Pihak sekutu pada alhasil memenangkan Perang Dunia II yang berlangsung selama enam tahun. Berbagai kisah heroik perihal usaha prajurit yang bertaruh nyawa di tengah medan perang pun banyak bermunculan. Tapi tidak banyak orang tahu bahwa kunci kemenangan pihak sekutu bukan berasal dari garis depan peperangan, melainkan dari sebuah ruangan kecil yang terletak di Bletchley Park, Inggris. Disana, enam orang code breaker bekerja selama kurang lebih 18 jam setiap harinya untuk memecahkan arahan diam-diam berisikan rencana serangan pihak Jerman yang dikirim lewat sinyal radio umum, jadi hampir semua orang sanggup mendengar itu tanpa mengetahui artinya. Kode itu dikirim lewat sebuah alat yang disebut Enigma. Alan Turing (Benedict Cumberbacth) seorang jenius matematika yang kelak juga dikenal sebagai pioneer teknologi komputer yaitu orang yang memimpin porses pemecahan arahan tersebut. Turing dan lima orang lainnya termasuk perempuan berjulukan Joan Clarke (Keira Knightley) bekerja secara diam-diam di bawah dukungan militer Inggris untuk memecahkan arahan paling rumit dan rahasia.
Ironisnya bagi Turing arahan diam-diam paling kompleks bukanlah Enigma melainkan insan beserta interaksi diantara mereka. Sudah semenjak usang Alan Turing menjadi seorang jenius yang tidak berakal berinteraksi dan dibenci oleh banyak orang alasannya yaitu hal itu. Dia dianggap ketus dan tidak mempedulikan perasaan orang, suatu hal yang memang tidak pernah sanggup dipecahkan oleh Turing. Rahasia, rahasia, rahasia. Kata itu memang berperan besar pada film ini. The Imitation Game adalah kisah diam-diam perihal seorang laki-laki yang hidup dalam banyak rahasia. Turing memang menyimpan banyak hal, menyerupai keterlibatannya dalam kelompok codebreaker tersebut yang tidak pernah dipublikasikan keberadaannya hingga puluhan tahun kemudian, hingga orientasi seksualnya sebagai seorang gay yang pada masa itu masih dianggap sebagai suatu tindakan kriminal (baru pada 2013 atau 49 tahun sehabis kematiannya Turing menerima pengampunan resmi dari Ratu Elizabeth II).
Film ini punya tiga setting waktu. Tahun 1951 hadir dengan fungsi sebagai penggagas narasi, tahun 1920-an sebagai eksplorasi abjad Alan Turing lewat masa lalunya, dan masa Perang Dunia II sebagai fokus utama. Ketiga masa itu muncul bergantian secara acak, tapi penyutraaraan cantik Morten Tyldum berhasil menciptakan ketiganya tidak saling tumpang tindih. Meski acak, kesemuanya berkorelasi dengan apik memaparkan tiga masa dalam hidup Turing, juga tersaji rapih sehingga penonton akan dengan simpel merangkainya menjadi satu kesatuan utuh yang simpel dipahami. Tapi semoga bagaimanapun masa Perang Dunia II terperinci jadi kisah paling menarik, diluar fakta bahwa kisah itu yang menerima porsi paling banyak. Cerita masa kemudian Turing yang terjadi ketika ia bersekolah di Sherbone dan menjalin "asmara" dengan Christopher Morcom mungkin tidak memberi impact secara pergolakan emosi, tapi menjadi pemaparan lengkap. Dari situ aku sanggup memahami Alan Turing sebagai seorang gay hingga sisinya sebagai anti-sosial dan orang kesepian.
