Friday, November 30, 2018

Ini Lho Incredibles 2 (2018)

Jika The Incredibles (2004) merupakan parodi film pahlawan super bertemu drama keluarga kelas menengah di pinggiran kota—pekerjaan membosankan sang ayah, ibu rumah tangga—dengan keseharian monoton mereka, maka Incredibles 2, walau tetap menyoroti nilai kekeluargaan dan agresi para pemilik kekuatan super, menyentil info yang mengikuti zaman, yakni kiprah gender. Bagaimana jikalau ibu mempunyai pekerjaan mapan di luar sedangkan ayah mengurus rumah? Pria pemegang teguh nilai patriarki bakal kelabakan bahkan merasa terhina. Itu sebabnya ada relevansi pula urgensi tinggi di sini.

Melanjutkan tamat film pertama tatkala Mr. Incredible alias Bob Parr (Craig T. Nelson), Elastigirl alias Helen Parr (Holly Hunter), bersama ketiga anak mereka menghadapi Underminer, meski aturan masih melarang agresi pahlawan super berkostum. Mereka yakin agresi tersebut baik, tapi dikala berujung melanggar hukum, apakah definisi baik masih layak disematkan? Secercah cita-cita muncul dari Winston Deavor (Bob Odenkirk), pemilik perusahaan telekomunikasi sekaligus penggemar berat pahlawan super, yang mengatakan jalan semoga petinggi-petingi dunia bersedia menghentikan pelarangan terhadap pahlawan super. Kuncinya tak lain menggaet kontribusi publik.

Rencana Winston dan adiknya, Evelyn (Catherine Keener) si mahir teknologi, yaitu memasang kamera di badan pahlawan super, supaya publik sanggup memahami lebih jauh seluk beluk di tengah pertarungan melawan kejahatan. Supaya publik tahu, betapa keselamatan mereka jadi prioritas utama para jagoan. Mengacu pada data soal “seberapa destruktif” tiap-tiap jagoan kala beraksi, Elastigirl, yang mempunyai tingkat terendah pun dipilih. Data tersebut membawa kita sedikit mengintip perihal tema gender yang diangkat. Mr. Incredibles (pria) cenderung mengandalkan otot, tanpa pikir panjang, sementara Elastigirl (wanita) lebih taktis dan mengedepankan otak. Pekerjaan bagi sang istri mengharuskan Bob tinggal di rumah menjaga ketiga buah hati.

Seperti kebanyakan suami, Bob yakin tetek bengek rumah tangga bukan masalah sulit dan akan gampang dijalankan. Bob tak tahu apa yang menantinya. Menangani Violet (Sarah Vowell) dan urusan cinta monyetnya, kiprah matematika Dash (Huck Milner), dan Jack-Jack yang memberi problem lebih dari sekedar mengganti popok. Sulit bagi Bob. Dia lelah, mengeluh, tapi bukan lantaran sisi machonya terancam, melainkan rasa “gatal” untuk kembali beraksi. Semacam post-power syndrome, yang juga dialami Helen, meski kontrol diri sang istri lebih kuat. Bob mencoba melaksanakan yang terbaik, memberi tumpuan mengenai heroisme seorang ayah. Bagi orang bau tanah yang bekerja, konsekuensinya yakni melewatkan tumbuh kembang anak. “Aku melewatkan kekuatan super pertama Jack-Jack”, ungkap Helen, sebagaimana keluhan orang bau tanah yang melewatkan langkah pertama anaknya.

Intensitas Incredibles 2 tidak sepadat film pertama akhir kesan lebih “cerewet” dari setumpuk obrolan. Ada perdebatan panjang ayah-ibu hingga pembicaraan hati ke hati para perempuan perihal kiprah gender, yang bakal sulit diikuti penonton bocah, namun cukup menyadarkan penonton dewasa, dan bukan tidak mungkin memberi mereka materi perihal parenting maupun pemberdayaan perempuan untuk diajarkan ke anak mereka suatu hari kelak. Jangan khawatir elemen tersebut menurunkan daya hibur filmnya. Layaknya film pertama, Incredibles 2, dipandu penyutradaraan berenergi Brad Bird (The Incredibles, Mission: Impssible – Ghost Protocol) masih sajian pendobrak batas terkait urusan agresi pahlawan super.

Ditemani musik epic garapan Michael Giacchino, seri The Incredibles selalu sanggup menggelontorkan agresi yang akan tampak terlalu konyol atau membutuhkan CGI terlampau banyak di medium live action. Lihat agresi pembukanya, kala kamera bergerak amat dinamis, menggunakan tracking shot, mengikuti satu demi satu ekspo kekuatan keluarga super kita, sebelum Frozone (Samuel L. Jackson) memasuki arena pertempuran, kolam menari lincah di atas lintasan es buatannya. Atau dikala Elastigirl berusaha menghentikan upaya supervillain Screenslayer, yang bisa menghipnotis korbannya melalui banyak sekali jenis layar, dengan merenggangkan tubuhnya sementara motornya “terbelah” dua. Butuh kreativitas tinggi guna mengeksekusi sekuen macam itu.

Incredibles 2 masih berperan selaku parodi film-film pahlawan super. Kunjungan kita ke rumah Tony Stark (tidak diungkap secara gamblang) jadi contoh. Pun jikalau anda familiar dengan komik Fantastic Four, yang memberi ide besar bagi pondasi The Incredibles semenjak dulu, maka Jack-Jack mungkin mengingatkan kepada Franklin Richards, putera Reed Richards dan Susan Storm yang mempunyai kekuatan tanpa batas, bahkan dianggap sebagai makhluk terkuat di seluruh alam semesta. Jack-Jack sendiri merupakan sumber tawa terbesar film ini yang takkan sulit mencuri hati penonton mana saja.


Note: Jangan lewatkan film pendek Bao yang diputar di awal, satu lagi animasi indah Pixar yang menguras air mata. 

Artikel Terkait

Ini Lho Incredibles 2 (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email