Friday, December 28, 2018

Ini Lho Easy Rider (1969)

 Originally published on MOKINO:
http://mokino.co/features/detail/193/easy-rider-1969/
Mari sejenak menengok perfilman kita. Tema kultur, budaya, budpekerti sering jadi fokus utama khususnya beberapa tahun terakhir. Banyak pembuat film berlomba membuat suatu karya yang menjadi wajah kebudayaan tanah air. Mengatas namakan diri mereka "cinta Indonesia" dan membuat film semacam itu guna menunjukkan rupa negeri ini pada bangsa asing. Bahkan film-film sejenis ini sering diagungkan sebab dianggap "culturally significant". Tapi wajah atau kultur yang dipertontonkan seringkali hanya kepingan indahnya saja. Hal itu dilakukan (katanya) dengan tujuan mendidik. Seolah banyak dari mereka takut untuk menyajikan sesuatu yang benar-benar signifikan bila hal itu jelek rupa. Easy Rider sebagai debut penyutradaraan Dennis Hopper ini yaitu pola keberanian bertutur yang apa adanya. Apa adanya wajah, kondisi, serta kultur Amerika pada simpulan 60-an hingga awal 70-an terhampar terang disini.

Pada kurun tersebut budaya hippie, komunal, hingga penggunaan drugs mulai berkembang. Berbagai kultur yang membuat konflik tersendiri di kalangan masyarakatnya. Saya memang tidak hidup pada zaman tersebut, tapi penggambaran bahwa ketika itu yaitu masa yang "keras" dalam film ini cukup meyakinkan saya bahwa Dennis Hopper menuturkan semuanya secara jujur. Ada nuansa perlawanan yang besar lengan berkuasa disini. Perlawanan untuk memperjuangkan kebebasan serta melawan ketidak adilan. Berpijak pada hasrat untuk hidup bebas itulah yang melatar belakangi perjalanan Wyatt (Peter Fonda) dan Billy (Dennis Hopper). Setelah menerima uang banyak hasil menyelundupkan narkoba dari Meksiko, dengan menaiki chopper keduanya melaksanakan perjalanan menuju Louisiana untuk menghadiri pameran "Mardi Grass". Setelah itu mereka ingin pensiun dan hidup tenang dengan bermodalkan uang yang mereka dapat. Sederhana.

Penuh kebebasan perjalanan mereka. Terasa betul harapan meninggalkan segala beban hidup di belakang. Bahkan sebelum perjalanan, Wyatt membuang arloji emasnya. Selama perjalanan keduanya hanya bermodalkan motor, uang yang disimpan dalam tangki bensin, pakaian di badan, serta tentunya marijuana. They just wanna be free. Tapi perjalanan itu bukan hanya perihal mereka, tapi perihal Amerika. Sepanjang jalan penonton dibawa melihat rupa Amerika ketika itu, khususnya kawasan pinggiran kota yang bahkan belum tahu arti "L.A." ataupun "dude". Filmnya mengajak kita melaksanakan observasi, dari tampak luar ibarat kondisi pemukiman orang kulit hitam, petani, dan hippies yang hidup komunal, hingga yang lebih dalam yakni kultur dan cara mereka menjalani hidup. Kebanyakan dari mereka hidup jauh dari kesan mewah. Bahkan sebuah komunitas sulit untuk makan sebab ladang yang kering. Tapi mereka senang sebab mereka bebas. Kebahagiaan yang hadir sebab segala kesederhanaan dari orang dengan selera sederhana.
Pada awalnya semua terasa damai. Bahkan saya ikut dibentuk mencicipi suasana hening itu hanya dengan melihat Wyatt dan Billy melintasi jalanan penuh padang tandus serta pegunungan. Filmnya sanggup mentransfer rasa senang yang hadir oleh hal sederhana pada penonton. Kondisi mulai memansa ketika mereka berdua plus seorang pengacara pemabuk berjulukan George (Jack Nicholson) yang ikut di tengah perjalanan hingga di Louisiana. Hanya berniat makan santai di sebuah restoran, ketiganya menerima respon tak mengenakkan dari warga setempat. Gadis-gadis memang memuja mereka, tapi para laki-laki termasuk Sheriff melontarkan kalimat-kalimat penuh nada rasisme serta homophobic. Kita mulai melihat bagaimana para hippie ini dipandang sebagai sampah penganggu oleh banyak orang ketika itu. Sebelum ini pun mereka sempat ditolak menginap di sebuah motel. Mereka yang mapan menganggap hippie sebagai golongan rendah, tapi ibarat yang diucapkan George, mereka hanya takut.
Takut akan apa? Akan pola pikir hidup bebas yang diusung para hippie. Disinilah unsur perlawanan yang dibawa naskah goresan pena Dennis Hopper, Peter Fonda dan Terry Southern mencapai puncaknya. Hidup di Amerika yang mengatas namakan dirinya sebagai negara bebas dimana orang-orangnya menyuarakan kebebasan, tapi mereka justru takut pada hippies yang benar-benar menerapkan kebebasan itu. Tapi Hopper, Fonda dan Southern sadar perihal realita yang ada bahwa para "anti-kebebasan" itu yaitu orang mapan dengan segala kekuasaan serta kekuatan. Mereka tidak mau muluk-muluk menyuarakan perlawanan dengan menawarkan kejayaan pada kaum hippies. Itu hanya membuat filmnya tidak realistis bahkan overly-dramatic. Karena itu perubahan tone menjadi lebih gelap bahkan ending-nya yang tragis pun jadi pilihan tepat. 

