Petualangan Menangkap Petir yakni film menyenangkan dengan tokoh sentral anak-anak, meski bukan film anak yang sepenuhnya berhasil. Sebab bila terlontar pertanyaan mengenai pesan apa yang sanggup diserap, saya hanya bisa menjawab, “Jadi orang renta jangan protektif secara berlebihan”, dan “Cobalah memahami harapan anak”. Sebagai film anak, karya penyutradaraan ketiga Kuntz Agus (#republiktwitter, Surga yang Tak Dirindukan) ini malah lebih lantang mengkritisi kalangan cukup umur walau meluangkan sepanjang durasi menyoroti acara huruf bocahnya. Mungkin ini hasil proses bawah sadar ketika para pembuatnya, serupa salah satu obrolan yang mereka tulis, kerap “lupa cara menjadi anak kecil”.
Tujuan dasar Petualangan Menangkap Petir bahwasanya sederhana, yakni melecut supaya belum dewasa tak ragu mengejar mimpi, juga berpetualang ke luar rumah, bertemu teman-teman faktual ketimbang melulu berkutat di balik gadget dan dunia maya. Tapi dalam konteks film ini, bila pokok-pokok bahasan di atas dirunut kembali, semua duduk perkara justru berpangkal di orang renta ketimbang anak. Bukan sang anak, Sterling (Bima Azriel) yang meragu, melainkan sang ibu, Beth (Putri Ayudya) yang mengekang. Semua tergantung pada Beth. Masalah hanya akan tuntas ketika Beth yang tersadar, bukan Sterling.
Meninjau situs personalnya, sanggup disimpulkan Beth yakni seorang penggiat soal pendidikan terhadap anak, yang kerap membahas bagaimana semoga anak bisa bermain sesuka hati, bersenang-senang tanpa perlu membahayakan diri dengan keluar rumah. Berbanding terbalik dengan sang suami, Mahesa (Darius Sinathrya), yang sejatinya ingin Sterling mengeksplorasi dunia luar, namun enggan menyulut duduk perkara dengan Beth. Sterling, yang selama ini tinggal di Hong Kong, menjadi YouTuber tenar berkat bermacam-macam konten kreatif, berinteraksi dengan ribuan “teman” meski tak ada satu pun pernah ia temui langsung.
Kesuksesan itu menciptakan Sterling berat hati kala orang tuanya tetapkan pindah ke Jakarta. Sementara persiapan kepindahan dilakukan, Sterling dititipkan di rumah kakeknya (Slamet Rahardjo) di Selo, Boyolali. Kekhawatiran bakal merasa jengah lantaran tinggal di kampung seketika sirna pasca bertemu Gianto alias Jaiyen (Fatih Unru) dengan segala gairahnya soal film khususnya akting. Mengetahui acara Sterling di YouTube, Jaiyen pun eksklusif mengajaknya menciptakan film mengenai legenda Ki Ageng Sela yang konon, sanggup menangkap petir ketika tengah bertani.
Aktivitas Sterling di Selo mengasyikkan, apalagi bagi penonton menyerupai saya yang berasal dari tempat pedesaan di Jawa. Semua terasa familiar, dari lokasi hingga cara interaksi penuh selorohan menggelitik warga berlogat setempat, termasuk kemunculan singkat duo Pangsit-Benjo sebagai penjual jamu tradisional. Para pemeran ciliknya pun tampak menikmati, yangjadi elemen terkait anak terbaik di film ini. Bima Azriel apik memerankan seorang bocah yang jengah atas tekanan bertubi-tubi ibunya. Bima memperlihatkan menyerupai apa kekesalan terpendam yang pelan-pelan dipupuk, menunggu meledak di kemudian hari. Keberhasilan Putri Ayudya memerankan ibu super protektif yang memudahkan kita mendukung “pemberontakan” Sterling. Jangan kaget jikalau Beth mengingatkan pada sosok-sosok di sekitar anda.
Tapi pencuri perhatian terbesar tetap Fatih Unru yang bukan cuma mahir mengocok perut, juga melakoni momen dramatik. Ada adegan ketika ia dituntut melaksanakan akting dalam akting, dan itu tampak meyakinkan, mematenkan Jaiyen sebagai pondasi motivasi pengejaran mimpi filmnya. Agak asing bahwasanya ketika motivasi motivasi itu tiba dari sosok pendukung ketimbang Sterling yang seringkali sekedar mengikuti kemauan sobatnya. Jaiyen sendiri bicara kolam orang cukup umur penggemar film alih-alih anak kecil dengan kemurnian mimpinya. Eddie Cahyono (Siti) dan Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta? Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) selaku penulis naskah berusaha memposisikan diri sebagai anak kecil, kemudian gagal, kolam pemeran yang berakting buruk.
Guna menolong proses pembuatan film, Sterling dan Jaiyen meminta dukungan dua videografer pernikahan, Arifin (Abimana Aryasatya) dan Kriwil (Arie Kriting), yang konon pernah menciptakan film fenomenal, namun secara tersirat disampaikan bahwa mereka tak pernah menyelesaikan karya itu, sehingga menyebarkan mimpi serupa kedua bocah tersebut. Menurut Ifa Isfansyah selaku produser eksekutif, Petualangan Menangkap Petir didasari mimpinya bersama Kuntz Agus menciptakan film anak dan film wacana film. Sayang, mereka sulit menahan diri untuk tidak menyelipkan filosofi mengenai film, menyerupai kalimat “film itu magis” atau penyebutan istilah macam “Mise-en-scène”, yang terdengar kurang pas di film anak. Semoga beruntung menjelaskan artinya pada belum dewasa anda. Hal-hal “ke-sinema-an” tadi dicuapkan Abimana, yang balasannya memerankan huruf “serius tapi santai” menyerupai ketika mencuri perhatian tujuh tahun kemudian di Catatan Harian Si Boy walau penokohan Arifin sendiri dangkal.
Seperti saya sebutkan di awal, di luar setumpuk kelemahannya, Petualangan Menangkap Petir masih sebuah tontonan menyenangkan. Kuntz Agus bisa membungkus kegiatan karakternya menciptakan film dengan seru. Bocah-bocah ini tidak peduli meski cuma berbekal properti buatan tangan seadanya juga akting sebisanya, lantaran mereka hanya berniat bersenang-senang. Setidaknya Petualangan Menangkap Petir berpotensi menyediakan alternatif kegiatan aktif bagi anak: Membuat film. Walau lagi-lagi, berdasarkan film ini, semuanya tergantung pada orang tua.
Ini Lho Petualangan Menangkap Petir (2018)
4/
5
Oleh
news flash