Hadir juga film penyesuaian novel Dewi Lestari yang sanggup dengan tepat mentranslasikan keindahan bertutur sang penulis. Sutradara Angga Dwimas Sasongko beserta penulis naskah Jenny Jusuf tidak mencoba tampil terlalu indah maupun berat meski judul filmnya menyandang kata "Filosofi". Kisahnya murni drama sederhana perihal beberapa hal: persahabatan, hubungan ayah-anak, kontradiksi idealisme hingga pencarian makna hidup. Tidak rumit, tidak juga mengandung kalimat-kalimat puitis. Tapi penyajiannya yang mendalam meski sederhana justru mengakibatkan Filosofi Kopi jauh lebih indah, lebih filosofis dari film penyesuaian novel Dee lainnya. Dari 18 dongeng pendek dalam Filosofi Kopi, diambil dongeng pertama yang berjudul sama dengan bukunya sebagai alur film. Berkisah perihal dua sahabat, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) yang membuka sebuah kedai kopi berjulukan "Filosofi Kopi".
Dengan Ben sebagai barista, kedai itu populer sebab keunikannya memberi filosofi pada tiap kopi yang disajikan. Meski banyak mendatangkan pengunjung, "Filosofi Kopi" nyatanya berada dalam kesulitan finansial jawaban hutang 800 juta rupiah yang ditinggalkan mendiang ayah Jody. Masalah ini semakin sulit dicara jalan keluarnya sebab kontradiksi idealisme antara Ben dan Jody. Sebagai penanam modal yang menanggung segala kebutuhan finansial tentu saja Jody ingin memanfaatkan segala peluang untuk meraup untung termasuk penggunaan WiFi di kedai mereka. Sebaliknya bagi Ben yang penuh rasa cinta serta obsesi pada kopi, aktivitas menikmati/membuat kopi merupakan hal sakral dan harus memperhatikan cita rasa meski hal itu artinya pengeluaran lebih besar demi mendapat biji kopi terbaik. Konflik dua sahabat macam ini seringkali masbodoh dalam banyak drama kita. Tapi Filosofi Kopi menjadikan bromance antara Ben dan Jody sebagai salah motor pelopor utama yang begitu kuat.
Hubungan keduanya tampil dinamis di layar. Setiap pertengkaran bukan hanya pemberi jalan bagi konflik, namun kontradiksi konkret dan alamiah antara "hati" dengan "kepala". Baik Jody maupun Ben membawa alasan kuat dalam tiap argumen yang dikemukakan, menciptakan penonton tidak akan memihak salah satu melainkan terserap dalam ikatan persahabatan penuh perputaran roda kehidupan keduanya. Dialognya hidup tanpa ada kesan cheesy demi memunculkan ikatan persahabatan kuat yang justru berasa dipaksakan. Tentu saja baik Chicco Jerikho maupun Rio Dewanto berperan besar akan terciptanya kesan tersebut. Secara individu, abjad mereka kuat. Chiccho Jerikho dengan gaya eksentrik yang cool tapi penuh perasaan, juga Rio Dewanto yang lebih tertata, mengedepankan kebijaksanaan tapi juga punya hati. Secara interaksi, aku dibentuk percaya bahwa keduanya merupakan sahabat sedari usang yang tahu baik dan jelek masing-masing sehingga tidak ada rasa segan untuk beradu argumen meski terasa terperinci mereka saling menyayangi. It's a bromance, and one of the best (if not the best) Indonesian bromance movie of all time. Belum pernah aku menjumpai dynamic duo semenarik Chicco-Rio dalam film Indonesia sebelumnya.
Tidak hanya mengandalkan kisah bromance dan konflik mengenai kedai kopi yang susah payah bertahan hidup, Filosofi Kopi juga menuturkan drama yang lebih dalam mengeksplorasi kehidupan manusia. Hal itu terjadi khususnya sesudah kehadiran abjad El (Julie Estelle) yang merasa bahwa Perfecto racikan Ben bukanlah kopi terbaik yang pernah ia rasakan. Momen itu menggiring alur film kearah yang lebih "serius". Tetap menjunjung kesederhanaan bertutur, tapi lebih dalam mengeksplorasi problem batin karakternya. Introspeksi kehidupan tokoh-tokohnya makin diperdalam, rasa haru pun berhasil dimunculkan dari emosi penontonnya. Pada risikonya penonton sanggup ikut mencicipi bagaimana benda berjulukan kopi kuat besar pada pemaknaan serta jalan hidup karakter.
Secara keseluruhan cerita, film ini memang tidak sefilosofis cara bertutur Dee dalam dongeng pendeknya. Kartu-kartu bertuliskan filosofi tiap kopi juga kurang mendapat sorotan lebih. Tapi pilihan untuk mengemas filmnya jadi lebih ringan bukan semata-mata tujuan komersil. Angga Dwimas Sasongko berhasil menandakan itu, sebab kesederhanaan bertuturnya ibarat yang telah aku singgung di atas jauh lebih bermakna, bahkan lebih filosofis dibandingkan film penyesuaian karya Dee lainnya. Beginilah teladan tepat dari penyesuaian karya tulis. Tidak semata-mata menerjamahkan apa adanya isi dari buku, sebab Angga Dwimas Sasongko tahu benar bahwa cara bertutur dari literatur dan media film amat berbeda. Penggunaan bahasa-bahasa indah akan tidak begitu bermakna dalam film, sehingga pendalaman makna dongeng lebih banyak digali lewat "aksi" daripada ungkapan verbal.
Film ini hadir layaknya kopi itu sendiri, ada manis sekaligus pahit yang hadir di dikala bersamaan. Dua rasa yang sekilas begitu berlawanan tapi tak sanggup dipisahkan satu sama lain. Kopi yang hanya manis ataupun hanya pahit tidaklah nikmat. Ceritanya memakai perpaduan rasa kopi tersebut sebagai metafora kehidupan yang juga dipenuhi kedua rasa tersebut. Karakternya dekat dengan cinta. Entah cinta dengan orang lain ataupun cinta dengan karya yang mereka hasilkan (baca: kopi). Diracik tepat dengan chemistry kuat duet pemain film utama serta kisah yang hadir sederhana tapi begitu kaya, Filosofi Kopi menjadi sajian yang begitu nikmat sekaligus film Indonesia terbaik di tahun 2015 sejauh ini. Film yang dibentuk dengan cinta perihal kopi yang juga dibentuk dengan cinta. Jangan heran begitu selesai menonton anda pribadi ingin menikmati secangkir kopi.
Ini Lho Filosofi Kopi (2015)
4/
5
Oleh
news flash