Thursday, November 29, 2018

Ini Lho The Equalizer 2 (2018)

Sebagaimana banyak lanjutan kisah film aksi/thriller di luar sana, The Equalizer2, mengusung konsep “This time it’s personal”, menyelipkan elemen balas dendam yang makin mendekatkannya dengan seri Death Wish (versi Charles Bronson). Bedanya, Paul Kersey ialah laki-laki paruh baya biasa sedangkan Robert McCall (Denzel Washington) terang jagoan tulen, atau lebih tepatnya superhero. Melebihi one man army macam Dwayne Johnson, bukan cuma tak terkalahkan, ia menghabisi lawan-lawannya dengan wajah hirau taacuh nihil ekspresi. Dia bisa mengucurkan darah, namun takkan memperlihatkan rasa sakit ketika terluka.

Beberapa orang mungkin bakal menganggap karakterisasi itu melemahkan ketegangan. Benar, tapi kerja sama keempat Denzel dan sutradara Antoine Fuqua (Training Day, Olympus Has Fallen, The Equalizer) ini tidak menyasar intensitas mencekik, melainkan kesan keren sehingga penonton bersorak mendukung si jagoan. Robert merupakan laki-laki murung tapi baik hati, setia mengikuti kompas moral, sekedar menghajar orang-orang yang layak, dari penculik anak, pelaku tindak kekerasan terhadap wanita, gangster perusak generasi muda, dan (pastinya), pembunuh bayaran. Kita lebih dulu diajak membenci mereka, kemudian berharap Robert memberi pelajaran setimpal berupa ajal sebrutal dan semenyakitkan mungkin.

Pasca bencana fim pertama, Robert telah sepenuhnya menjadi vigilante yang sukarela membasmi kejahatan, yang beberapa informasinya diperoleh dari sahabatnya sekaligus mantan anggota CIA, Susan Plummer (Melissa Leo). Layaknya para superhero, Robert mempunyai pekerjaan sebagai samaran, yakni sopir taksi online. Robert gemar menyendiri, tetapi ia menyukai insan beserta segala kebaikan dalam kisah-kisahnya. Mungkin itu alasannya menentukan pekerjaan tersebut, alasannya ialah Robert sanggup mendengar kisah para penumpang, dan kalau “beruntung”, menemukan kriminalitas untuk dibereskan. Robert bertujuan memperbaiki dunia alih-alih melampiaskan hasrat kekerasan, sehingga jangan heran kalau ia memperlihatkan pengampunan dahulu bagi penjahat sebelum menghabisinya.

Tapi kini, prinsip di atas terpaksa ia tanggalkan karena, well, This time it’s personal”. Kematian seorang rekan mendorong Robert bersumpah membunuh siapa saja yang terlibat, walau untuk hingga ke titik itu, butuh waktu hingga durasi berjalan sekitar 30 menit. Serupa film pertama, alur di sela-sela aksinya bergerak lambat, mengajak kita mampir bertemu orang-orang di hidup Robert dulu, mulai Sam (Orson Bean) si pelanggan tetap yang tinggal di panti jompo, dan Miles (Ashton Sanders), siswa sekolah seni yang mulai terseret kehidupan gangster. Tidak semuanya penting, khususnya soal Sam yang bisa dihilangkan tanpa menghapus kesan yang coba dibangun, bahwa Robert merupakan laki-laki berhati emas.

Sebelumnya, tempo lambat alur digunakan mempresentasikan kekosongan hati Robert selaku sorotan utama. Sekarang, pemeriksaan Robert mengungkap pelaku pembunuhan sang mitra yang tampil ke depan. Sayangnya bukan pemeriksaan menarik, akhir misteri yang diungkap merupakan hal-hal yang sudah kita ketahui. Penonton mengetahui lebih banyak daripada Robert, baik perihal beberapa remah-remah fakta hingga identitas pelaku yang gampang tercium sedari awal. Beruntung kelemahan tersebut sanggup ditambal oleh gelaran agresi yang ditangani secara solid oleh Fuqua. Solid, lantaran berdampak. Kita bisa mencicipi setiap tulang yang patah, juga sayatan yang mencipratkan darah dalam balutan gore minimalis. Aksi milik The Equalizer 2 bukan hanya filler seadanya, melainkan hiburan yang menghantam, membangunkan andai tempo lambat serta plot lemahnya terasa melelahkan.

Semua bermuara di klimaks, yang berkat jasa naskah buatan Richard Wenk, dengan pandai melibatkan angin ribut ganas (sudah disiratkan lewat siaran radio sepanjang durasi) selaku latar. Kondisi yang seketika mengangkat tensi momen puncaknya berkali-kali lipat. Sedikit menjauh dari nuansa thriller-aksi gritty yang dibawa filmnya, tapi bahagia melihat ada hiburan yang mempunyai kreativitas dalam berdramatisasi ketimbang sebatas menerapkan formula “beat-em-up-shoot-em-up” ala kadarnya. Dan rasanya tidak perlu bicara banyak wacana Denzel yang di sini melakoni sekuel pertama sepanjang karirnya. Ekspresi plus bahasa tubuhnya memancarkan ketangguhan meyakinkan yang seketika bisa berubah memunculkan kecanggungan laki-laki baik hati murah senyum. Denzel sebagai Robert bisa menghadirkan rasa kondusif apabila bersamanya, bahkan dalam gang gelap di tengah dunia kelam nan keras menyerupai sekarang.

Artikel Terkait

Ini Lho The Equalizer 2 (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email