Thursday, November 29, 2018

Ini Lho 7 Days (2018)

7 Days, selaku, punya konsep indah nan mendalam yang dituangkan dalam perjalanan karakternya, yang dibutuhkan berujung pada konklusi menyentuh. Ya, saya menitikkan air mata di akhir, tapi bukan banjir tangis sebagaimana tujuan filmnya. Bukan berarti buruk, alasannya ialah saya mengagumi caranya mengkreasi proses berbasis memori, namun ada jurang pemisah lebar antara “Salah satu film TERBAIK” dengan “Salah satu film YANG BAIK”. Karya penyutradaran keempat Panjapong Kongkanoy (The Rooms, The Moment) ini nyaris jadi kategori pertama sebelum berakhir sebagai kategori kedua tanggapan naskah lemah, atau tepatnya terlambat memasang pondasi.

Premis 7 Days ialah mengenai Tan (Kan Kantathavorn) yang tiap pagi terbangun di badan berlainan, tapi telepon genggam miliknya selalu ikut serta, lantaran filmnya kesulitan memikirkan cara lain supaya beliau dan kekasihnya, Meen (Nittha Jirayungyurn), bisa tetap berhubungan. Kisah dimulai ketika Tan telah merasuk ke dalam badan seorang laki-laki tambun yang duduk sempurna di depan rumah Meen. Kita belum tahu siapa Tan maupun bagaimana hubungannya dengan Meen berlangsung. Rasanya ibarat sedang menyaksikan kisah yang dimulai dari pertengahan.

Mungkin Panjapong hendak menempatkan penonton di posisi serupa Tan, yang juga kehilangan ingatan, tidak tahu siapa dirinya. Tapi perspektif tersebut kurang sesuai di sini, alasannya ialah supaya penonton bisa terikat oleh perjalanan absurdnya, mengenal baik karakternya merupakan tahap yang lebih dulu wajib dilalui. Setelah si laki-laki tambun, Tan terus melalui hari ke hari dengan berpindah dari badan ke tubuh, mulai mitra bulenya, sampai pemilik restoran kawasan Tan bekerja sebagai koki, sekaligus lokasi kali pertama beliau bertemu Meen, yang berpforesi sebagai kritikus makanan sesudah menyerahkan mimpinya menjadi koki. Jiwa Tan mondar-mandir tanpa tujuan jelas, demikian pula paruh awal filmnya, yang tetap mempunyai cukup energi berkat segelintir suntikkan humor.

Di antara perpindahan badan Tan, diselipkan pula flashback yang bertugas memperkenalkan kondisi kekerabatan dua tokoh utama, juga penegas bahwa Tan berpindah badan bukan secara acak. Saya tidak bisa mengungkap detail, pastinya masing-masing dari mereka berperan mendefinisikan asmara Tan-Meen, walau sayang, bobot efek satu sama lain—yang turut bersinggungan dengan kata dan frasa yang tertulis di setiap permulaan hari (dream, mind and soul, passion, etc.)—kurang berimbang. Satu pihak memberi dampak kuat, sementara pihak lainnya kolam kebetulan lewat. Tapi pengembaraan jiwa Tan tetaplah cara penuh makna guna merangkum kekerabatan romansa. Karena setiap kekerabatan membuat momen, setiap momen membuat memori yang terdiri atas lokasi, waktu, serta orang-orang di sekitar. Dan perjalanan gila ini menggambarkan betapa cinta lebih dari koneksi menurut ketertarikan fisik.

Terdapat 2 titik balik, pertama sewaktu Tan menyadari identitasnya, kedua dikala Meen mengetahui kondisi sang kekasih. Titik balik pertama tersaji lemah. Tan sekedar menebak, “So I guess I am him, I am Tan”, ketimbang menemukan kebenaran itu. Sebaliknya, titik balik kedua merupakan poin yang dibutuhkan 7 Days, yakni pondasi romantikanya. Inilah titik di mana kita karenanya menyadari seberapa besar lengan berkuasa cinta mereka. Inilah titik di mana elemen drama sarat emosi, humor, plus filosofi soal romansanya berbaur apik dan mulai mencuri hati. Andai titik ini tampil sejam lebih awal sehingga tautan rasa dengan karakternya berlangsung lebih usang dan kuat.  

Apalagi Nittha Jirayungyurn mempunyai kapasitas menangani momen tearjerker. Tangisannya menyayat perasaan, bersamaan dengan kemampuan Panjapong menangani momen emosional beruntun jelang akhir, berkat sensitivitas yang tak pernah terasa memaksa penontonnya mengalirkan air mata. Di paruh final pula sekilas nampak talenta Panjapong menangani food porn menggugah selera guna merangkum proses kedua protagonis dengan memuaskan. Tan dan Meen berbeda pandangan wacana cara memasak. Meen mengutamakan metode textbook, sedangkan Tan gemar bereksperimen. Si gadis menggunakan otak, si laki-laki mementingkan hati. Begitu pun terkait jalan hidup. Tan ingin melanglang buana, Meen betah menetap di zona nyaman. Daripada mencari yang lebih baik, 7 Days kedua belah pihak harus eksis bersama untuk saling melengkapi, bagaimana pun bentuknya.

Artikel Terkait

Ini Lho 7 Days (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email