Friday, December 28, 2018

Ini Lho Testament Of Youth (2014)

Kandungan kisah dalam Testament of Youth mempunyai segalanya untuk menjadi sebuah memoir perang emosional. Naskah Juliette Towhidi yang merupakan pembiasaan memoir berjudul sama karya Vera Brittain menjangkau begitu banyak sisi, mulai dari romansa, persahabatan, sampai kisah kemanusiaan. Sebuah drama mengenai Perang Dunia I terbagi menjadi dua: bencana dan kebahagiaan ajaib. Memilih yang manapun sama-sama menuju kearah sajian dramatis nan menyentuh. Sutradara James Kent juga tampak begitu menghormati memoir Vera Brittain, itu sanggup serta merta kita rasakan. Dia memperlakukan tiap huruf dengan penuh perasaan, mengemas interaksi diantara mereka layaknya kenangan berharga. Semakin terasa indah disaat sinematograger Rob Hardy memakai filter warna yang lembut, membiarkan alam lengkap dengan kilauan cahaya matahari seolah melambai perlahan pada kita.

James Kent berusaha tampil puitis lewat visual manis dan narasi yang seringkali berupa rangkaian sajak puisi goresan pena Vera Brittain (Alicia Vikander) ataupun kekasihnya yang berada di medan perang, Roland (Kit Harington). Saya tidak mempermasalahkan pilihan tersebut, lagipula ketika harus memindahkan setting ke rumah sakit, Kent bersedia menanggalkan keindahan itu untuk diganti dengan horor tak menyenangkan berupa tumpukan mayat. Mungkin mereka yang telah meregang nyawa itu jauh lebih beruntung daripada para kompatriotnya yang harus menderita rasa sakit begitu besar, entah sebab lubang bekas luka tembak atau ada pecahan badan yang hancur. James Kent paham betul cara membangun suasana lewat gambar dan kapan ketika suasana tersebut harus diganti. Masa tanpa perang dan romansa Vera dan Roland disajikan lewat warna lembut yang cerah, sebaliknya masa perang dipenuhi warna gelap yang tajam. Maksudnya yaitu untuk menunjukkan komparasi ekstrim antara situasi yang bertolak belakang tersebut.
Tapi dengan semua itu, Testament of Youth tetap berakhir sebagai penyia-nyiaan kekuatan materi dasar bagi saya. Selain kisah dan karakter, ada satu hal fundamental yang teramat penting untuk ditampilkan supaya penonton sanggup ikut terbawa perasaannya. Hal penting itu yaitu waktu atau momen. Kita perlu tahu kapan suatu hal terjadi untuk sanggup terikat dalam peristiwa terebut Tanpa adanya setting waktu yang definitif, penonton akan kesulitan mencicipi substansi suatu drama. Film ini gagal mengemas hal tersebut. Saya tidak tahu niscaya sudah berapa usang Verda dan Roland berkenalan, kemudian berapa usang mereka berpisah di medan perang, kapan jarak waktu antara momentum satu dan lainnya, begitu seterusnya. Saya tersesat pada dimensi waktu film ini. Mungkin hal ini dikarenakan transformasi yang tidak mulus dari baris kalimat dalam buku menjadi narasi visual. 

Cukup dengan satu atau dua kalimat yang menyuratkan "kapan", narasi dalam memoir bisa dijembatani. Tapi film tidak demikian. Harus ada jembatan yang lebih nampak. Biasanya diakali dengan penggunaan sebaris tulisan. Cara lainnya yaitu yang dipakai Richard Linklater dalam Boyhood (review). Tidak ada jembatan antar waktu, tapi melihat perubahan fisik karakternya kita tahu niscaya kapan ketika waktu hanya berlalu sesaat, kapan yang dalam hitungan tahun. Tanpa adanya pengetahuan mengenai dimensi tersebut, saya pun tidak mencicipi sisi emosional dalam film ini. Bagaimana sanggup hadir rasa simpati bila saya tidak menerima petunjuk sudah berapa usang Vera dan Roland berpisah? Apa yang saya tahu hasilnya terbatas pada yang saya lihat. Keduanya berkenalan, kemudian jatuh cinta namun harus berpisah sehabis beberapa hari. Kemudian bertemu lagi dalam kondisi Vera diterima di Oxford, tujuan yang sama dengan Roland. Namun meletusnya Perang Dunia I memisahkan keduanya disaat Roland terjun ke medan perang. Vera yang merasa tidak hening hasilnya menentukan menjadi perawat sukarelawan, mengesampingkan impiannya untuk berguru di Oxford. 
Screentime romansa Vera dan Roland amatlah sedikit. Bahkan sehabis keduanya berpisah, penonton hanya diajak melihat Vera, sedangkan Roland otomatis menghilang. Lalu pada pecahan mana saya harus merasa peduli pada korelasi mereka berdua? Tentu kita melihat bagaimana Vera merasa tidak hening sebab mencemaskan Roland, tapi itu saja tidak cukup. Sebelumnya harus sudah ada pondasi berpengaruh untuk korelasi mereka berdua. Tapi layaknya adab penuh sopan santun pada banyak sekali period drama yang bagi saya hambar dan kaku, pembangunan romansa keduanya pun terasa menyerupai itu. Mereka saling bertukar puisi, saling berbicara, saling tersenyum, tapi tidak ada kehangatan yang menciptakan saya percaya kekuatan cinta mereka memang begitu besar. Setidaknya Vera yaitu sosok yang menarik. Pada awal film kita melihatnya sebagai perempuan keras kepala yang tidak segan menetang sang ayah demi sanggup berkuliah di Oxford. 

Kemudian perang tiba membawa duka, bencana dan banyak aroma kematian. Selalu membawa penonton bersahabat dengan Vera, observasi terhadapnya pun terasa lengkap. Perubahan perlahan yang ia alami dari sebelum sampai pasca peperangan tertangkap jelas. Bagaikan gradasi warna yang berubah secara halus, terasa natural pula perubahan yang dialami Vera. Alicia Vikander sanggup memanggul beban yang cukup berat sebagai Vera. Kehadirannya memancarkan pesona kemandirian seorang perempuan yang teguh di luar namun dalam hatinya terjadi pertikaian internal yang kompleks. Paruh selesai ketika perang telah usai dan Vera sempat mengalami breakdown adalah pertunjukkan terbaik sang aktris. Kehampaan yang ia munculkan berhasil menciptakan saya bertanya dalam hati, "lalu apa yang tersisa dalam kehidupannya?" Paruh selesai memang momen terbaik film ini. Emosi yang telah memuncak ditambah kompleksitas persepsi pada peperangan muncul disini. Begitu menyegarkan dan terasa lebih kaya, tapi sebuah aspek konkret yang terlambat hadir.

Verdict: Nyaris tepat dalam membangun suasana lewat sinematografi, tapi membuang percuma segala potensi kekuatan ceritanya. Keindahan kacau dan minim emosi maksimal yang seharusnya sering terasa.

Artikel Terkait

Ini Lho Testament Of Youth (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email