Friday, December 28, 2018

Ini Lho The Overnighters (2014)

Negeri kisah akan selalu ada. Bagi kita warga Indonesia, Jakarta ialah negeri itu. Tempat dimana begitu banyak orang dari banyak sekali kawasan berbondong-bondong melaksanakan migrasi dengan harapan menerima pekerjaan layak dan uang melimpah. Tapi harapan tidak selalu berakhir sebagai kenyataan manis. Banyak dari mereka alhasil mendapati jangankan untuk menerima uang banyak, sekedar mempunyai pekerjaan serta tempat tinggal layak saja sulit. Permasalahan serupa juga hadir di Amerika, tepatnya di Williston, North Dakota. Proyek tambang minyak yang "menggila", memperlihatkan pendapatan per-kapita mencapai 29% (di atas rerata nasional) sekaligus membuka lapangan kerja melimpah. The Overnighters garapan Jesse Moss mengajak penonton menyaksikan bagaimana ribuan orang ber-migrasi ke Williston untuk mencari pekerjaan yang mereka impikan, sebelum alhasil harus mendapatkan kenyataan tidak semudah itu mendapatkan pekerjaan.

Masalahnya, banyak dari mereka tiba tanpa bermodalkan apapun. Tanpa pekerjaan tidak ada uang, dan tanpa uang tidak ada tempat tinggal. Beberapa yang cukup "beruntung" mempunyai RV masih bisa tinggal di dalam sana, atau berkemah di beberapa lahan yang ada. Tapi banyak pula yang tiba hanya dengan one-way ticket. Datang penuh harapan besar, orang-orang ini berakhir sebagai homeless. Dari situlah seorang Pastur berjulukan Jay Reinke mulai tergerak hatinya untuk memperlihatkan tempat tinggal. Alhasil ia memfungsikan Gereja disana menjadi penampungan bagi orang-orang tersebut. Bermula dari satu orang, hanya dalam tempo dua tahun saja sudah lebih dari 1000 orang yang tinggal. Ada yang tidur di lantai, ada pula yang menginap di kendaraan beroda empat yang terparkir di halaman Gereja. Tentu dengan gampang penonton akan bersimpati pada sang Pastur yang rela melaksanakan itu meski harus bertentangan dengan banyak pihak.
Jamaah Gereja banyak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran para overnighters. Begitu pula masyarakat Williston secara umum yang mulai diselimuti ketakutan akhir terjadinya beberapa kasus pelecehan seksual dan tindak kriminal lain yang dilakukan para pendatang. Tentu hal itu natural. Mementingkan keselamatan pribadi serta keluarga tercinta daripada orang gila yang mendadak memenuhi seisi kota ialah hal yang masuk akal dilakukan. Tapi disisi lain sebagai suatu komunitas masyarakat apalagi berpatokan pada ketentuan agama, bukankah menolong sesama yang membutuhkan ialah suatu keharusan? Disitulah Jesse Moss mulai melontarkan gosip sosial yang ada pada penonton. Kita tahu bahwa membantu sesama ialah kebaikan, tapi bagaimana jikalau kebaikan tersebut justru membahayakan diri kita dan keluarga? Karena itulah Pastur Jay Reinke menjadi sosok pendekar yang ideal. Pahlawan yang rela bangkit melawan segala rintangan untuk melaksanakan sesuatu yang kita tak berdaya melakukannya.
Tapi kemudian The Overnighters mulai berubah arah dengan begitu "halus". Dari sebuah paparan sekaligus social commentary, dokumenter ini beranjak menuju kisah perihal gejolak personal. Disaat kondisi semakin memojokkan Jay dengan munculnya hukum-hukum gres bagi para pendatang serta keterlibatan media dalam memanaskan suasana, kita sebagai penonton mulai mempertanyakan motivasi Jay dalam memperlihatkan segala pemberian tersebut. Benarkah semua itu merupakan panggilan kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang harus membantu sesama? Benarkah semua itu tulus tulus ia lakukan? Ataukah semuanya alasannya ialah faktor lain menyerupai obsesi pribadi, keseganan untuk menyampaikan "tidak", atau mungkin sebagai bentuk penebusan dosa? Seiring berjalannya film khususnya sesudah kehadiran kejutan menjelang akhir, kita pun menyadari sang Pastur tidak "seputih" yang selama ini terlihat. Seperti yang ia katakan sosok publiknya begitu berbeda dengan sosok pribadinya.

The Overnighters akhirnya jadi sebuah eksplorasi perihal keresahan disaat sang abjad utama mulai berada dalam posisi yang terpojok. Dari seorang panutan tepat yang dicintai banyak orang, ia pribadi berubah jadi orang yang dibenci, bahkan oleh mereka yang sebelumnya begitu memuja dirinya. Kita pun memahami alasan orang-orang tersebut. Karena memang begitu menyakitkan jikalau orang yang selama ini kita hormati alasannya ialah begitu mengasihi kita dengan tulus, serta merta membuang kita begitu saja dalam tempo waktu yang amat singkat cenderung mendadak. Dengan kamera yang bisa menangkap momen-momen hingga pada tingkat paling intim sekalipun, The Overnighters berhasil menguak segala sisi dengan gamblang dan mendalam. 

Verdict: Bergerak dari dokumenter perihal social commentary menjadi inner personal conflict, The Overnighters turut menjadi penampang wajah kehidupan sosial-ekonomi di kala modern. Penuh ironi ketika ending-nya, memperlihatkan bulat setan yang ada kembali lagi ke awal.


Artikel Terkait

Ini Lho The Overnighters (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email