Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Jejak Cinta (2018)

Sebelum meninggal, mendiang Julia Perez sempat terlibat proyek berjudul Doa untuk Cinta yang ia bintangi bersama Gandhi Fernando, disutradarai Tarmizi Abka (Kalam-Kalam Langit), dan berlokasi di Singkawang. Sayang, sebelum menuntaskan proses pengambilan gambar, kondisi kesehatan Jupe mulai memburuk. Sempat berhembus kabar mengenai usaha melanjutkan produksi dengan perubahan cerita, namun tak kunjung terealisasi. Sampai Jejak Cinta—yang juga disutradarai Tarmizi Abka serta berlatar Singkawang—dirilis utuk mengenang almarhumah.

Entah bagaimana kekerabatan kedua proyek tersebut, tapi apabila diniati sebagai persembahan baik bagi Julia Perez maupun penderita kanker secara umum, Jejak Cinta bukan persembahan yang mengesankan. Pertama dari kalimat salah satu karakternya yang berbunyi, “Biasa, penyakit perempuan sekarang, kanker payudara”. Meski bukan pakar medis, saya yakin kanker payudara tidak ada hubungannya dengan “dulu” atau “sekarang”, pun sanggup menyerang laki-laki. Lain halnya dengan kanker serviks yang tumbuh di leher rahim sebagaimana diderita Julia Perez.

Berikutnya terkait Maryana (Prisia Nasution), puteri Julia Perez (hanya muncul lewat foto) yang khawatir penyakit yang merenggut nyawa sang ibu juga menurun kepadanya. Kekhawatiran itu terbukti. Kanker serviks juga dimiliki Maryana. Tenang, ini bukan spoiler, alasannya yaitu fakta itu (plus ending) telah diungkap oleh sinopsis resmi filmnya. Tapi jangankan menggambarkan usaha penderita kanker atau memberi edukasi, kondisi medis Maryana sama sekali tak mempengaruhi alur, yang takkan berubah meski kanker serviks digantikan penyakit lain. Seolah penyakit itu ada biar filmnya sanggup menyebut dirinya “A tribute to Julia Perez”.

Babak awal Jejak Cinta bekerjsama bisa dinikmati, ketika mengikuti formula soal gadis kota yang mencar ilmu menyayangi kampung kemudian menemukan cinta. Selaku materi riset untuk desain pakaian yang akan ia kirim ke Berlin Fashion Week, Maryana pulang ke kampung halamannya di Singkawang guna meninjau batik-batik di sana. Di tengah perjalanan ia bertemu Hasan (Baim Wong), yang juga gres tiba untuk menjadi guru gres di sebuah SD. Pertemuan mereka penuh keklisean sarat kebetulan, tapi baik Prisia maupun Baim punya cukup pesona guna memberi warna di tengah barisan obrolan membosankan dari naskah goresan pena Faozan Rizal (juga menulis Kalam-Kalam Langit), yang tak pernah terdengar bagus apalagi menghasilkan pemahaman lebih dalam mengenai karakternya.

Begitu membosankan, perhatian saya teralihkan ke subtitle yang luar biasa ngawur. Jejak Cinta sukses menorehkan prestasi sebagai film dengan terjemahan resmi terburuk yang pernah saya baca, bahkan lebih kacau dari terjemahan berbasis Google Translate yang sering tersedia di Subscene. Laki-laki dipanggil “her, perempuan dipanggil “him”, “tunggu sebentar” menjadi “WHITE a minute”, dan paling memancing tawa ketika “dahsyat-dahsyat” diterjemahkan menjadi “awesome-awesome”. Mungkin kalau penerjemahnya ditanya, “Can you speak English?”, ia akan menjawab “Little-little sih I can”.

Kekonyolannya tidak berhenti di urusan subtitle. Seiring waktu, dari romantika sederhana, persoalan demi persoalan pelik mulai hadir, menambah kompleksitas, di mana semakin rumit konflikya, semakin kacau dan menggelikan filmnya. Karakterisasi merupakan salah satu penyebab. Maryana awalnya yaitu perempuan kekinian yang enggan buru-buru menikah, mengutamakan karir, hanya untuk tiba-tiba ngebet menikahi Hasan yang belum usang beliau kenal. Keputusan itu diambil ketika filmnya gres menampilkan 2 momen kebersamaan singkat plus sebuah montase. Oh, jangan pula terlampau memikirkan profesi Maryana selaku desainer terkenal. Kita urung diperlihatkan satu pun hasil desainnya yang dilombakan di Berlin Fashion Week, suatu program kelas dunia yang di sini dikemas kolam peragaan busana kelas mall.

Sedangkan Hasan coba digambarkan sebagai laki-laki baik semenjak kemunculan pertamanya, ketika bersedia mengembalikan dompet dan sketchbook milik Maryana. Kebaikan Hasan makin menjadi sewaktu mantan kekasihya, Sarah (Della Wulan Astreani) muncul dalam kondisi batin yang hancur pasca sang ayah, Hendrawan (Mathias Muchus) dijebloskan ke penjara jawaban tuduhan korupsi. Meyakini Hendrawan “bersih”, Hasan bersedia membantu termasuk mencarikan jasa pengacara.

Kawan-kawan, janganlah kita menjadi laki-laki menyerupai Hasan. Kebaikannya memang seolah tanpa pandang bulu, bersedia menolong ketika kebanyakan dari kita menganggap mantan merupakan peristiwa masa lalu. Namun bila hingga membohongi istri, tak bisa menafkahinya lantaran keluar dari pekerjaan demi membantu sang mantan, sering meninggalkan istri sendirian meski ia telah rela menetap di kampung, melepaskan hingar bingar ibukota sebagai desainer ternama, artinya kau suami tak tahu diri yang buta akan prioritas. Lebih asing (juga menggelikan) lagi ketika di atas pelaminan, pengacara yang Hasan sewa mendatangi Hasan, kemudian keduanya berbisik-bisik soal progres kasus Hendrawan. DI ATAS PELAMINAN, DI TENGAH PERNIKAHAN, TEPAT DI SEBELAH MEMPELAI WANITA! Sebagai film yang mengusung tajuk “Jejak Cinta”, jejak-jejak cinta kasih justru sukar ditemukan di sini.

Artikel Terkait

Ini Lho Jejak Cinta (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email