Kenapa kualitas horor lokal tak berbanding lurus seiring dengan peningkatan kuantitasnya belakangan? Kemungkinan besar lantaran secara umum dikuasai pembuatnya, meski sering menonton horor (who doesn’t?), tidak menaruh rasa cinta terhadapnya, sehingga kurang memahami seluk beluknya akhir miskin referensi. Sebab horor sendiri beraneka ragam cabangnya. Dari trashy sampai artsy, dari slasher hingga supranatural. Selain Joko Anwar yang sudah kita saksikan pembuktiannya lewat Pengabdi Setan, ada Timo Tjahjanto yang sebelumnya mempersembahkan Rumah Dara (sebagai Mo Brothers bersama Kimo Stamboel) juga Safe Haven (berduet dengan Gareth Evans) selaku segmen dalam antologi V/H/S/2 (2013).
Harapan publik, termasuk saya, kepada karya terbaru Timo, Sebelum Iblis Menjemput, luar biasa besar. Apalagi sehabis menanti hampir setahun, belum ada horor lokal mumpuni penerus prestasi Pengabdi Setan. Sebelum Iblis Menjemput dibentuk atas dasar kekaguman Timo atas Sam Raimi, khususnya trilogi Evil Dead. Teror tiba dari entitas jahat yang merasuki manusia, mengubah mereka jadi makhluk buas menyerupai Deadite, lengkap dengan riasan serupa (plus sedikit efek dari Pazuzu-nya The Exorcist?), yang pada salah satu serangannya, melompat dalam balutan POV shot sebagaimana gemar digunakan Raimi.
Ceritanya masih menggunakan formula “cabin in the wood”, tapi alih-alih sekelompok berakal balig cukup akal penuh hasrat, tokohnya terdiri atas anggota keluarga disfungsional. Ketika Lesmana (Ray Sahetapy), mantan pengusaha sukses yang telah gulung tikar terbaring di rumah sakit akhir penyakit misterius, puteri dari ijab kabul pertamanya, Alfie (Chelsea Islan) terpaksa kembali pulang. Alfie masih terluka lantaran dahulu Lesmana meninggalkan ia dan ibunya, yang kemudian tewas bunuh diri, untuk menikahi artis ternama, Laksmi (Karina Suwandi). Pernikahan kedua ini memberi Lesmana tiga buah hati: Maya (Pevita Pearce), Ruben (Samo Rafael), dan si bungsu Nara (Hadijah Shahab).
Berniat menguasai harta sang suami, Laksmi mengajak ketiga anaknya mengunjungi vila milik Lesmana guna mencari barang berharga yang bisa “diamankan”. Tapi mereka, termasuk Alfie yang tiba lantaran enggan membiarkan Laksmi berbuat seenaknya, justru menemukan diam-diam mengerikan serta teror mematikan yang disembunyikan sang ayah. Jangan berharap rekonsiliasi emosional di antara mereka. Melalui Sebelum Iblis Menjemput, Timo hanya ingin memindahkan neraka dan segala isinya ke dunia manusia. Menghadirkan kengerian audiovisual merupakan tujuan tunggal film ini.
Departemen audio, selain lagu bernuansa lawas berjudul Hampa, diisi scoring karya Fajar Yuskemal (The Raid, Killers) yang mengkombinasikan denting piano ritmis bernada tinggi di satu kesempatan, dengan suara synth yang memunculkan kesan serupa music score era 70-80an macam Tubular Bells (lagu tema The Exorcist) di kesempatan lain. Tidak heran, alasannya sengaja atau tidak, Sebelum Iblis Menjemput juga mengingatkan pada film buatan William Friedkin itu. Apabila Friedkin sesekali menyelipkan “wajah iblis” secara sembunyi-sembunyi, Timo pun sempat memasukkan sekilas penampakan yang mungkin penonton lewatkan (hint: Chelsea Islan dan bus).
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan seputar film ini tentu terkait kadar gore. Sebab berkat itulah karya Timo banyak digandrungi pecinta horor. Sebelum Iblis Menjemput boleh tidak seeksplisit Rumah Dara, pun tak menumpahkan darah sebanyak itu, namun cukup untuk menciptakan anda meringis ngeri sambil menutup mata. Beberapa elemen gore juga berfungsi melengkapi jump scare, yang Timo kemas biar tidak asal mengageti, pula berdampak. Saat iblis menyeret badan karakternya, kita melihat kuku-kuku si abjad terlepas, berdarah, sebagai akhir perjuangan melarikan diri. Iblis muncul bukan cuma untuk “setor muka”, melainkan ada perjuangan kasatmata mendatangkan janjkematian bagi korbannya.
Timo, menyerupai sutradara horor bertalenta lain, pintar memainkan ekspektasi. Salah satu sekuen paling menegangkan, melibatkan Nara di kamar tidur. Timo paham kapan penonton menduga jump scare bakal menyerbu. Berbekal itu, saya dipaksa menahan nafas, terombang-ambing di tengah penantian tidak pasti, sambil secara perlahan, dibarengi keheningan, wajah orisinil teror diungkap. Sedangkan alur berjalan penuh kesabaran, terkadang pelan, tetapi tak pernah melepakan cengkeraman berkat ketelatenan Timo, yang turut menulis naskahnya, menjabarkan poin-poin cerita secara bertahap. Pemilihan timing-nya tepat, kapan mesti menggeber kengerian, kapan mesti berhenti sejenak guna bernarasi. Begitu teror diluncurkan, hadrilah pertunjukan mengenai cara memacu adrenalin berbekal kekacauan situasi.
Pujian wajib diberikan untuk tiga pemain film wanitanya. Berkat mereka, “Neraka Dunia” ciptaan Timo tampak meyakinkan. Chelsea Islan alhasil menemukan film yang tepat memfasilitasi gaya aktingnya, yang acap kali terkesan berlebihan di banyak sekali drama. Di sini luapan emosinya sesuai dengan kengerian yang karakternya hadapi. Pevita, walau belum sekuat rekannya, bisa mengangkat tensi titik puncak di mana sosok Maya berperan besar. Walau menyaksikan keduanya menyebarkan layar bagai harapan yang jadi kenyataan, Karina Suwandi muncul sebagai kekuatan tak terduga. Sang aktris menggila, kolam pelayan buas Bafomet yang bertugas mengacaukan seisi dunia.
Kelemahan Sebelum Iblis Menjemput terletak di third act yang gagal menandingi dinamika parade teror sebelumnya. Timo menolak menginjak pedal gas lebih kencang, menjadikannya terkesan diulur. Lagipula, durasi 110 menit bagi horor berskala kecil macam ini memang agak terlalu lama, saat 90an menit saja rasanya cukup. Bukan berarti klimaksnya buruk. Adegan-adegan yang muncul sebelumnya lah yang levelnya sukar dikejar. Sama menyerupai keseluruhan filmnya, yang meneruskan tongkat estafet dari Pengabdi Setan untuk menempatkan standar tinggi terhdap film horor Indonesia. Semoga tidak perlu menunggu satu tahun lagi hingga judul memikat berikutnya menjemput.
Ini Lho Sebelum Iblis Menjemput (2018)
4/
5
Oleh
news flash