Friday, November 30, 2018

Ini Lho Jurassic World: Fallen Kingdom (2018)

Di titik ini aku sudah tak lagi mengharapkan “sense of wonder” dari seri Jurassic Park, apalagi dari installment yang menentukan seminimal mungkin menggunakan variasi lagu tema gubahan John Williams. Rasa itu biarkan langsung jadi milik film pertamanya. Jurassic Park berevolusi menjadi film monster secara total lebih cepat ketimbang proses Dr. Henry Wu (B. D. Wong) mengkreasi ulang DNA dinosaurus. Tapi sebagai film monster, apabila mengikuti jalur tradisional, Jurassic World dan sekuel-sekuelnya cuma punya sedikit opsi guna melanjutkan kisah. Itu pun kental repetisi: taman dibangun-dihancurkan dinosaurus-taman ditutup-mengunjungi taman lagi-kembali ke awal. Fallen Kingdom dibentuk untuk membuka pintu alternatif, walau hasilnya cuma berakhir sebatas “jembatan pendek” yang dipaksa berjalan selama 2 jam lebih.

Aspek penting hanya terletak di paruh awal, dikala alurnya dibentuk ibarat film bencana, kemudian pada konklusi. Babak pertengahan bermain-main di pesan usang yang kita sudah hafal betul, mengenai keserakahan insan dan bagaimana tindakan “bermain Tuhan” menghasilkan eksekusi setimpal, supaya mereka berguru biar tidak mencampuri proses alam. Terlampau familiar, walau salah satu elemen cukup bisa memancing dilema. Dinosaurus terancam punah (lagi) akhir letusan gunung berapi di Isla Nublar daerah ekosistem mereka berkembang secara natural. Haruskah insan turun tangan menyelamatkan dinosaurus? Haruskah insan kembali mengganggu seleksi alam? Apalagi menyelamatkan dinosaurus berarti mengancam keberlangsungan hidup umat insan sendiri.

Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum dalam tugas sebatas cameo) berargumen bahwa itu cara Tuhan mengembalikan stabilitas ekosistem, dan insan tak perlu ikut campur. Artinya, membiarkan dinosaurus (yang mereka hidupkan lagi) punah. Claire (Bryce Dallas Howard) yang sekarang seorang penggagas hak dinosaurus berpikiran sebaliknya. Fallen Kingdom mengambil langkah sempurna dikala enggan memberi tanggapan konklusif atas informasi tersebut, alasannya memang tidak ada. Tapi Claire, yang belakang layar merasa bersalah telah berkontribusi membuat Indominus Rex, kukuh pada prinsipnya. Harapannya terjawab kala Sir Benjamin Lockwood (James Cromwell), mantan partner John Hammond (Richard Attenborough), memintanya memimpin misi penyelamatan, memindahkan beberapa spesies dinosaurus ke pulau kosong lain.

Bisa ditebak, misi itu membuatnya bereuni dengan Owen (Chris Pratt), yang antara film ini dan Jurassic World (2015) rupanya telah tetapkan relasi asmaranya dengan Claire. Kenapa Owen mesti ikut? Pertama, alasannya Blue si Velociraptor terakhir yang dahulu ia latih termasuk salah satu prioritas misi penyelamatan. Kedua, alasannya Pratt yakni action hero semua kalangan yang bisa diandalkan. Dia bisa melompat di antara gigi-gigi tajam Tyrannousaurus maupun lari dari letusan gunung berapi selincah Indiana Jones. Pun sebagaimana kita tahu, kemampuannya menangani komedi jadi jualan utama, termasuk komedi fisik, mirip ia perlihatkan dalam adegan ketika Owen, yang badannya tengah lumpuh akhir bius, mesti menghindari fatwa lava.

Tapi apa guna jagoan tangguh tanpa musuh seimbang? Kini ada Indoraptor, dinosaurus bibit unggul perpaduan DNA antara, well, INDOminus dan VelociRAPTOR. Sanggup mendeteksi pancaran laser, menipu manusia, merusak pintu lift, membuka jendela, dan lain-lain, Indoraptor yakni dinosaurus cerdas yang didesain sebagai senjata perang dan berpotensi menjadi musuh menarik walau dari perspektif desain, sosoknya gampang dilupakan pula tanpa kekhasan. Tugas menangani teror sang monster sekarang diemban J. A. Bayona (The Impossible, A Monster Calls), yang kembali mengambarkan bahwa ia punya insting visual mumpuni yang membuat para dinosaurus tampak megah layaknya raja yang berkuasa di puncak rantai makanan. Pun beberapa jump scares tampil tidak mengecewakan efektif. Sayang, Fallen Kingdom tak mempunyai cukup momen “Dino Madness”. Letusan gunung hingga pertarungan Blue melawan Indoraptor tampil menghibur, tapi film ini kekurangan satu kegilaan besar sebagaimana Jurassic World berikan lewat threesome Tyrannosaurus-Blue-Indominus Rex.

Ditulis oleh Colin Trevorrorw (Jurassic World) dan Derek Connolly (Jurassic World, Kong: Skull Island), naskahnya mengandung dua pilihan narasi berani, yang gres mengisi menjelang konklusi, meninggalkan secara umum dikuasai durasi dalam balutan kisah setipis kertas. Keduanya mengejutkan, secara ekstrim mengubah jalur yang dibangun Jurassic Park, namun sejatinya merupakan progres natural. Fallen Kingdom “menipu” penonton biar berpikir film ini sebatas mengulangi The Lost World (1997) kemudian berakhir layaknya kebanyakan film monster. Tidak sepenuhnya keliru. Beberapa plot poin memang serupa dengan sekuel mengecewakan itu. Bedanya, Fallen Kingdom menghasilkan posibilitas menarik bagi masa depan franchise-nya sembari membawa kita mengintip “lingkaran kehidupan”, di mana suatu hari, tatkala insan kurang berhati-hati, tergoda ketamakan kemudian terkena dampak aksinya sendiri, peradaban bakal runtuh dan kembali ke zaman pra-sejarah.


Note: Ada post-credits scene, tapi kecuali anda punya waktu luang, melewatkannya takkan jadi masalah.  

Artikel Terkait

Ini Lho Jurassic World: Fallen Kingdom (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email