Kisah tahun 1951 pada awalnya tidak lebih dari sekedar penggerak, namun gres terasa kekuatannya sebagai konklusi kisah yang kuat. Disitulah penonton benar-benar sanggup mencicipi seberapa kesepian yang dialami Turing sehabis sebelumnya gres diajak meraba dan mengira-ira. Daya tarik film ini memang berada di seputaran usaha Turing dan rekan-rekannya memecahkan sandi Enigma. Pada bab itu sentuhan thriller mulai meresapi alurnya, memperlihatkan tensi yang lebih tinggi. Sebuah adegan ketika Turing dan teman-temannya mulai menyadari kunci memecahkan Enigma merupakan momen paling menegangkan sekaligus paling memperlihatkan kebahagiaan dalam film ini. Apalagi ditambah iringan scoring garapan Alexandre Desplat yang tepat membangun atmosfer. Tentu saja masih ada aspek drama pada bab itu. Segala sisi Alan Turing mulai dari kecerdasan, arogansi, kesepian, kesedihan, semuanya dihadirkan. Masa itu tidak hanya digunakan Turing untuk memecahkan arahan rahasia, tapi juga memecahkan definisi menjadi seorang manusia.
Pertanyaan yang hadir "apakah Alan Turing seorang insan atau mesin dengan intelejensi tinggi?" Bukan bermaksud menyebut Turing yaitu sosok yang terbuat dari logam dan komponen mesin, tapi lebih kearah perasaan. Seringkali sosoknya diperlihatkan heartless. Film ini menciptakan aku mengerti bahwa perilaku itu yaitu manifestasi dari kesepiannya selama ini. Apalagi Turing lebih banyak menghabiskan waktu dengan mesin daripada manusia. Kesan ambigu dari sosok Alan Turing hadir dengan tepat disini. Sama menyerupai detektif yang menginterogasinya, aku pun tidak sanggup memperlihatkan evaluasi terhadap Alan Turing. Apakah ia orang baik? Orang jahat? Apakah ia pahlawan perang? Ataukan ia seorang yang sadis? Sulit untuk memperlihatkan penilaian. Tapi untuk menilai apakah ia mesin atau insan aku sanggup memberi jawaban. Disitulah kegunaan abjad Joan Clarke. Sebagai individu ia memang tidak terlalu menonjol (saya berharap ia diberi banyak waktu lebih untuk bersinar dalam pemecahan kode) tapi sebagai aspek yang membantu eksplorasi abjad Turing sosoknya begitu berguna. Lewat interaksinya dengan Joan, Turing mulai mempelajari bagaimana cara berbohong, bagaimana cara berkorban. Hal dasar insan yang selama ini tidak ia pahami.
Benedict Cumberbatch terperinci amat familiar dengan tipe abjad menyerupai yang ia mainkan disini. Karakternya mempunyai banyak kesamaan dengan sosok Sherlock Holmes yang juga ia perankan, bedanya Alan Turing lebih gamblang dalam menghadirkan kerapuhannya. Meski sama-sama seorang anti-sosial yang jenius sekaligus arogan, Turing tidaklah punya kepercayaan diri sebesar Sherlock disaat harus "memamerkan" kejeniusannya pada orang lain. Sisi itu ditonjolkan oleh Cumberbatch dengan tepat lewat cara bicara gagap serta keraguan untuk melaksanakan eye contact dengan lawan bicara. Sempurnanya Cumberbatch sebagai Turing juga diperkuat lewat mata dan lisan yang sering menciptakan aku bertanya-tanya "benarkah orang ini punya perasaan?" Cumberbatch terperinci bakal menjadi salah satu kandidat terkuat pemenang Oscar tahun ini bersama Michael Keaton dan Eddie Redmayne. Keira Knightley sendiri berhasil mengimbangi Cumberbatch ketika harus bersanding dalam satu scene. Dengan beberapa sarkasme yang ia lontarkan begitu sempurna, karakternya mencuri perhatian. Secara keseluruhan, The Imitation Game adalah perpaduan tepat antara drama biopic yang mengeksplorasi abjad yang diangkat secara berpengaruh dengan thriller yang mendebarkan. Penuh diam-diam perihal aneka macam macam rahasia. Bagi anda yang tidak mengetahui banyak perihal konspirasi dan diam-diam Perang Dunia II, this movie will blow your fuckin' mind!
Ini Lho The Imitation Game (2014)
4/
5
Oleh
news flash