Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Wiro Sableng: Jagoan Kapak Kematian Naga Geni 212 (2018)

Saya bukan pembaca novel Wiro Sableng karya Bastian Tito yang konon berjumlah 183 judul, pun memori akan serialnya sedikit buram lantaran usia yang masih terlalu muda untuk memproses secara lengkap, walau serupa bocah-bocah yang tumbuh di abad 90an, lagu temanya amat menancap di kepala. Tapi saya gemar membaca komik termasuk manga. Ketika sederet abjad berpenampilan kerena dengan kemampuan tak kalah keren berkumpul, bertarung bersama dalam satu pertempuran dahsyat, walau beberapa dari mereka muncul di dikala yang terlalu sempurna pula tanpa motivasi terperinci kecuali memeriahkan suasana, saya sudah dibentuk kegirangan. Itulah inti film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.

Kita bertemu si A, B, C, berkesempatan menyaksikan mereka langgar ilmu meski kepribadian mereka tak pernah benar-benar kita tahu. Setidaknya kita tahu wacana Wiro (Vino G. Bastian) dengan masa kemudian tragis yang tergambar di adegan pembuka tatkala melihat eksklusif Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) membantai kedua orang tuanya. Selama 17 tahun berikutnya, Wiro ditempa oleh Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang mewariskan ilmu silat 212 beserta kapak kematian naga geni miliknya. Demikian pula Vino, meneruskan warisan sang ayah memerankan si pendekar sableng dengan baik. Bersikap kolam bocah gila, Vino bertukar canda bersama Ruth Marini, yang meski ditutupi riasan tebal, bisa menyelipkan emosi, di luar tentunya kegendengan menggelitik. Interaksi Wiro-Sinto selalu berhasil memancing tawa.

Sinto Gendeng menugaskan muridnya memburu Mahesa Birawa tanpa memberi tahu bahwa dialah pembunuh orang tuanya, lantaran fakta itu bakal menyulut nafsu balas dendam yang menggiring pendekar menuju kegelapan. Sebuah poin, yang oleh trio penulis naskahnya: Sheila Timothy (juga selaku produser), Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa, Rocket Rain), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas), dijadikan pesan filosofis yang memang wajib tersimpan dalam film martial arts.

Sepanjang perjalanan, Wiro bertemu sekumpulan tokoh-tokoh unik ibarat Dewa Tuak (Andy /rif) serta muridnya, Anggini (Sherina Munaf), Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), dan Marsha Timothy sebagai Bidadari Angin Timur yang demikian mewah layaknya penghuni kahyangan dalam balutan gaun rancangan Tex Saverio. Akhirnya tidak ada satu pun dari nama-nama tadi yang bisa kita tinjau lebih dalam karakterisasinya, namun mereka sanggup menghadirkan interaksi hidup dengan jagoan kita, sehingga di sela-sela agresi pun hiburannya tetap berjalan lancar.

Senang mendapati di dalam ambisi membuat blockbuster raksasa yang digarap luar biasa serius, film ini tidak bersikap “sok serius” dikala bertutur. Karena di antara memori-memori buram di kepala, satu hal yang saya ingat niscaya terkait serial Wiro Sableng yakni elemen kerasnya dunia persilatan dan kejenakaan yang saling mengisi dan berpadu mulus. Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 terbukti menghormati warisan pendahulunya, dengan pola terbaik pada satu adegan ketika satu sosok familiar muncul sementara musik yang tak kalah familiar turut mengalun di belakang.

Yayan Ruhian yakni Mahesa Birawa, pemimpin sekelompok durjana yang berencana merebut tampuk kekuasaan dari Raja Kamandaka yang diperankan Dwi Sasono, yang melafalkan kalimat memakai bunyi tenggorokan layaknya Christian Bale sebagai Batman, sebagai perjuangan menjauhkan cap “komedian”. Bukan saja berakting, Yayan turut memegang posisi pengarah laga, memastikan setiap baku hantam terjalin dinamis. Beruntung, biarpun ini merupakan satu langkah mengejar pencapaian Hollywood, Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi, Surat dari Praha, Bukaan 8) urung terserang penyakit banyak film agresi produksi mereka yang menerapkan quick cut plus shaky cam overdosis. Kamera Ipung Rachmat Syaiful (Kala, Janji Joni, Surga yang tak Dirindukan 2) bergerak seperlunya, menangkap cukup terperinci tiap jurus para pendekar. Sayang, satu kelemahan justru bertempat pada satu pukulan pamungkas yang menjadikan puncak pertarungan berakhir antiklimaks.

Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah memancing obrolan ketika 20th Century Fox melalui bendera Fox International Productions turut serta memproduksi filmnya. Alhasil biaya sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp 44 miliar pun didapat. Angka yang besar bagi kita, namun tergolong mikro pada lingkup Hollywood (that’s even smaller than “The Raid 2: Berandal”), sehingga kurang bijak apabila berharap parade CGI sekelas blockbuster seharga ratusan juta dollar. CGI diterapkan sempurna guna, memperlihatkan hasil mumpuni terlebih kala membungkus bermacam-macam jurus, dengan salah satu momen paling menarik dikala Kala Hijau (Gita Arifin) terjun ke medan pertempuran. Tapi elemen visual Wiro Sableng bukan sebatas CGI. Departemen artistiknya, dari dekorasi istana selaku panggung titik puncak yang berkilauan sampai tata busana yang berjasa mengkreasi tokoh-tokoh berpenampilan ikonik, amat memuaskan mata. Terima kasih pada Adrianto Sinaga (Ada Apa dengan Cinta?, Tusuk Jelangkung) dan tim.

Gangguan justru diciptakan tata suaranya. Musik garapan Aria Prayogi (dwilogi The Raid, Killers, Headshot) berusaha terdengar bombastis, dan ya, gempuran perkusinya sanggup menghadirkan intensitas di aneka macam momen laga, tapi sewaktu bertemu celetukan-celetukan karakternya, terjadi perlombaan berat sebelah melawan kalimat yang aktornya ucapkan. Kalimat-kalimat yang kerap tenggelam, sulit dicerna, memaksa saya mengandalkan subtitle Bahasa Inggris guna memahami obrolan Bahasa Indonesia.

Jadi begitulah. This isn’t a great movie, but definitely a highly entertaining one. Hiburan yang memahami cara memancing tawa, hiburan yang tahu bagaimana membuat suguhan, yang walau tak mendalam, tersaji nikmat, apalagi tatkala klimaksnya menempatkan nyaris seluruh abjad dalam pertarungan meski tak seluruhnya dipersatukan dalam satu frame dan beberapa di antaranya bertindak selaku deus-ex-machina. Pastinya, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah membuka jalan blockbuster Indonesia melangkah ke tingkat lebih tinggi. Jangan segera beranjak dari kawasan duduk begitu film usai, lantaran terdapat mid-credits scene yang menyiratkan musuh besar berikutnya, yang diperankan salah satu bintang film terbesar Indonesia sekarang.

Artikel Terkait

Ini Lho Wiro Sableng: Jagoan Kapak Kematian Naga Geni 212 (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email