Friday, November 30, 2018

Ini Lho Mamma Mia! Here We Go Again (2018)

Berbeda dengan apa yang disugestikan judulnya, Mamma Mia! Here We Go Again bukan cuma usul mengunjungi ulang kemeriahan di Pulau Kalokairi. Nuansanya masih sama, dengan judul-judul menyerupai I Have a Dream, Dancing Queen, dan (tentunya) Mamma Mia kembali mengisi formasi lagu dalam jukebox-nya ditambah beberapa karya ABBA lain yang belum diperdengarkan di film pertama, tapi sekuel dari raksasa Box Office 2008 (memperoleh $615 juta di seluruh dunia) ini bukan repetisi. Alurnya memperkuat, memperkaya pondasi bagi cerita serta abjad yang telah diletakkan pendahulunya sambil sesekali menyelipkan nostalgia.

Strukturnya bergerak maju-mundur secara rapi antara masa kini (5 tahun pasca film pertama) dikala Sophie (Amanda Seyfried) membangun ulang hotel Bella Donna demi mengenang mendiang ibunya, Donna (Meryl Streep), dan masa kemudian yang menyoroti kehidupan Donna muda (Lily James). Pada Mamma Mia!, kita hanya mendengar bagaimana Donna dahulu merupakan gadis muda penuh semangat yang nekat tinggal serta membangun hotelnya sambil merawat puterinya seorang diri. Here We Go Again mengajak kita menyaksikan itu secara langsung, termasuk romansa kilatnya dengan tiga pria: Sam (Pierce Brosnan), Bill (Stellan Skarsgard) dan Harry (Colin Firth).

Saya termasuk yang dulu bertanya-tanya, mengapa ketiga laki-laki yang telah mapan ini tak hanya bersedia, bahkan antusias menyambut usul Sophie untuk bertemu Donna lagi. Pertanyaan itu terjawab. Walau singkat, romansa mereka amat berkesan kalau enggan disebut life changing. They had the time of their life, so are we while watching their precious togetherness. Mengambil tampuk penyutradaraan dari Phyllida Lloyd, Ol Parker (Imagine Me & You, Now Is Good) membungkus momen-momen tersebut lewat musikal yang sama meriahnya tapi jauh lebih memikat dalam hal estetika. Simak Waterloo yang mempunyai variasi mise-en-scène juga koreografi luar biasa. Saya ikut bernyanyi, tersenyum lebar, meneteskan air mata. Air mata bahagia.

Pendalaman mitologinya tidak berhenti di situ. Kenapa Donna menentukan menikahi Sam, sementara Rosie (Julie Walters) menentukan menjalin asmara dengan Bill misalnya, akan kita temui alasannya di sini. Selain meningkatkan kualitas pengadeganan sebagai sutradara, Ol Parker yang merangkap penulis turut memperbaiki kelamahan film sebelumnya terkait naskah. Parker terpelajar membangun alur menurut dua hal, yakni lubang-lubang, atau tepatnya unsur yang belum dijelaskan oleh Mamma Mia! dan lirik-lirik lagu yang dipilih. Beberapa nomor macam I’ve Been Waiting for You sampai My Love, My Life yang sejatinya membicarakan cinta romantis disulap jadi cinta ibu-anak, menghasilkan kadar emosi berlipat ganda termasuk konklusi penguras tangis tatkala cukup bermodalkan satu sekuen musikal, Streep dan senyum hangat penuh kasihnya mampu memberi impresi yang tidak main-main.

Streep memang harus menyerahkan screen time-nya kepada Lily James yang menghadirkan salah satu performa paling lovable, berenergi, dan berkarisma dalam film musikal. Setiap sekuen dilakoninya kolam seorang mega bintang/ratu dansa penguasa tiap sudut panggung yang mempengaruhi tak saja trio Sam-Bill-Harry supaya seketika jatuh hati, juga penonton. Apabila serial Downton Abbey (2012-2015) membawa James meraih beberapa penghargaan sementara Cinderella (2015) menciptakan namanya dikenal luas di skena film layar lebar, Mamma Mia! Here We Go Again bakal melambungkan statusnya menjadi aktris utama kelas A.

Sedangkan jajaran cast lain yang bertugas memerankan versi muda abjad film pertamanya berjasa memuluskan transisi dua latar waktu alurnya. Saya percaya kalau Sam versi Jeremy Irvine akan tumbuh jadi laki-laki berwibawa menyerupai Brosnan dan Hugh Skinner mempunyai kecanggungan dan kekakuan menarik layaknya Firth. Pun acap kali saya sekilas mengira sedang menyaksikan latar kini alasannya yaitu kesesuaian fisik juga sikap Jessica Keenan dan Wynn Alexa Davies dengan kedua senior mereka, Julie Walters dan Christine Baranski.

Di permukaan, Mamma Mia! Here We Go Again bicara ihwal kenangan, dan Ol Parker berbaik hati memberi bonus kepada penggemar film pertamanya dengan beberapa momen nostalgia (“stair-slidingand “lady with the woods” scene are my favorites). Nostalgia pun dialami tokoh-tokohnya, di mana banyak dari mereka bereuni dengan sosok Istimewa dari masa kemudian masing-masing. Cheesy, sarat kebetulan, namun alangkah sulit rasanya menyangkal kebahagiaan yang dipancarkan olehnya. Sama menyerupai kemunculan singkat Ruby, ibunda Donna, nenek Sophie, yang sejatinya kurang esensial terkait plot, tapi siapa menolak melihat Cher mengambil alih panggung? Lebih dari itu, proses saling singgung antar dua latar waktu turut menghasilkan refleksi seputar ikatan batin ibu dan anak yang merupakan penopang rasa utama film ini, salah satu film dengan kandungan rasa paling kaya sepanjang tahun.

Artikel Terkait

Ini Lho Mamma Mia! Here We Go Again (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email