Friday, December 28, 2018

Ini Lho Toba Dreams (2015)

Seberapa banyak film yang bisa membuat penonton menangis? Banyak. Bahkan romansa murahan ala Nicholas Sparks itu tearjerker efektif. Tapi seberapa banyak film yang bisa membuat air mata penonton mengalir alasannya yaitu bisa mewakili perasaan mereka? Saya tidak sedang membicarakan diri saya sendiri, atau segelintir orang, tapi dominan penonton setidaknya dalam ruang kawasan saya menonton. Jawabannya tidak banyak. Toba Dreams garapan Benni Setiawan merupakan salah satunya. Judulnya memang memakai nama "Toba". Setting serta abjad pun begitu kental unsur budbahasa Sumatera Utara. Namun dongeng yang dibawa film ini tidak pernah terbatasi oleh apapun alias universal. Karakternya mewakili tiap generasi. Bagi generasi muda atau seorang anak, ada sosok Ronggur (Vino G. Bastian) yang punya mimpi untuk bisa sukses di Jakarta dan menikahi seorang perempuan yang berbeda keyakinan dengannya, Andini (Marsha Timothy).

Ronggur itu keras kepala dan tidak ragu untuk memberontak pada orang tuanya demi bisa menjalani hidup ibarat yang ia impikan lewat jalannya sendiri. Dia pun begitu kesal ketika sang ayah (Mathias Muchus) berusaha mengatur dirinya untuk menjadi ibarat yang diinginkan ayahnya. Kesan rebel yang dilatar belakangi hasrat berpengaruh untuk bisa meraih mimpi demi memberi bukti pada orang tua. Aspek itulah yang membuat abjad Ronggur begitu akrab dengan penonton muda, atau lebih tepatnya mereka yang mulai beranjak dari masa remaja menuju cendekia balig cukup akal (termasuk saya). Kita pernah ada di posisi itu. Saya pernah ada di posisi itu. Sedangkan bagi penonton yang lebih bau tanah atau yang mempunyai anak seusia Ronggur, abjad Sersan Tebe pastinya terasa mewakili. Seorang ayah yang keras, ingin sang anak mengikuti jejaknya, hingga tak jarang terkesan begitu egois. Tapi dibalik itu, alasan utamanya alasannya yaitu menginginkan masa depan yang terbaik bagi Ronggur.
Hubungan yang terjalin antara Ronggur dan ayahnya terasa familiar bagi saya. Semua itu ada pada hidup saya, hidup kebanyakan penonton. Perdebatan dan pertengkaran memang selalu terjadi, bahkan perang dingin. Tapi diluar adegan konklusi yang menyatakan secara verbal, jauh sebelum itu Benni Setiawan sudah berhasil menyiratkan bahwa keduanya saling menyayangi, hanya saja tertutupi oleh hal lain. Hal lain yang bisa berupa ego maupun harga diri. Sejatinya konflik macam ini sudah begitu sering dihadirkan dalam film. Hanya saja "penyakit" yang kerap terjadi yaitu sosok anak sering hadir sebagai protagonis yang menderita tak berdaya tanpa ada penggalian latar belakang lain demi menguatkan simpati penonton. Sedangkan karater ayah sering digambarkan menjadi antagonis yang selalu murka dan memaksa tanpa ada sedikitpun tersirat rasa sayang pada anaknya. Sebelum pada hasilnya pada konklusi secara absurd kedua belah pihak menawarkan cintanya. Toba Dreams tidak ibarat itu.

Masing-masing abjad punya alasan serta motivasi berpengaruh dalam diri mereka. Membuat penonton hasilnya bisa memahami, bisa ikut mencicipi tanpa harus berpihak. Keduanya punya momen kelam masing-masing disaat mereka terjatuh dan dibutakan. Tapi fokus utama tentu ada pada Ronggur. Biar bagaimanapun penonton harus bisa bersimpati padanya, dan itu berhasil. Durasi yang cukup usang (144 menit) dipakai oleh Benni Setiawan dengan begitu efektif untuk menuturkan babak-babak kehidupan karakternya. Setiap babak pun dihadirkan dengan kualitas yang berimbang. Alhasil kita benar-benar mengenal Ronggur sedari ia masih seorang anak kampung penuh harapan dan pemberontakan, kemudian berjuang di Jakarta, mencapai keberhasilan meski itu membawanya dalam "lubang hitam", hingga hasilnya terjatuh lagi. Kisah jatuh berdiri usaha memang klise, bisa pula membosankan. Tapi akan begitu berpengaruh dan emosional kalau tiap fase digarap maksimal. Ronggur pun bukan hanya abjad dua dimensi di layar. Dia yaitu kita, atau setidaknya terasa ibarat seorang kerabat akrab yang kita kenal baik.
Untuk membuat itu bukan hanya penggarapan Benni Setiawan maupun naskah yang ia tulis bersama TB Silalahi (penulis novel Toba Dreams) saja yang harus kuat, tapi juga akting tiap pemain. Disitulah Vino G. Bastian berperan besar. Tanpa mengesampingkan faktor lain, ada dua hal paling penting untuk menghidupkan abjad Ronggur: transformasi dan motivasi alasannya yaitu rasa sakit terpendam. Ronggur bertransofrmasi dari laki-laki kampung yang berambisi mengejar mimpi menjadi seorang laki-laki mapan berwibawa yang punya segalanya. Vino pun bertransformasi dengan mulus. Sedangkan faktor kedua pun ia lakoni dengan baik. Beban dan sakit begitu faktual ia pancarkan. Sebagai tandem hadirlah Mathias Muchus. Matanya memancarkan ketegasan yang keras. Tapi jauh di balik itu ada kesedihan. Kesedihan yang beberapa kali hanya tersirat namun cukup menghadirkan haru. Apalagi ketika semuanya ia hadirkan secara nyata.

Teriakan dan tangisan dalam pertengkaran begitu mendominasi Toba Dreams. Sedikit berlebihan, tapi tidak hingga pada taraf yang mengganggu. Untuk ledakan emosi sebanyak itu, apa yang ditunjukkan oleh film ini memang substansial. Sesuai dengan abjad maupun situasi yang ada. Tema yang diusung ada di seputaran kekerabatan anak dan orang tua, ambisi, hingga percikan konflik mengenai agama. Ketiganya hadir maksimal tanpa terasa tumpang tindih. Seperti yang telah saya singgung, kekerabatan anak dan orang bau tanah terasa kuat, begitu juga tema ambisi yang menghadirkan jatuh berdiri perjuangan. Sedangkan tema agama menghadirkan salah satu adegan paling indah dalam perfilman Indonesia, yakni ketika dilakukan doa sebelum makan malam di rumah Sersan Tebe. Indah bukan alasannya yaitu sinematografinya, alasannya yaitu Benni Setiawan mengemas adegan ini dengan sederhana. Indah alasannya yaitu esensi kebersamaan ibarat itulah yang selama ini begitu saya dambakan. Saat itulah air mata semakin tak tertahankan.

Verdict: Lampu bioskop menyala tapi air mata saya dan banyak penonton lain masih mengalir. Itu bukan tangisan hasil "manipulasi" adegan menyedihkan, tapi alasannya yaitu kita tahu rasanya mengecewakan orang tua, jatuh ketika menggapai mimpi, dan mengasihi serta dicintai orang-orang terkasih. Toba Dreams memang senyata, sekuat dan seindah itu.

Artikel Terkait

Ini Lho Toba Dreams (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email