Friday, November 30, 2018

Ini Lho Bantalan Pati (2018)

What??? Seriously?! “. Kalau anda menonton Alas Pati, pasti kalimat tanya tersebut bakal mengendap di otak. Salah satu karakternya mengucapkan itu beberapa kali sebelum tewas. Pun respon itu juga yang sering saya lontarkan sepanjang film. Saya teringat beberapa tahun lalu, semasa SMP, kala tengah menyaksikan pertunjukan musik di pinggir pantai. Suara ombak dan angin berlomba dengan distorsi gitar yang menggedor lewat amplifier. Nada yang dimainkan tak jelas, tapi pastinya gitar rombeng itu dimainkan dalam volume tertinggi. Seusai penampilan, saya mempertanyakan pengaturan bunyi tersebut, yang dijawab dengan lantang, “rock is loud, bro!”. Mungkin jikalau anda tanyakan pada Jose Purnomo (Jailangkung, Gasing Tengkorak), ia pun akan menjawab “horror is loud, bro!”.

Dibantu musik gubahan Ricky Lionardi (Danur 2: Maddah, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati), Jose menyerbu indera pendengaran penonton dengan musik sekencang mungkin, dalam adegan sebanyak mungkin. Termasuk di setiap false alarm yang kerap terjadi lantaran karakternya sering salah lihat, mana kaki hantu mana kaki manusia, mana rambut kuntilanak mana rambut mahasiswi. Bahkan sewaktu terornya berwujud kebisingan statis dari alat pendeteksi bunyi pun, musik tetap diputar sekeras-kerasnya. Seiring waktu saya pun mulai kebal dengan jump scare yang ditawarkan Alas Pati. Saya mulai mati rasa seiring keengganan film horor satu ini untuk memainkan rasa takut penonton.
Padahal premisnya menjanjikan. Naskah yang ditulis berdua oleh Jose Purnomo dan Aviv Elham (Dubsmash, Sang Sekretaris) seolah ingin memberi pelajaran kepada para cukup umur kekinian yang bersedia melaksanakan apa saja demi ketenaran dunia maya. Apa saja, termasuk berkunjung ke hutan seram berjulukan Alas Pati, di mana terdapat kuburan terkutuk di dalamnya, sebagaimana dilakukan lima cukup umur pencari tantangan dan penonton YouTube. Raya (Nikita Willy) merasa perjalanan itu akan seru, Randy (Roy Sungkono) yakin video petualangan ke lokasi seram bakal mendongkrak jumlah penonton, sementara Vega (Stefhanie Zamora) butuh uang untuk membayar indekos. Ketiga alasan itu tampaknya sudah merangkum tujuan hidup banyak muda-mudi masa kini.

Sesampainya di Alas Pati, para cukup umur ini mulai bertingkah tidak sopan, bermain-main dengan mayit dan kuburan. Jangankan arwah-arwah ingin tau di sana, saya di dingklik penonton pun ingin mereka semua tewas. Memiliki formasi tokoh menyebalkan dalam film horor bukan masalah, alasannya yaitu melihat satu per satu dari mereka dibantai juga memperlihatkan hiburan tersendiri. Tapi alih-alih secara konstan memenuhi cita-cita tersebut, Alas Pati justru memaksa kita menunggu, menunggu, dan terus menunggu dalam rangkaian keusilan hantu yang cuma sesekali memberi dampak. Salah satu momen paling mencekam justru bukan dari gangguan dedemit, melainkan ketika Roy yang tengah merekam video dari jendela kendaraan beroda empat nyaris terserempet truk, lantaran pemilihan waktunya tak terduga dan tanpa kesan mengulur waktu.
Mayoritas jump scare terlampau diulur, urung memamerkan penampakan ketika kecemasan memuncak, dan gres memunculkan sang hantu ketika saya sudah menguap, lelah menanti, bagai perjuangan malas sutradara dan penulis naskah biar mencapai batas minimal durasi film panjang. Sulit untuk tidak berharap Alas Pati tetap bertahan di hutan. Setidaknya di sana aroma kengerian lebih semerbak. Sayang, pasca sebuah adegan maut mengejutkan yang dihukum solid dibalut gore memadahi, karakternya pulang ke kota, ke rumah masing-masing, dengan darah teman mereka masih mengotori sekujur tubuh. Jika ada di posisi serupa, saya akan mencuci muka di sungai yang harus diseberangi sebelum mencapai hutan daripada menunggu berjam-jam kemudian. Bodoh memang, bahkan untuk ukuran horor remaja.

Bicara soal remaja, jajaran cast-nya bahkan tidak kuasa mengakibatkan dialog sehari-hari terdengar realistis, apalagi asyik disimak. Ada perjuangan dari naskahnya guna menjalin interaksi menarik melalui bermacam-macam kelakar, namun kelima bintang mudanya yaitu pelontar dagelan yang buruk. Begitu pula tatkala dipaksa berakting ketakutan. Mereka tampak kurang meyakinkan, dibuat-buat, atau menampakkan verbal seseorang yang mendapati bakso yang diinginkan sudah habis terjual ketimbang melihat setan. Seperti Jessy (Naomi Paulinda), saya pun berkali-kali ingin berteriak, “What??? Seriously?! “.

Artikel Terkait

Ini Lho Bantalan Pati (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email