Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Searching (2018)

Could you please tell me everything you know about your son/daughter?”. Tentu kita sering mendengar pertanyaan serupa diajukan pihak kepolisian terhadap orang bau tanah dalam film wacana hilangnya seseorang. Tapi David Kim (John Cho) tidak benar-benar bisa menjawab. Dia tidak berteman atau mengikuti sang puteri, Margot (Michelle La), di sosial media, tidak pula mengenal satu pun temannya di dunia nyata. Kondisi yang menjadikan Searching—seperti tagline-nya—bukan cuma perjuangan mencari keberadaan Margot, juga proses David mencari tahu siapa Margot sesungguhnya.

Beberapa arsip dari kompter keluarga Kim membuka filmnya, menunjukkan tahun-tahun senang mereka, sedari lahirnya Margot, video kegiatan bersama, hingga foto-foto hari pertama tiap Margot menempuh tahun anutan gres di sekolah. Iringan musik indah berbasis piano buatan Torin Borrowdale akan menciptakan hati terenyuh seketika. Musiknya kolam diambil dari katalog Pixar, dan secara kebetulan, ini merupakan montage pembuka paling menyentuh yang pernah saya saksikan semenjak Up (2009). Sayang, menyerupai Up, montage dalam debut penyutradaraan Aneesh Chaganty berujung sedih kala istri David, Pamela (Sara Sohn), meninggal akhir kanker. Lalu segalanya berubah.

David enggan membahas perihal janjkematian sang istri, menjadikan hubungannya dengan Margot merenggang. Saat suatu malam si gadis terpelajar balig cukup akal tak kembali pulang, David pun kelimpungan. Polisi dihubungi, kasus orang hilang dibuka, pemeriksaan dimulai. David sendiri melaksanakan pencarian via internet, menyidik akun sosial media juga podcast buatan Margot, yang berperan membuka mata David, bahwa ia sama sekali tak mengenal sang puteri. David tak bisa mengunjungi eksklusif teman-teman Margot lantaran ia tak tahu siapa mereka, menjadikan proses mencari melalui internet suatu langkah masuk akal. Itu sumbangan terbesar yang bisa David sumbangkan untuk Detektif Rosemary Vick (Debra Messing) yang bertugas menangani kasusnya.

Investigasi online David secara mengejutkan tampil realistis. Mencari kata sandi akun melalui verifikasi surel, memanfaatkan Google guna mencari nomor kontak, semua merupakan hal-hal yang bisa, bahkan kemungkinan sering penonton lakukan. Dan—koreksi kalau saya salah—seluruh situs yang Searching munculkan benar-benar bisa diakses. Pada film di mana internet berperan besar, tentu tidak lengkap jikalau kisahnya tak menyentil sikap warganet. Begitu pemberitaan kasus Margot membesar, rekan-rekan sekelas yang tak terlalu bersahabat berbondong-bondong mengaku sebagai sahabat, latah menyuarakan simpati melalui status media sosial. Tidak dalam kuantitas besar, namun elemen di atas cukup memberi satir menggelitik seputar kepalsuan dan panjat sosial dunia maya.

Beberapa penonton tentu akan menyandingkan Searching dengan Unfriended (2014) mengingat keduanya sama-sama mengambil sudut pandang rekaman webcam. Tapi tidak. Searching berbagi teknik itu lebih jauh. Bukan aja komputer, telepon genggam, CCTV, hingga liputan informasi turut dipakai, memberi variasi penjaga kestabilan intensitas tanpa perlu melenceng dari konsep dasar.  Variasi lain dimiliki tone-nya, yang meski serius dan sesekali menyentuh teritori yang cukup kelam, naskah buatan Aneesh Chaganty dan Sev Ohanian masih punya waktu menyelipkan humor, yang makin lucu lantaran bukan mustahil, beberapa kerap kita lakukan selama menjalani keseharian bersosial media.

Sebagai sutradara, Chaganty melaksanakan pekerjaan luar biasa ketika mampu mengangkat tensi ke tingkatan lebih tinggi ketika film memasuki pertengahan, yang biasanya, jadi momen dikala thriller kehilangan daya cengkeramnya. Peningkatan tersebutbertempat di “adegan danau”, sewaktu investigasinya “banting setir”, bergerak ke arah tak terduga yang semakin darurat, semakin genting, semakin menegangkan. Dan semakin intens filmnya, bertambah pula tantangan bagi John Cho menghadirkan performa meyakinkan mengingat hampir sepanjang durasi, ia hanya menatap layar komputer maupun telepon genggam. Tapi Cho lancar mengolah rasa, mejadikan film ini layaknya rekaman akreditasi dosa yang jujur dan personal.

Setiap fase pencarian mengungkap fakta gres sedikit demi sedikit, dan setiap fakta, mengarahkan kita menuju kejutan. Banyak kejutan. Setelah skenario suatu situasi berjalan, memang gampang menebak apakah itu faktual atau misleading, tapi anda takkan menerka kebenaran sesunggunya. Setidaknya, tidak secara detail nan menyeluruh. Pun kebenaran tersebut masih selaras dengan tema utama film, bukti jikalau keberadaannya bukan semata demi faktor kejutan. Twist terbaik tidak (hanya) dinilai dari seberapa mengejutkan. Twist terbaik tidak tiba entah dari mana, tapi serupa yang dicontohkan Searching, tertanam sepanjang film. Andai kita dan David memberi perhatian lebih.....

Artikel Terkait

Ini Lho Searching (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email