Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018)

Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta menempatkan penonton di posisi sebagaimana kita sehari-hari, sebagai rakyat, menyikapi seorang pemimpin. Coba pikirkan, seberapa sering anda mencurigai Camat, Bupati, Gubernur, hingga Presiden? Kita cenderung—dan merupakan hal wajar—menghakimi mereka berdasarkan apa yang terlihat kini. Karena kita pun tidak tahu menahu soal pertimbangan di belakang. Apalagi ketika suatu keputusan lebih berorientasi jangka panjang. Masalahnya, walau film ini berhasil menghadirkan pemahaman soal proses di balik layar itu, hal paling esensial, yakni hasil, urung ditampilkan.

Pembicaraan terkait politik beserta filosofi di belakangnya memang rumit, namun satu jam pertama Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta tampil lebih sederhana, yang mana merupakan paruh terbaiknya. Wajah bila sederhana, alasannya yaitu inilah masa di mana Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang (Marthino Lio) masih muda dan mencar ilmu pada Ki Jejer (Deddy Sutomo) di padepokan. Menimba ilmu, baik fisik maupun batin, jadi konsentrasi utama, yang tentu saja diselingi romantika. Raden Mas Rangsang memadu kasih dengan Lembayung (Putri Marino), seorang rakyat biasa.

Romansanya hidup, selain berkat selipan interaksi keseharian santai kaya selipan humor, juga perpaduan apik Marthino-Marino. Putri Marino memudahkan siapa saja menyayangi Lembayung, si gadis dengan kekuatan fisik pula batin. Ya, batinnya tergoncang kala Raden Mas Rangsang didapuk sebagai Raja sehingga mesti pulang ke Kraton sekaligus menikahi perempuan lain yang ditentukan mendiang ayahnya. Tapi seiring kemampuan Putri mengguncang hati penonton lewat luapan emosi, turut ditegaskan bahwa ia ikhlas, memahami bila tiada pilihan. Jadilah elemen romansanya tak menyentuh ranah dramatisasi opera sabun. Ini wacana sepasang muda-mudi besar lengan berkuasa yang mendahulukan kepentingan negeri.

Di antaranya, beberapa adegan laga yang disusun solid oleh Hanung Bramantyo sesekali mengisi, menghasilkan sabung jurus menghibur khas dongeng pahlawan masa lampau. Fase masa muda Sultan Agung ditutup kudeta sarat intrik serta pertumpahan darah yang mana tak pernah lepas dari sejarah kerajaan mana pun. Kemudian kisahnya melompat beberapa tahun, beranjak menyelami konflik politis kompleks dan peperangan kolosal yang mengetengahkan perlawanan Kerajaan Mataram terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie alias VOC.

Dari Marthino Lio, Sultan Agung berilmu balig cukup akal anti diperankan Ario Bayu. Anda akan sadar betapa cerdik casting film ini begitu melihat kemiripan paras kedua aktor. Ario memerankan Sultan Agung yang telah tumbuh jadi Raja berkepribadian keras yang menolak berkompromi kala VOC berusaha menundukkan Mataram melalui kedok kolaborasi dagang dengan hukum mencekik. Lembayung berilmu balig cukup akal diperankan Adinia Wirasti, yang bukan saja jago mengolah rasa, juga meyakinkan melakoni porsi aksi. Sementara Ario, lewat wibawanya, mulus memerankan Raja yang mantap menyerukan teriakan perang “Mukti utawa mati!”.

Sultan Agung tetapkan menabuh genderang perang, mengerahkan ribuan rakyat termasuk sekumpulan petani guna menyerbu VOC di Batavia, meski berdasarkan beberapa pihak termasuk sang paman, Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi), itu kolam misi bunuh diri. Tapi Sultan tidak bergeming. Mengapa harus menyerah kalau ujungnya kehilangan harga diri sebagai budak penjajah? Di sini kompleksitas muncul, ketika mereka yang menaruh kepercayaan sekalipun, niscaya akan bertanya-tanya, “Apakah Sultan sudah dibutakan harga diri hingga membiarkan ribuan rakyat meregang nyawa?”.

Korban berjatuhan, pasukan Mataram tersudut, kian gampang baik bagi rakyat dan penonton mencurigai Sultan. Sepanjang pertempuran, jarang kita melihat Sultan, apalagi memperoleh detail soal pendorong keputusan kontroversialnya. Naskah karya BRA Mooryati Soedibyo (juga produser dan produser eksekutif), Ifan Ismail (The Gift, Ayat-Ayat Cinta 2), dan Bagas Pudjilaksono memang sengaja meninggalkan penonton dalam ketidaktahuan, serupa yang dialami pasukan Mataram di medan perang, yang lebih sering kita tengok kondisinya. Kita sama-sama ada dalam “ruang gelap”, menduga-duga maksud Sultan sebagaimana pada umumnya rakyat mempertanyakan perilaku sang pemimpin.

Sekuen peperangan di benteng Batavia tampil problematik. Benar tata artistik, semisal kostum dan properti persenjataan tampak solid. CGI yang digunakan menggambarkan ribuan insan di medan laga pun nyaman dilihat. Poin mengganjal justru ketiadaan paparan taktik. Apa seni administrasi Mataram, hingga Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker) kaget, mempertanyakan dari mana mereka paham cara mengepung benteng? Kita hanya akan melihat serbuan acak yang terkesan asal gempur. Lalu apa alasannya yaitu VOC berbalik unggul? Tidak ada perubahan taktik, kecuali mendadak beberapa orang, termasuk J.P. Coen, menembakkan senapan (yang anehnya, merupakan pengulangan adegan flashback sebelumnya). Atau lantaran menang jumlah? Sulit dipastikan, mengingat sepanjang sekuen, pasukan Mataram justru terlihat unggul kuantitas.

Setelah lokasi pindah ke hutan, gres peperangan lebih menarik. Satu-satunya momen berisi seni administrasi jitu hadir di sini, sewaktu prajurit Mataram memakai otak, memanfaatkan alam guna memberi pukulan terbesar bagi VOC. Pada fase ini, ada tata kamera menarik berupa siluet berlatar belakang warna jingga dari nyala obor. Faozan Rizal memang hebat bermain bayangan. Contoh lain eksplorasi bayangan dalam sinematografi tersaji ketika ibunda Sultan Agung, Gusti Ratu Banowati (Christine Hakim) memberi petuah kepada sang anak. Suasana ruang remang-remang, sebagian wajah Christine maupun Marthino gelap, memunculkan keintiman nan khidmat.  

Kembali menuju keputusan kontroversial Sultan. Pernyataan bila perang ini bakal terasa dampaknya 100 tahun ke depan merupakan kunci. Saat itulah perkiraan aku menjadi fakta, didukung oleh sekuen berikutnya, yang menegaskan mengapa kebesaran Sultan Agung perlu kita ketahui. Sultan memikirkan masa depan. Dia memupuk bibit generasi mendatang semoga kelak sanggup menuai usaha generasi kini, yang dengan terpaksa harus berkorban bertaruh nyawa. Masalahnya, hasil faktual siasat Sultan Ahanya ditaruh di teks sebelum credit akhir. Kita tak pernah melihatnya divisualisasikan. Itu kenapa, sehabis 148 menit, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta terasa gres melaju separuh jalan. Tidak peduli seberapa mumpuni, separuh jalan tetaplah kurang utuh.

Artikel Terkait

Ini Lho Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email