Easy Rider menggunakan teknik editing yang unik dengan banyak jump cut. Ini bukan tanpa substansi. Teknik tersebut bertujuan menggambarkan sudut pandang serta isi otak karakternya yang berada di bawah dampak marijuana. Hal ini mencapai puncaknya ketika Wyatt dan Billy bersama dua orang pelacur memakai LSD sebelum berafiliasi seks di simpulan film. Nuansa psychedelic yang sureal disaat tangisan, tawa, kehidupan, kematian, seks, hingga barisan doa Katholik bercampur aduk menjadi satu begitu besar lengan berkuasa pada adegan tersebut. Terasa aneh, kadang mengerikan, dan pastinya penuh kekacauan. Easy Rider memang begitu piawai dalam menggerakkan mood penonton biar sanggup ikut mencicipi apa yang dirasakan karakternya. Penggunaan soundtrack berisikan lagu-lagu ballad rock hingga folk juga turut berperan dalam keberhasilan tersebut.

Departemen akting juga menjadi kekuatan besar disini. Peter Fonda dan Dennis Hopper yaitu dynamic duo yang menjadi tiang penyangga kokoh. Wyatt dan Billy yaitu dua aksara yang cukup bertolak belakang. Wyatt dengan atribut bendera Amerika menjadi sarana tepat bagi Peter Fonda mengeksplorasi kharisma penuh kesan cool yang ia miliki. Wyatt ibarat julukannya yaitu "Captain America". Sedangkan Billy yang eksentrik bagaikan perlampang para Native American. Berkebalikan dengan Fonda, aksara Billy menjadi ajang Dennis Hopper karam dalam marijuana penuh imajinasi aneh, dan itu terpancar besar lengan berkuasa dalam sosoknya. Kemudian Jack Nicholson sebagai George bagai punya daya gravitasi besar lengan berkuasa yang membuat saya tersedot dalam tiap dialognya meski dengan pengucapa lirih dan diseret. Inilah film dimana Hollywood mulai menyadari talenta besar dalam diri sang aktor. Bersama-sama mereka bertiga menyajikan komposisi menarik dalam tiap obrolan yang tidak hanya penuh asap marijuana tapi juga improvisasi berkarakter.

Verdict: Menyampaikan pesan dengan cara menampar penonton lewat realita yang dipenuhi luka. Disampaikan secara jujur apa adanya, Easy Rider adalah film yang tidak hanya mewakili generasi suatu kurun beserta kulturnya, tapi juga berpotensi menghadirkan pergerakan untuk menawarkan perlawanan, meski banyaknya adegan di jalan tanpa terjadi apapun sanggup membuat beberapa penonton bosan.


Artikel Terkait

Ini Lho Easy Rider (1969)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email