Kalau anda mencari horor yang tidak semata bergantung pada jump scare berisik dan mengandung kisah untuk dituturkan, maka Kafir: Bersekutu dengan Setan menunjukkan alternatif tersebut. Tanpa kaitan dengan Kafir (2002) kecuali pada kemiripan judul dan penampilan Sujiwo Tejo sebagai dukun santet, film yang naskahnya digarap oleh Upi (#TemanTapiMenikah, Sweet 20, My Stupid Boss) dan Rafki Hidayat ini akan diingat selaku film yang berani mencoba pendekatan berbeda di tengah topan horor yang minim variasi, baik wacana gaya maupun kualitas. Perlu diapresiasi, meski menyimpan setumpuk kelemahan sehingga memperpanjang penantian atas “horor bagus” pasca Pengabdi Setan.
Kafir: Bersekutu dengan Setan dibuka oleh atmosfer menjanjikan. Terasa tidak nyaman, berbekal nuansa lawas hasil pewarnaan, tata artistik, serta musik, yang tak pelak memunculkan komparasi dengan Pengabdi Setan. Sri (Putri Ayudya), bersama sang suami, Herman (Teddy Syach) dan puterinya, Dina (Nadya Arina) sedang makan malam bersama, sembari menanti kepulangan si anak laki-laki, Andi (Rangga Azof). Mendadak Herman muntah darah. Dia tewas dengan kaca keluar dari mulutnya. Tidak salah lagi, Herman merupakan korban santet. Siapa pun pelakunya ia benar-benar ingin menghancurkan keluarga ini hingga ke akarnya. Itulah mengapa meja makan dipilih jadi panggung pembunuhan.
Mengapa meja makan? Karena di situ, beserta acara makan bersama, seringkali jadi ajang bertukar rasa antar anggota keluarga. Mematikannya, berarti mematikan suatu keluarga. Benar saja, sepeninggal Herman, kehangatan memudar. Kafir: Bersekutu dengan Setan menggunakan bentuk horor psikologis guna membungkus paruh awalnya. Trauma yang dialami Sri jadi sorotan. Lagu kesukaan Herman tidak boleh diputar, pun enggan ia memasak opor ayam kesukaan mendiang suaminya itu. Sewaktu Andi—yang membawa pacar barunya, Hanum (Indah Permatasari)—tersedak kala makan, wajah Sri eksklusif dipenuhi teror. Memori kematian tragis Herman muncul, dan Putri Ayudya tampil meyakinkan memerankan perempuan yang terluka luar-dalam.
Sri melihat panci yang terjatuh sendiri, “kembaran” Andi, hingga noda hitam yang tak kunjung hilang di langit-langit. Apakah itu semua kasatmata atau sebatas produk trauma mendalam? Naskahnya tak pernah menyelami pertanyaan itu lebih jauh, meninggalkan banyak kekosongan berwujud observasi tanpa eksplorasi dalam alur bertempo lambat. Jangan harapkan jump scare bombastis. Beberapa perjuangan mengageti penonton tetap dilakukan, tapi tak dieksploitasi. “Atmosferik” yakni kesan yang ingin diciptakan, walau ketidakmampuan sutradara Azhar Kinoy Lubis (Jokowi, Surat Cinta untuk Kartini) mengkreasi tensi, khususnya kala tiada kejadian besar terjadi, menghalangi tercapainya tujuan tersebut.
Penonton hampir tidak pernah ditempatkan di posisi karakterya. Sri ketakutan, saya tidak. Sebabnya sederhana: keanehan-keanehan di sekitar Sri tak nampak mengerikan di layar. Benda-benda bergerak, alat musik berbunyi sendiri, semua itu angker apabila terjadi di realita. Namun di film, anda tidak bisa sekedar menangkap kejadian itu di kamera kemudian berharap ketakutan otomatis timbul di hati penonton. Butuh ketrampilan juga sensitivitas guna melukis gambar-gambar menyeramkan, semoga ketakutan karakternya tersalurkan ke penonton. Azhar tidak (atau belum) memiliki itu.
Dinamika meningkat ketika Jarwo (Sujiwo Tejo) masuk, menampilkan gaya creepy nan eksentrik miliknya. Di sini terjadi “hal besar” ketimbang sekedar kejadian poltergeist, sehingga Azhar memperoleh amunisi berlebih. Adegan yang melibatkan api di kediaman Jarwo tersaji mendebarkan pula mencengangkan. Selain itu, filmnya mulai memasuki babak penelusuran misteri. Berkutat pada pertanyaan “Siapa pelaku santet?”, pengenalan misterinya menarik. Jika berhenti di wacana “siapa”, jawabannya gampang ditebak bahkan semenjak setengah jam pertama, tapi dalam jenis dongeng whodunit, proes pun penting.
Penelusuran fakta yang tersibak satu demi satu merupakan pondasi yang wajib dibangun lebih dulu. Namun Kafir: Bersekutu dengan Setan lalai melibatkan penonton dalam penyelidikan. Terlihat ketika beberapa kali karakternya menemukan petunjuk yang urung diungkap kepada penonton. Dengan demikian, durasi bergulir dan alur terus bergerak maju, tapi kolam tanpa progres. Seluruhnya ditimbun, disimpan bagi third act yang terasa tidak sinkron dengan keseluruhan film, khususnya terkait pembawaan over the top Indah Permatasari dan Nova Eliza. Penampilan keduanya di titik puncak kolam berasal dari horor yang mengedepankan unsur “fun” atau bahkan b-movie. Tidak buruk, hanya bukan di sini tempatnya. Their performance don’t belong here.
Paling tidak klimaksnya menyimpan momen tidak mengecewakan menegangkan yang melibatkan darah dan kekerasan. Sayang, kelebihan itu lagi-lagi tidak berlangsung lama, tepatnya hingga film ini melaksanakan simplifikasi terkait cara mengakhiri konflik. Perkelahian yang ditangani begitu canggung oleh Azhar yakni cara yang dimaksud. “Beat ‘em up” is the easiest (read: the laziest) way to ends a conflict in any movie. Ingin sekali rasanya berkata “Saya mengagumi film ini”, dan terang saya mengapresiasi usahanya ampil beda. Tapi sesudah horor jelek gentayangan silih berganti di bioskop, saya, dan rasanya lebih banyak didominasi penonton, ingin segera menyaksikan hasil lebih tinggi.
Ini Lho Kafir: Bersekutu Dengan Setan (2018)
4/
5
Oleh
news flash