar panjang, dan mata ibarat mata kucing yaitu tampilan menyeramkan. Saya yakin kalau pada suatu malam saya membuka jendela dan melihat sosok ini di depan mata, I'll scream like a bitch.

Diluar naskahnya yang banyak membuat lubang menganga, saya kagum pada bagaimana Henrik Galeem mentransformasikan sosok vampir di dunia nyata. Alih-alih membuat teror vampir, beliau membuat suasana masyarakat yang penuh ketakutan dengan wabah penyakit misterius. Ada nuansa besar lengan berkuasa dari kengerian wabah Black Death yang menewaskan banyak jiwa itu. Alhasil kehadiran sosok Nosferatu bukan hanya terasa sebagai dongeng horror tapi sebuah teror yang kasatmata di kehidupan sehari-hari. Fakta bahwa cara memusnahkan sang monster dengan distraksi dari seorang perempuan juga menggambarkan dengan tepat obsesi Count Orlok (Count Dracula) pada wanita. Memang pada kisah Dracula ada unsur lust yang begitu besar lengan berkuasa menggerakkan karakternya. Nosferatu: A Symphony of Horror tidak hanya masterpiece dalam dunia horror yang tepat dalam membuat teror berbasis suasana, tapi juga citra kegelapan dan iblis yang sanggup segera hadir dalam diri insan ketika obsesi serta nafsu menguasai, menyebabkan mereka lebih ibarat binatang daripada manusia. Lihatlah Nosferatu, daripada sebagai Count Dracula yang ningrat, ia yaitu hewan, ia yaitu monster.

Artikel Terkait

Ini Lho Nosferatu: A Symphony Of Horror (1922)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email