Friday, December 28, 2018

Ini Lho A Girl Walks Home Alone At Night (2014)

Pada waktu masih kecil, saya sering merasa takut di malam hari dikala sedang mencoba tidur. Saya selalu terbayang-bayang ada sosok (hantu) perempuan dengan gaun panjang tengah mondar-mandir di jalanan depan rumah. Wanita itu tidak melaksanakan apapun kecuali berjalan perlahan sambil menanti ada orang lewat untuk ia jadikan mangsa. Belasan tahun berselang bayangan tersebut mulai terlupakan hingga malam ini dikala Ana Lily Amirpour membangkitkan kembali mimpi jelek tersebut dalam debut penyutradaraannya. A Girl Walks Home Alone at Night ber-setting di sebuah kota di Iran berjulukan Bad City. Dengan nama menyerupai itu pastinya ini bukanlah kota yang indah. Bad City ialah kota yang sunyi, khususnya di malam hari. Jalanan sepi dan gelapnya malam yang hanya disinari lampu-lampu jalan ialah lokasi yang bakal sering dikunjungi penonton. Dilengkapi visual hitam-putih dan ambience sound layaknya film David Lynch, makin kuatlah atmosfer mencekam film ini.

Tapi kota tersebut bukan hanya mengerikan secara suasana, kehidupan yang dijalani warganya pun tidak lebih menyenangkan. Setidaknya itu yang kita lihat dalam diri Arash (Arash Marandi) cowok bergaya ala-James Dean lengkap dengan jaket kulit, kaus putih dan kendaraan beroda empat klasik keren. Dalam kesehariannya, Arash bekerja sebagai tukang kebun, dan lewat kerja kerasnya itulah ia membeli kendaraan beroda empat meski hanya menerima honor yang tidak seberapa. Tapi beban yang harus ditanggung Arash begitu besar alasannya sang ayah (Marshall Manesh) ialah seorang pecandu kokain, hobi berjudi dan main wanita. Dia juga punya hutang besar pada seorang germo berjulukan Saeed (Dominic Rains). Kondisi tersebut semakin menciptakan Arash merasa tak berdaya dan dihantui kesepian. Sampai pada suatu malam ia bertemu perempuan misterius yang mengenakan cadar hitam besar (Sheila Vand). Arash tidak tahu bahwa sang gadis ialah vampir yang selama ini berkeliaran, membuntuti orang-orang di jalan setiap malam dan telah membunuh banyak orang.
 A Girl Walks Home Alone at Night adalah film modern bernafaskan horor yang paling baik dalam memanfaatkan visual hitam-putih. Pewarnaan menyerupai itu memang efektif memunculkan suasana kelam, tapi Ana Lily Amirpour melaksanakan lebih dari itu. Judulnya memang menyebut seorang perempuan yang berjalan sendirian di malam hari, tapi atmosfer yang dibangun justru menciptakan penonton serasa menjadi orang yang berada sendirian di jalan pada gelap malam. Perasaan tidak nyaman hingga kesan paranoid kalau-kalau ada sosok yang mengikuti berhasil disalurkan pada penonton. Kita familiar dengan perasaan tidak kondusif tersebut. Kemunculan sang vampir perempuan beserta tampilannya pun tidak berlebihan. Tidak perlu make-up berlebihan atau kemunculan tiba-tiba yang "berisik". Cukup dengan kerudung hitam dan kehadiran yang rahasia tapi tak terduga sudah cukup membangkitkan kembali rasa takut. 

Poin utama ceritanya ada dua, yaitu kesepian dan penderitaan. Penderitaan dari mereka orang-orang yang tak berdaya, entah itu menyerupai Arash dan ayahnya yang terhimpit problem ekonomi serta kecanduan, atau korban dari sang vampir yang hanya sanggup pasrah menunggu ajal. Beberapa scene menunjukkan alat-alat industri yang bekerja aktif, tapi kota di sekitarnya justru dipenuhi suasana depresif akhir kehidupan yang jauh dari kata makmur. Ironis memang disaat benda mati bagi industri tersebut terus hidup, para makhluk hidupnya sendiri terasa "mati". Mereka pun diselimuti kesepian yang tidak jauh berbeda dengan kesunyian kota di malam hari. Kita tahu Arash mencicipi hal itu, begitu juga Atti (Mozhan Marno), sang pelacur yang tidak bahagian dengan pekerjaannya. Tapi siapa mengira sang vampir mencicipi hal yang sama. Pada siang hari ia harus berada di dalam rumah, sendirian sambil menikmati koleksi musik yang kadang ia dapatkan dari para korban. Tapi sekalinya keluar di malam hari, yang ia temui hanya jalanan kota yang senyap.
Film ini mengajak kita untuk memandang sosok vampir wanitanya secara lebih mendalam. Observasi pun dilakukan, menjadikannya tidak hanya sebagai monster haus darah melainkan sosok yang terjebak dalam kesepian. Karena itu dikala berkeliaran di malam hari, hanya beberapa kali saja kita meihatnya mencari mangsa. Sisanya ia habiskan untuk mengikuti orang-orang, menciptakan mereka takut tanpa melukai, hingga menjelajahi kota dengan skateboard yang diambilnya dari seorang anak kecil. Bahkan dalam suatu adegan kita melihatnya merambat perlahan di dinding sambil tetap berada di atas skate. Daripada perbuatan jahat menyerupai yang ia tuturkan pada Arash, vampir ini lebih sering melaksanakan hal-hal iseng. Kekosongan yang ia rasakan dan tingkah polah yang seringkali menggelitik menciptakan saya gampang memperlihatkan simpati pada abjad ini. 

Lalu pada pertengahan, filmnya juga menambahkan sisi romansa. Kisah cinta antara Arash dan sang vampir dibuka dengan pertemuan menarik antara keduanya. Tapi seiring berjalannya waktu daya tarik itu sedikit luntur. Saya dibentuk memahami alasan ketertarikan keduanya, tapi tidak menyerupai pada sang vampir, kekerabatan tersebut tidak menciptakan saya hingga peduli. Unik? Pastinya. Tapi kehangatan romansa yang tersaji di tengah atmosfer hambar ini tak pernah sekuat atmosfer creepy-nya. Walau begitu hingga final sekalipun penampilan Sheila Vand masih begitu mengikat. Pada beberapa momen, sosoknya lengkap dengan tatapan hambar memunculkan rasa ngeri. Tapi di momen lain, tatapan hambar itu menjelma tatapan seorang gadis yang kesepian, bosan, tak tahu harus berbuat apa dikala sedang berjalan sendirian di malam hari.

Verdict: Sepertiga final dengan selipan romansa sedikit mengendurkan intensitas mood selaku pencetus utama film ini. Tapi dua pertiga awal ialah perjalanan atmosferik yang memperlihatkan satu lagi perspektif gres terhadap film bertemakan vampir dan menciptakan saya ingin bertemu lagi dengan sang vampir wanita.

Artikel Terkait

Ini Lho A Girl Walks Home Alone At Night (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email