Sejak kapan insan dan anjing bersahabat? Jika pertanyaan itu diajukan kepada Albert Hughes (From Hell, The Book of Eli), yang menyutradarai Alpha menurut dongeng buatannya yang disesuaikan ke dalam naskah oleh Daniele Sebastian Wiedenhaupt, jawabannya yaitu “sejak 20.000 tahun lalu”, ketika dunia menginjak masa Last Glacial Maximum alias periode kiamat es. Tentu Alpha bukan dimaksudkan menjadi kisah sejarah akurat, tetapi Hughes cerdik bermain-main dengan latar belakang fiktif yang ia tanam mengenai korelasi insan dengan anjing, atau di film ini, seekor Anjing Serigala Cekoslowakia.
Kodi Smit-McPhee mengaktifkan mode “Leonardo-DiCaprio-di-The-Revenant” dikala aksara yang ia perankan, Keda, terpisah dari sukunya kala berburu bison. Ini perburuan perdananya, dan Tau (Jóhannes Haukur Jóhannesson), sang ayah sekaligus kepala suku, bersemangat melihat Keda mulai menapaki jejaknya menjadi sesosok “alpha”. Namun Keda nampak cemas. Mungkin sebagaimana ibunya (Natassia Malthe) rasa, Keda belum siap. “Dia memimpin menggunakan hatinya, bukan dengan tombaknya”, sebut sang ibu.
Benar saja, Keda jelek wacana melempar tombak. Alhasil seekor bison menyeruduk, menjatuhkannya ke ujung tebing. Tau beserta sukunya pergi, tanpa tahu bahwa Keda masih bernyawa. Sendirian, sang remaja dituntut menghadapi rentetan ancaman yang memaksanya melatih keberanian dan kekuatan guna bertahan hidup. Terseret air bah, kekurangan makan dan minum, terjebak angin puting-beliung es, semua dialami, tapi kejaran sekelompok serigala lah yang mengubah jalurnya. Melukai seekor serigala ketika menyelamatkan diri, Keda berujung merawat si serigala, mengobati lukanya, memberi makan, menamainya Alpha. Alpha pun mengikuti Keda, sesuatu yang awalnya tak ia kehendaki. Berbagai cara dilakukan untuk mengusir Alpha, termasuk melempar sebatang kayu, yang justru beliau kembalikan pada Keda. Ya, ini asal muasal permainan “lempar tangkap” versi Hughes.
Smit-McPhee meyakinkan sebagai seseorang yang terluka, susah payah berjalan, namun transformasi bertahapnya dari cowok lemah nan ragu menjadi sosok yang lebih berpengaruh pula cukup umur yaitu alasan mengapa kebanggaan layak disematkan bagi sang aktor. Pun itu bukan elemen terbaik Alpha. Sihir bergotong-royong tampak dari cara Hughes memperlakukan Alpha. Memakai anjing serigala terlatih, Hughes bisa menciptakan Alpha interaktif. Hanya membisu menatap, duduk, melolong, tapi saya seolah sanggup memahami maksud di balik segala perbuatan itu berkat kepiawaian Hughes bercerita lewat visual plus penyuntingan cermat Sandra Granovsky sehingga Alpha mempunyai emosi alami, yang berjasa menguatkan ikatannya dengan Keda.
Hanya satu dari dua tokoh utama berbicara dan berakting sungguhan, nyatanya Alpha malah lebih dinamis sekaligus emosional ketimbang banyak film mengenai persahabatan antara dua aksara manusia. “Magis” mungkin kata yang sempurna mewakili persahabatan Keda-Alpha, sama magisnya dengan departemen visualnya. Nyaris semua shot, entah diisi pemandangan alam prasejarah, bintang di angkasa, atau pergulatan binatang melawan manusia, dikemas indah. Kadang saya merasa bagai sedang menyaksikan dokumenter di mana pembuatnya kembali ke masa kemudian menggunakan mesin waktu untuk merekam footage-nya. Sinematografi Martin Gschlacht layak dipuji, tapi kreativitas Hughes turut berjasa. Tengok saja pemakaian split screen di adegan “danau es”.
Di luar imajinasi Hughes akan permulaan korelasi manusia-anjing serupa momen “lempar tangkap” tadi, narasi Alpha sejatinya formulaik. Daniele Sebastian Wiedenhaupt mengikuti rujukan film survival di mana protagonisnya terluka, tersesat, tersiksa, kelaparan, yang pelan-pelan mulai mengatakan tanda repetisi meski durasinya cuma 96 menit. Klimaksnya bisa dibilang nihil, dan mendadak kita eksklusif dilempar menuju konklusi, tapi kelemahan itu ditebus oleh momen epilog indah yang menyiratkan bahwa persahabatan Keda dan Alpha bakal dilanjutkan oleh keturunan-keturunan mereka sampai 20.000 tahun ke depan, dan seterusnya.
Ini Lho Alpha (2018)
4/
5
Oleh
news flash