Friday, November 30, 2018

Ini Lho Gonjiam: Haunted Asylum (2018)

Saya sudah merasa cukup dengan horor found footage yang menggembar-gemborkan “less is more”. Didasari gagasan bahwa insan lebih takut pada hal yang tak nampak, penonton dibiarkan berlama-lama menyaksikan ketiadaan, sebelum penantian itu berusaha ditebus oleh titik puncak singkat. Dari situ, judul-judul macam The Blair Witch Project (1999) hingga Paranormal Activity (2007) tercipta, yang mana merupakan bentuk filmmaking kreatif, tapi bukan horor menyeramkan, setidaknya bagi penakut menyerupai saya. Tapi dalam Gonjiam: Haunted Asylum yang berlokasi di salah satu dari “7 daerah terangker” versi CNN, kekosongan terasa mencekam, sementara keheningan memancarkan ketidakamanan. Di satu sisi ini perihal rasa takut akan sesuatu tak terlihat, namun di sisi lain, juga soal rasa takut terhadap hal asing yang sanggup kita lihat.

Gonjiam: Haunted Asylum diisi pemuda-pemudi yang terobsesi meraup jutaan penonton di YouTube, memperoleh uang, juga gemar menguji nyali. Saya benci golongan yang disebut terakhir, alasannya saya tahu, segala perilaku sok hebat serta keberanian yang membuncah bakal seketika terhempas begitu para hantu mulai menampakkan diri. Menyenangkan kala filmnya menyajikan hal serupa, menghukum formasi karakternya yang nekat melaksanakan siaran eksklusif dari Rumah Sakit Jiwa Gonjiam demi menangkap insiden mistis sekaligus mengungkap misteri di dalamnya. Konon, seluruh pasien di sana tewas serentak, sementara sang eksekutif rumah sakit menghilang. Beragam konspirasi merebak, dari pembunuhan massal oleh sang direktur, hingga eksperimen diam-diam pemerintah kepada manusia.
Skenario garapan Jung Bum-shik (juga sutradara) dan Park Sang-min urung memberi banyak porsi untuk eksplorasi misteri Gonjiam, membiarkan segalanya tersimpan di kegelapan. Alurnya sederhana, menggunakan formula standar found footage yang makan waktu sebelum mengungkap atraksi utama. Tapi momen sebelum karakternya melangkahkan kaki ke rumah sangkit menakutkan itu tidak berjalan membosankan. Jajaran pemain tak memberi akting mendalam (dan memang tidak dituntut demikian), namun mereka tampak meyakinkan dalam bersenang-senang, menularkan perasaan serupa pada penonton, sebagaimana rasa takut berhasil ditularkan juga berkat akting tepat. Nihil penokohan mendalam, sebagai gantinya kita diberi tokoh-tokoh menarik, khususnya para wanita: A-yeon (Oh A-yeon) yang polos, Charlotte (Moon Ye-won) yang ceria nan glamor, Ji-hyun (Park Ji-hyun) yang antusias.

Begitu karakternya memasuki lokasi, siaran eksklusif dimulai. Filmnya dikemas dengan format serupa, sehingga di banyak kesempatan, kita berada di posisi penonton terusan YouTube Horror Times milik Ha-joon (Wi Ha-joon). Pun format tersebut turut memberi jalan Gonjiam: Haunted Asylum mengulur waktu menggunakan tayangan ulang yang beberapa kali mengiringi siaran langsung. Dengan demikian durasi sanggup dihabiskan dan kekosongan alur bisa ditambal tanpa kesan dipaksakan. Untungnya Gonjiam: Haunted Asylum enggan semata bergantung pada trik tersebut. Senjata utama yang bisa dimaksimalkan Jung Bum-shik yakni atmosfer mencekam Rumah Sakit Gonjiam. Gelap, berantakan, mempunyai begitu banyak sudut bagi para hantu untuk bersembunyi, tersebar begitu banyak benda untuk mereka “permainkan” guna menebar teror.
Keheningannya menyesakkan, alih-alih melelahkan, menyerupai dicontohkan tatkala kamera CCTV menyorot satu per satu ruangan rumah sakit. Sepi, kosong, tanpa satu pun penampakan makhluk halus. Biar demikian, kecemasan luar biasa bisa dihadirkan. Kecemasan yang didasari prasangka penonton yang “menanti” para hantu menampakkan wujud mereka. Sekalinya penampakan itu terjadi, Bum-shik bisa mengemasnya dengan efektif, cenderung mengerikan ketimbang mengejutkan. Sang sutradara paham betul, bab mana dari hantu yang perlu diperlihatkan, dari sudut sebelah mana dan gerakan kamera menyerupai apa. Kemampuan yang akan menggiring kita menuju parade teror kelas wahid dalam 30 menit terakhir.

Pemandangan paling mengerikan dalam Gonjiam: Haunted Asylum, bahkan di film horor mana pun sepanjang tahun ini hadir pada setengah jam terakhir. Pemandangan yang bagai adonan The Blair Witch Project (mengkreasi ulang momen paling ikonik di situ) dan Keramat (2009). Kalau anda sudah menonton found footage karya Monty Tiwa itu, tentu akan ingat sosok misterius yang bergerak lewat cara yang aneh. Charlotte dan Ji-hyun jadi abjad yang terlibat dalam teror yang alih-alih terasa selaku hasil rekayasa teknologi film, justru mencuatkan kesan mistis dan tidak beres yang natural. Singkatnya, mengerikan. Begitu mengerikan hingga semua yang hadir setelahnya, meski digarap solid, tak pernah mencapai tingkatan setara. Sajian menyeramkan dengan konklusi tragis yang tak hanya sulit dilupakan, pula memberi tamparan telak bagi kultur terkenal masa kini.

Artikel Terkait

Ini Lho Gonjiam: Haunted Asylum (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email