Saturday, December 29, 2018

Ini Lho The Homesman (2014)

Nebraska tahun 1850, dengan suasana midwest yang gersang dan langit biru cerah membuka pembiasaan novel The Homesman karya Glendon Swarthout ini. Karakter sentralnya yakni Mary Bee Cuddy (Hilary Swank), seorang perawan bau tanah yang cukup kaya di lingkungannya. Meski hidup berkecukupan, Cuddy nyatanya diselimuti rasa sepi alasannya yakni tinggal sendirian. Kita bisa melihat bagaimana desperate-nya perempuan ini, termasuk dikala ajakannya untuk menikah ditolak seorang pria. Cuddy menyediakan makan malam, bahkan bernyanyi hanya untuk menemukan sang laki-laki tertidur kemudian menolak seruan menikah darinya. Kesedihan terpancar terperinci dikala untuk kesekian kalinya ia dianggap sebagai perempuan dengan penampilan "biasa" dan suka mengatur. Menyedihkan. Tapi menjadi tragis dikala kita melihat nasib tiga perempuan lain di kota itu. Dikisahkan ada tiga perempuan malang yang menjadi gila alasannya yakni pengalaman traumatis. Ada yang kehilangan tiga anaknya dalam waktu berdekatan alasannya yakni penyakit, ada yang kehilangan sang ibu kemudian mengalami pemerkosaan, ada pula yang depresi alasannya yakni kemiskinan dan berujung pada membuang bayinya sendiri di jamban.

Keluarga masing-masing perempuan itu merasa tidak bisa merawat mereka dan tetapkan untuk menyerahkan ketiganya pada gereja. Saat saya menyebut "keluarga", secara lebih khusus yakni para suami. Pada masa itu, kultur yang menempatkan perempuan pada keharusan menjadi istri serta ibu yang baik (baca: bertugas memasak, membersihkan rumah, merawat/melahirkan anak) masih amat kuat. Wanita seolah tidak berharga, sedangkan suami mereka tidak peduli bahkan tidak bersedia merawat sang istri. Wanita dalam film ini yakni korban, sosok malang yang diperlukan mengundang simpati. Sebagai penyeimbang, ada abjad Cuddy yang bisa melaksanakan semua keahlian pria, mulai dari menunggang kuda hingga menembak. Dengan semua itu, The Homesman jelas bukan sajian western yang macho. Sebaliknya, ini kental unsur feminise. Sekilas unik, alasannya yakni western biasanya mengeksploitasi kejantanan abjad laki-laki dalam bentuk koboi tangguh. Tapi meski jadi sentral, film ini tidak cukup menimbulkan abjad wanitanya sebagai sosok menonjol.
Untuk jadi film feminis, The Homesman terasa kurang lantang berteriak. Bandingkan dengan Meek's Cutoff yang tanpa harus berlebihan dalam menggambarkan laki-laki sebagai sosok tak mempunyai kegunaan atau perempuan sebagai sosok pemimpin tetap bisa menyuarakan bagaimana tangguhnya seorang perempuan dalam setting padang gurun yang keras. Segala konflik hadir dikala Cuddy mengajukan diri sebagai "Homesman" yang bertugas mengantar ketiga perempuan itu menuju sebuah gereja daerah perawatan pasien gangguan mental di Iowa. Padahal biasanya homesman adalah sebuah pekerjaan yang diemban seorang pria. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan George Briggs (Tommy Lee Jones). Merasa berhutang nyawa, Briggs pun oke membantu Cuddy dalam perjalanannya. Sampai sini kita melihat Cuddy sebagai perempuan yang begitu tangguh, hingga kerapuhan merenggut semua itu. Saya tidak beranggapan sebuah film feminis dihentikan menujukkan kerapuhan. Sebaliknya, hal itu mempunyai kegunaan untuk penguatan karakter. Permasalahannya ada pada konklusi yang diambil. Begitu film makin jauh bergerak, kita diberikan tiga perempuan gila dan satu perempuan yang frustasi terhadap statusnya sebagai perawan tua. Mereka pun gagal mengambil simpati saya.

Tapi kalau ditengok dari sudut pandang lain, The Homesman tidaklah gagal dalam eksplorasi tema. Midwestern dengan segala padang tandusnya memang daerah yang keras pada masa itu. Sebuah panggung tepat bagi dongeng mengenai desperation. Fokus utama yakni menampilkan sulitnya hidup baik secara fisik maupun psikis. Aspek psikis terperinci lebih terasa disini. Pada beberapa bagian, film ini menampilkan suatu flashback yang menggambarkan bagaimana mengenaskannya kehidupan ketiga wanita. Suatu adegan singkat tapi berhasil menyalurkan kesan depresif yang tidak jarang meninggalkan rasa tidak nyaman. Belum lagi kita diperlihatkan bagaimana Cuddy yang seolah semakin tidak mengindahkan lagi harga diri untuk mengobati keputus asaannya sebagai perawan tua. Mungkin film ini merupakan salah satu tontonan western paling kelam dan depresif dalam beberapa tahun terakhir.
Kesan depresif tersalur kuat, tapi Tommy Lee Jones selaku sutradara tidak sebagai performa aktingnya sebagai George Briggs. Dengan alur lambat plus durasi yang mencapai dua jam, tidak banyak momen yang sanggup memperlihatkan kekuatan bagi filmnya. Kebanyakan terasa datar, melelahkan, membosankan. Belum lagi ditambah kesan repetitif dalam pengambilan gambarnya. Menyebut kata "western", tentu hal pertama yang tergambar yakni hamparan gurun pasir dengan langit biru cerah di atasnya. Sudah bisa ditebak akan banyak muncul gambar landscape luas yang mengeksploitasi visual alam tersebut. Tapi tidak ada keindahan, tidak ada kesan memukau dalam gambar yang pada masa kini tidak lagi luar biasa itu. Hanya menyisakan repetisi membosankan yang predictable. Tapi sebagai Briggs, terperinci Tommy Lee Jones tidak kesulitan berperan. Karakter laki-laki bau tanah yang pada awalnya terasa minim kepedulian sebelum perjalanan mengubahnya perlahan bisa diperankan dengan baik. Hal sama terjadi pada Hilary Swank yang menciptakan keputus asaan Cuddy begitu believable.

Dengan dua akting bagus, ternyata film ini masih meninggalkan kekecewaan dalam aspek akting. Bukan para pemain lain berakting buruk, tapi salah satu alasan saya menonton film ini yakni kehadiran ensemble cast. Selain Tommy Lee Jones dan Swank, ada nama besar menyerupai James Spader, Hailee Steinfeld hingga "the great" Meryl Streep. Patut disayangkan kemunculan ketiganya tidak lebih dari extended cameo. Streep menyuntikkan kesan bahwa Altha Carter sang istri pendeta nampaknya tidaklah punya kemampuan mumpuni dalam merawat pasien gangguan jiwa, menciptakan saya berharap ia menerima porsi lebih. Hailee Steinfeld yakni yang paling tersia-siakan bakatnya meski "mulut pedasnya" bisa mencuri perhatian. Memang nama-nama besar ini bisa memanfaatkan screen time minim yang didapat, tapi sebagai film dengan pelengkap ensemble cast, ekspektasi saya akan porsi mereka terperinci tidak terpenuhi. Untuk keseluruhan film? Ternyata sama mengecewakannya.

Artikel Terkait

Ini Lho The Homesman (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email