Friday, November 30, 2018

Ini Lho Sasaran (2018)

Target lebih elok daripada Hangout (2016). Sesama komedi meta di mana para pemeran memerankan diri sendiri bercampur misteri whodunit, proses Raditya Dika mempermainkan image jajaran pemainnya di Target jauh lebih berhasil. Dia memberi Cinta Laura kesempatan jadi sosok paling tangguh. Dia memberi penokohan tak terduga kepada Willy Dozan dan Samuel Rizal  yang tak pernah kita kira ingin kita lihat. Tapi kita ingin melihat Ria Ricis kena batunya akhir lawakan-lawakan tak lucu ciri khasnya, dan Radit pun memperlihatkan itu. Walau Hangout juga bermain-main dengan image dunia kasatmata itu, dalam Target tugas mereka signifikan dan punya momen puncak masing-masing. Radit menepi, membiarkan sorotan terbagi rata, membuka kesempatan bagi humor yang lebih variatif. Alhasil, jadilah film soal ensemble cast, bukan “Radit dan kawan-kawan”.

Kredit pembukanya eksklusif menggigit lewat desain grafis yang mengingatkan akan karya-karya Saul Bass yang jadi langganan Alfred Hitchcock. Pun ditambah musik suspense garapan Andhika Triyadi (Dear Nathan, Dilan 1990, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss) aroma Hitichcockian seketika merebak, mengawali pertemuan sembilan selebritis yang bermain bersama dalam film berjudul Target: Raditya Dika, Cinta Laura Kiehl, Samuel Rizal, Willy Dozan, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Ria Ricis, Romy Rafael, Anggika Bolsterli. Mengharapkan proses cepat nan mudah selama sehari, para pesohor ini justru mendapati diri mereka tengah dikurung sosok misterius bertopeng berjulukan Game Master di sebuah gedung kosong. Bukan itu saja, mereka dipaksa melaksanakan banyak sekali permainan maut sembari direkam gerak-geriknya melalui kamera yang tersebar di tiap sudut gedung. Game Master ingin membuat film yang nyata, dengan konflik nyata, serta maut nyata.

Penjahat bertopeng, perangkap dengan perintah dilematis yang memaksa para korban mengorbankan diri sendiri atau orang lain, mudah Target yakni modifikasi dari Saw. Hanya saja tiada peralatan canggih dengan cara kerja rumit, lantaran perangkapnya monoton, cuma “lubang lantai” dan pistol. Hanya ada hidup atau mati, tanpa ada kehilangan bersifat parsial. Dampaknya, ketika seseorang meregang nyawa, momen itu cuma numpang lewat. Apalagi karakternya menganggap kematian-kematian itu kolam angin lalu. Terdapat beberapa adegan perkelahian dengan sanksi kurang meyakinkan, canggung, meski salah satunya membuat Cinta Laura terlihat badass sementara satu momen lain bakal membuat penonton bersorak, khususnya bagi yang menghabiskan masa kecil bermain tugas sebagai tokoh-tokoh dalam sinetron tubruk Deru Debu (1994-1996) menyerupai saya.

Perangkapnya memang bersifat sekunder. Bagaimana para korban menyikapi perangkap itulah yang diutamakan. Karena bukan slasher yang bergerak secara “kill-and-run”, Target bisa menjalin dinamika tersebut. Willy Dozan si legenda tubruk diubah jadi laki-laki genit yang membenci kekerasan dan berjualan obat anti-wasir. Samuel Rizal yang rasanya seumur hidup terjebak oleh typecast Adit si laki-laki keren dalam dua film Eiffel...I’m In Love tampil memparodikan image itu, sebagai laki-laki yang gembira atas status selebritisnya dan acap kali bertingkah kolot karenanya. Dari situ komedinya bisa bekerja. Kita suka melihat seseorang memerankan sosok yang berlawanan dengan tipenya. Ada satu potensi lain, yakni Anggika Bolsterli sebagai aktris yang mengkhawatirkan tampang selaku asetnya, sayang opsi itu urung dimanfaatkan. Menyenangkan melihat nama-nama di atas memperoleh fokus besar, alasannya yakni “dick jokes” murahan terang terdengar lebih lucu ketika dilontarkan Samuel Rizal ketimbang Raditya Dika dengan gaya yang kita sudah hafal betul.

Apakah Target film pintar? Tentu tidak. Beberapa permainan mautnya tidak diberi aturan pasti, yang mengakibatkan intensitas minimalis, dan ketika permainan itu dikaitkan dengan motif pelaku yang diungkap di paruh akhir, modus operandinya menyisakan setumpuk pertanyaan di ranah logika pula menghadirkan kesan penggampangan. Radit enggan repot-repot memikirkan segenap detail tadi, terpenting ada permainan misterius plus twist soal pelaku. Mungkin kesederhanaan pikir itu yang ada di kepalanya. Tapi berkat kesederhanaan itu, Radit lebih mudah menjalin konstruksi yang rapi. Dia menyempatkan diri menebar petunjuk, sehingga walau ditempatkan bukan dengan cara yang memancing keterlibatan penonton memecahkan teka-teki, tatkala tanggapan diungkap, poin-poinnya saling terhubung, meninggalkan saya dengan rasa puas ketimbang kesan tiba-tiba nan dipaksakan.

Mengapa lagi-lagi Raditya Dika membuat meta whodunit? Entahlah. Mungkin ia tidak puas dengan eksperimen perdananya dua tahun lalu, mungkin beliau memang menyayangi konsep itu, atau mungkin sekedar “cari gampang” lantaran beliau tidak perlu membuat aksara (plus lelucon) yang sepenuhnya baru, melainkan cukup sedikit menggali kemudian memparodikan image jajaran nama-nama tenar. Namun berapa banyak sineas kita berani menjamah ranah itu? Tidak banyak. Berapa banyak film liburan secara umum, atau lebaran secara khusus, yang bersedia melangkah ke sana alih-alih mengangkat konsep familiar macam horor dan sajian religius? Jauh lebih sedikit. Saya akan menyambut gembira kalau Raditya Dika terus kembali lewat eksperimennya.

Artikel Terkait

Ini Lho Sasaran (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email