Saturday, December 29, 2018

Ini Lho Get On Up (2014)

James Brown (Chadwick Boseman) berjalan di tengah lorong gelap dan dari kejauhan terdengar keriuhan penonton meneriakkan namanya. Lalu terdengar voice over yang nantinya akan kita tahu merupakan kalimat dari orang-orang yang hadir dalam hidup sang Godfather of Soul. Layaknya sebuah retrospeksi film ini dibuka. Retrospeksi yang terasa melankolis.....and then "bang!" Terdengar teriakan James Brown yang juga opening lagu Get Up Offa That Thing. Tentu akan banyak drama dan retrospeksi melankolis disini, tapi Get on Up adalah film wacana James Brown. Salah satu founding father musik funk sekaligus musisi penuh kegilaan. Makara tidak ada cara yang lebih tepat selain mengawali film ini dengan teriakan penuh semangat. Kemudian kita akan dibawa menyidik aneka macam fase kehidupan sang legenda lewat narasi yang tidak 100% linear. Ada kalanya kita dibawa ke masa muda James, kemudian tiba-tiba melompat menuju kurun kesuksesannya. Film ini bergerak liar, sama liarnya dengan lagu serta aksing panggung James Brown itu sendiri. 

Tanpa perlu menonton film ini, hampir semua orang tahu kegilaan seorang James Brown yang terus bertahan, bahkan dikala sudah lanjut usia sekalipun. Bahkan bahwasanya Get on Up tidak akan segila itu menggambarkan sosoknya. Kita tidak akan melihat James yang sudah sekarat tapi tetap memaksa naik panggung selama hampir dua jam maupun kesintingan populer lain. Tapi bagi penonton yang belum mengenal menyerupai apa James Brown, adegan pembuka dikala ia menembakkan senapan hanya alasannya ialah seorang perempuan memakai kamar mandinya tanpa ijin sudah cukup menggambarkan itu. Tarik mundur ke belakang, kita sanggup melihat James yang tidak takut kematian (menurutnya, ia lahir dalam kondisi mati kemudian bernafas lagi), James yang tertawa dikala pesawatnya diberondong peluru di tengah hutan Vietnam, James yang merasa tidak butuh orang lain, James yang merasa dirinya nomor satu dan tidak ada yang sanggup menghentikan langkahnya. He's super cocky

Teman-teman bandnya meninggalkan dia. "James Brown don't need nothing, James Brown don't need no one", begitu ungkapnya. Praktis memahami kebencian orang akan dirinya, tapi gampang juga memahami kenapa sosoknya sanggup terbentuk. Eksplorasi latar belakang James Brown bekerja dengan baik disini. Kehidupan masa kecilnya berat, hampir tanpa kasih sayang. Berbagai kesulitan yang membuatnya tampak ringan saja mengambil sepatu milik orang yang gantung diri. Ditambah kekerasan yang hadir dari sang ayah, membuat kesan masa kemudian ekstrim. Pada balasannya tingkat ekstrim itu pula yang mempermudah saya untuk sanggup memahami perkembangannya. Seorang anak hidup penuh kesendirian, tanpa pernah ada yang menyangi, bahkan dikala arif balig cukup akal pun ia ditemani kesendirian. Makara jangan heran jikalau itu membentuk sang anak menjadi sosok yang keras, selalu ingin jadi nomor satu bahkan terkesan tidak punya perasaan kepada orang terdekat sekalipun. Tapi naskah Jez Butterworth dan John-Henry Butterworth berhasil mengatakan bahwa James Brown bukanlah monster. Dia hanya sosok yang tidak menerima cinta sehingga tidak tahu cara menungkapkan cina. Itulah kenapa ia lebih sering kehilangan dan sendiri.
Dramanya bekerja dengan baik mengeksplorasi karakternya. Mungkin banyak tindakan abnormal James tidak dimunculkan disini, membuat Get on Up terasa lebih lembut dari seharusnya. Tapi apa yang dihadirkan bagi saya sudah cukup untuk menampilkan abjad James Brown. Lebih dari ini, esensi film sanggup jadi bergeser. Get on Up adalah perjuangan untuk mengenali kedalaman James Brown, bukan eksploitasi kegilaannya. Film ini pun lebih terasa sebagai citra James sebagai laki-laki dengan kesulitan hidup, bukan laki-laki dengan bakat musik luar biasa. Fokusnya lebih kearah drama tersebut. Tapi jangan salah, bukan berarti film ini mengesampingkan sosoknya sebagai legenda funk. Dramanya tidak banyak mengeksplorasi itu, alasannya ialah dengan beberapa kali adegan live concert sudah terpancar terperinci aura dan kejeniusannya. Adegan konser bukan sekedar komplemen momen musikal ataupun gimmick, tapi transfer spirit sang tokoh. Apa yang dipertunjukkan bukan serumit apa permainan alat musik atau sekeren apa komposisi lagunya, melainkan rasa yang hadir dalam setiap performance.
Justru hal itu paling penting, alasannya ialah menyerupai itulah esensi musik yang dibentuk James Brown. Bukan mengutamakan komposisi atau harmonisasi, melainkan eksploitasi rasa yang harus diteriakkan dengan jujur dan total. Dengarkan Get Up Offa That Thing atau Sex Machine dan kau tidak akan menemukan aransemen rapih atau chorus easy listening disana, melainkan seorang laki-laki yang meneriakkan perasaannya lewat musik. Pada salah satu adegan diperlihatkan pula bagaimana James tidak mempermasalahkan apakah sebuah instrumen terasa serasi dengan instrumen lainnya. Dia tidak peduli. Teknis bukan nomor satu, yang penting luapan rasa. Aspek itulah yang ditampilkan dengan baik oleh sutradara Tate Taylor disini. Tentu saja untuk mencapai semua itu diperlukan penggambaran tepat terhadap James Brown. Disinilah faktor paling luar biasa dari Get on Up hadir dalam diri Chadwick Boseman. 

