Genre heist caper punya formula klasik, aturan-aturan yang diawali dengan (1) perkenalan benteng yang tidak mungkin ditembus (brankas, kasino, museum), kemudian kita (2) bertemu sekelompok laki-laki necis yang berencana membobolnya, (3) melihat mereka membeberkan planning mengenai siapa harus melaksanakan apa serta bagaimana. Ocean’s 8 sepenuhnya berjalan mengikuti pakem kecuali pada poin kedua, di mana alih-alih laki-laki necis, kita berkenalan dengan para perempuan berkelas. Sandra Bullock dengan ketenangan elegannya, Cate Blanchett dalam lagak semaunya, perilaku eksentrik Helena Bonham Carter sebagaimana biasa, Rihanna yang melambungkan level “keren” peretas beberapa tingkat lebih tinggi, Anna Hathaway dengan senyum yang mewakili definisi “selebritis bodoh”.
Ocean’s 8 adalah sepenuhnya soal star power. Ditambah Sarah Paulson, Awkwafina, dan Mindy Kaling, tercipta kombinasi menarik yang bukan cuma ihwal multikultural, juga bermacam-macam kepribadian. Walau bertindak selaku spin-off untuk remake dari Ocean’s 11 (1960) yang juga mengandalkan star power kelima Rat Pack (Peter Lawford, Frank Sinatra, Dean Martin, Sammy Davis, Jr., dan Joey Bishop), toh naskah garapan Gary Ross bersama Olivia Milch bergerak layaknya reka ulang dari versi Steven Soderbergh (di sini bertindak selaku produser). Debbie Ocean (Sandra Bullock) gres keluar dari penjara, menemui partner sekaligus sahabatnya, Lou (Cate Blanchett), menyusun planning merampok Toussaint, kalung berlian senilai $150 juta, kemudian membentuk tim guna menjalankan perampokan.
Seperti dikala Rusty Ryan (Brad Pitt) menentang niatan Danny Ocean (George Clooney) menyelipkan perjuangan balas dendam personal di tengah misi, Lou pun bakal menyatakan hal serupa pada Debbie, yang dijebloskan ke penjara akhir pengkhianatan Claude Becker (Richard Armitage), mantan kekasih sekaligus rekan dalam praktek penipuan benda seni. Dari konsep, persamaan dengan Ocean’s Eleven (2001) memang tak terhindarkan, sayang, detail eksekusinya justru mengingatkan akan Ocean’s Thirteen (2007), yang notabene film terburuk dalam triloginya. Sebelum perampokan utama, penipuan, sabotase, dan penyusupan dilakukan terlebih dahulu sebagai persiapan. Di fase ini, cuma para abjad yang tahu apa rencananya, sementara penonton dibiarkan buta sampai misi berakhir, tapi filmnya berharap kita terpukau oleh sanksi planning yang disusun di balik layar itu. Bagaimana bisa jikalau penonton diasingkan dan tidak merasa terlibat?
Tidak peduli seberapa tidak mungkin rencananya, penonton mesti diyakinkan bahwa itu bisa dilakukan, setidaknya oleh jajaran protagonisnya. Filmnya perlu mengatakan keberhasilan misi terjadi berkat kapasitas karakternya, bukan akhir kebodohan korban ibarat dikala Rose Weil (Helena Bonham-Carter) sang desainer dan Amita (Mindy Kalling) si pembuat berlian berusaha memindai barang sasaran perampokan. Keduanya bersikap konyol, bodoh, aneh, mencurigakan, namun urung dicurigai. Ketika karakternya lolos semudah itu, hilang pula tensi filmnya. Mudah sebelum hidangan utama di klimaks, kenikmatan hidangan pembukanya sebatas menyaksikan kepiawaian aktris-aktris kelas satu memerankan sederet tokoh tanpa kedalaman penokohan. Tapi siapa peduli? Film macam ini bukan studi karakter. Kemampuan khusus masing-masing jadi kepribadian pengganti yang mendefinisikan dan membedakan mereka.
Puncak aksinya berjalan cukup singkat, tapi dikemas penuh gaya kala Ross mengkreasi ulang Met Gala secara otentik di Metropolitan Museum of Art selaku lokasi asli, lengkap dengan barang-barang seni orisinil pula, yang semuanya bisa diperoleh berkat restu Anna Wintour, pimpinan redaksi Vogue sekaligus kurator Met Gala semenjak 1995 yang juga menjadi cameo. Tentu cameo para pesohor diharapkan demi menjaga otentitas, sehingga nama-nama ibarat Zayn Malik, Katie Holmes, Maria Sharapova, Serena Williams, Kim Kardashian, Adriana Lima, Kylie Jenner, Kendall Jenner, Olivia Munn, dan lain-lain turut hadir di antara keglamoran yang bisa menciptakan penonton berteriak “oooohh”. Itu juga respon saya tatkala Rihanna, pasca menghabiskan sepanjang film menggunakan pakaian kasual, mendadak memasuki lantai Met Gala dalam balutan gaun merah menawan.
Apalah artinya heist tanpa twist yang bertempat pasca perampokan ketika kita merasa segalanya telah usai. Kejutan yang hadir semata untuk menghentak ketimbang memperkuat jalinan cerita, walau beberapa dari penonton mungkin telah menyadarinya, mengingat film ini bukan berjudul Ocean’s 7. Kejutan yang justru menambah pertanyaan terkait kecerdikan serta detail daripada menjawab. Dalam Ocean’s 8, star power, setting megah dan gaun glamor jauh lebih mencuri perhatian dibanding agresi perampokannya sendiri. Kalau cuma itu, tidak perlu rasanya menyaksikan film heist, cukup karpet merah Met Gala sungguhan, walau di sana kita takkan melihat keluwesan Sandra Bullock mengutil, terlibat pembicaraan renyah dengan Cate Blanchett, atau Rihanna bersenang-senang mengakali sistem keamanan melalui laptop miliknya. Ocean's 8 adalah agresi perampokan biasa oleh para perempuan luar biasa.
Ini Lho Ocean's 8 (2018)
4/
5
Oleh
news flash