Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Kasinem Is Coming (2018)

Kasinem is Coming bukan produk berkualitas kancut, lantaran filmnya sendiri tidak layak disejajarkan dengan kancut yang masih mempunyai fungsi penting dalam hidup insan di seluruh semesta Indonesia. Bukan saya tidak menghargai usaha tim produksi, khususnya kru yang bekerja banting tulang (skor setengah yang saya berikan dipersembahkan bagi mereka), tapi filmnya sendiri seolah tak menghargai waktu, tenaga, serta uang yang diluangkan penonton. Di luar gedung bioskop biasanya berjejer beberapa warung makanan. Jika ketika membaca review ini anda sedang berjalan memasuki bioskop untuk menonton Kasinem is Coming, segera berbalik, masuk ke salah satu warung, pakai uang 35 ribu rupiah itu demi menghapuskan lapar dan dahaga.

Kasinem yang konon segera tiba itu yakni gadis bagus kembang desa (Naysila Mirdad), yang tengah bimbang ketika secara mendadak, sang ibu (Yanti Yaseer) meminta meneruskan pekerjaannya sebagai pembantu di Jakarta. Kasinem bimbang lantaran di ketika bersamaan, ia telah diterima bekerja sebagai sekretaris di Singapura. Kabar itu gres Kasinem terima sehabis sang ibu meneleponnya dari kereta dalam perjalanan pulang. Mengapa tidak semenjak jauh-jauh hari? Sebaliknya, mengapa pula Kasinem tak menghubungi ibunya wacana pekerjaan di Singapura? Semua duduk perkara di film ini takkan terjadi andai karakternya berkomunikasi sebagaimana insan normal.

Kasinem nekat belakang layar berangkat ke Singapura bersama Luna Asmara alias Lunas (Nadya Pasha), penyalurnya. Kasinem is Coming pun memulai proses selaku road movie, yang sesuai hukum tak tertulis, wajib menghadirkan sederet konflik pengacau perjalanan. Kekacauan-kekacauan milik Kasinem is Coming sungguh tidak terduga. Bukan disebabkan twist cerdik, melainkan keputusan naskah hasil goresan pena Bagus Laksono berdasarkan wangsit dongeng sang produser, Letsman Tendy, menantang nalar sehat. Deretan filmografi Letsman Tendy sendiri terdiri atas judul-judul macam Missing You (2016) sampai Lasjkar di Tapal Batas (2016), sehingga saya tak terkejut mendapati hasil karya terbarunya ini.

Kasinem kolam perempuan terkutuk pembawa sial. Bus yang ditumpangi terhalang jembatan yang terendam banjir, terhenti sehabis menabrak seorang nenek, kemudian mesinnya mati.  Bus kedua mengalami kebocoran ban. Sebelumnya, kereta yang dinaiki terpaksa menghentikan laju akhir rel tertutup air bah. Kualitas CGI-nya bakal membawamu terbang ke langit ketujuh, di mana rel kereta asal dipasang pada latar sungai daerah warga desa biasa buang air besar. Satu-satunya pelajaran yang bisa dipetik dari road trip Kasinem dan Lunas hanya citra buruknya transportasi negeri ini. Bahkan realitanya tak separah itu. Setidaknya, takkan terjadi dalam satu rangkaian perjalanan seseorang. Jadi, satu-satunya klarifikasi masuk nalar adalah: Kasinem terkutuk!

Jika anda rindu paras ayu Naysila Mirdad yang menjalani debut layar lebarnya di sini, Kasinem is Coming akan cukup mengobati, walau aktingnya tak pernah beranjak dari stereotip gadis kampung yang bicara selembut sutra, selambat siput, selembek kotoran ayam. Namun itu lebih baik dibanding menyaksikan Limbad, oh maaf, MASTER Limbad. Ingat agresi pertamanya di layar beling yang misterius, mengerikan, sewaktu berjalan di atas belati? Sosok tersebut sudah usang hilang, dan mencapai titik nadir di film ini, ketika ia tampil kolam memparodikan diri sendiri. Memerankan bodyguard yang senantiasa membisu, konyol, tidak bisa berbuat apa pun kecuali menggerutu sambil menjaga pintu. Rupanya “Master of Fakir Magician” itu sekarang sebatas satpam yang tak lucu.

Bukan cuma Limbad yang gagal melucu. Keseluruhan filmnya pun demikian. Sepanjang durasi hanya 2 kali saya tertawa: Dalam sebuah momen slapstick di pesawat dan ketika Kasinem menyebut minuman keras sebagai wedang jahe. Keduanya efektif berkat kesempurnaan timing. Dinamis, eksklusif menerjang di titik yang tepat, tanpa diulur-ulur seolah menarik hati penonton, “Hayoo ternyata yang lucu apa hayooo???” sebagaimana humor lainnya dikemas oleh Hasto Broto (Surga Menanti, Jembatan Pensil) di dingklik sutradara. Belum sempat punchline-nya muncul, saya terlanjur dibentuk kesal akhir metode itu.

Komedi Kasinem is Coming memang mengesalkan kala menghabiskan 100 menit mengolok-olok ukuran badan Nadya Pasha. Ke mana pun destinasinya, apa pun duduk perkara yang dihadapi, leluconnya urung beranjak dari “sulitnya orang gemuk beraktivitas”. Satu-dua kali “main fisik” wajar. Saya tak seekstrim itu soal bodyshaming. Namun melakukannya hampir di setiap kesempatan menunjukan kemalasan penulis. Sudah ofensif, repetitif pula. Humor berdasarkan Bagus Laksono hanya berkutat di 2 hal: ekspresi mesum lelaki melihat kecantikan Naysila serta badan Nadya Pasha. Sekalinya mencoba gaya berbeda, kita disuguhi tiga orang, termasuk cameo Cassandra Lee, mengenakan topi bertuliskan “Kasinem is Coming Film”. Was that supposed to be a meta jokes? Was that supposed to be a joke at all???

Tanpa klimaks, konflik diakhiri semudah menggaruk ketiak. Kasinem hingga di Singapura, menyadari ia yakni korban penipuan dan dijual hanya untuk memuaskan hasrat sang bos, berhasil kabur dengan alasan kembali sejenak ke kamar, bertemu gadis asal Indonesia yang ternyata merupakan sepupu Radit (Randy Martin), anak majikan daerah sang ibu bekerja dulu, kemudian bertemu lagi dengan ibunya. Mereka berbahagia, penonton bermuram durja. Saya gres saja membocorkan ending filmnya biar anda tidak perlu buang-buang uang, tenaga, dan waktu menonton kekacauan memalukan nan mengesalkan ini. Thank me later.

Artikel Terkait

Ini Lho Kasinem Is Coming (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email