Aktingnya bukan sekedar meniru ataupun mimicking. Metode menyerupai itu akan terlihat konyol alasannya ialah James Brown ialah abjad ikonik. Hanya menjiplak akan terasa kosong dan jatuh sebagai parodi. Tapi Boseman bertransformasi penuh. Dia menjadi James Brown. Contoh tepat akting luar biasa Boseman sanggup dilihat dari adegan konser. Tentu saja beliau begitu baik dalam menari, dan dikala harus menyanyi pun luar biasa. Tapi itu saja tidak cukup. Apabila beliau tidak "menjadi", maka performa abjad James Brown dalam film ini akan terasa datar. Tapi kenyataannya tidak. Saya sanggup mencicipi setiap ekspresi, tarikan suara, dan gerak liarnya diatas panggung sebagai sebuah lisan nyata. Aura "raja panggung" terpancar berpengaruh dari Boseman. Inilah yang disebut "mojo" dari seorang musisi. Sebuah "faktor X" yang akan membuat kehadirannya diatas panggung penuh pesona dan mempengaruhi penonton bahkan meski tidak melaksanakan apapun. Boseman berhasil memunculkan aura tersebut, dan itu bukti berpengaruh keberhasilan transformasinya. 

Tapi jangan harapkan kesempurnaan disini. Dramanya memang berhasil membuat saya memahami, tapi tidak hingga membuat saya ikut merasakan. Saya paham kesedihan masa kemudian yang membentuk sosok James Brown menyerupai yang kita tahu, tapi kesedihan itu gagal tersalurkan. Sebuah faktor yang amat vital, alasannya ialah Get on Up adalah film dengan fokus pada abjad yang mengutamakan rasa daripada aspek apapun, dan dikala rasa itu hanya berhasil dipahami tanpa ikut dirasakan oleh penonton, satu kekurangan itu amat besar dampaknya. Kekurangan lain ada pada aspek teknis yaitu make-up. Sebuah resiko besar dikala sebuah biopic menampilkan kehidupan tokohnya dari muda hingga masa tua. Tantangan terbesar tentu membuat wajah pemain film muda menjadi sosok yang jauh lebih tua. Transformasi Boseman menjadi James Brown renta memang agak mengganggu, tapi yang paling jelek ialah Bobby Byrd (Nelsan Ellis). Kedua sosok ini (khususnya Nelsan Ellis) lebih tampak menyerupai versi patung lilin abjad mereka daripada wajah renta penuh keriput. That's annoying and creepy for me.  Get on Up dengan performa Chadwick Boseman dan musik-musik danceable penuh semangat milik James Brown ialah tontonan yang memacu sekaligus menyenangkan. Bagus, tapi saya berharap lebih sanggup "dirangkul" lagi oleh film ini.

Artikel Terkait

Ini Lho Get On Up (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email