Bagi banyak sutradara, mengarahkan Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Diyon Wiyoko, sampai Christine Hakim dalam satu film yang sepertiga pecahan balasannya bertempat di Italia merupakan kemewahan. Namun kita membicarakan Hanung Bramantyo. Baginya, menangani deretan nama besar serta setting luar negeri jadi hal biasa. Menjadi tidak biasa tatkala The Gift membawanya menarik rem dramatisasi, membiarkan musik mengalun secukupnya, dan menekan jumlah sekaligus intensitas tangisan. Rupanya sehabis bertahun-tahun menerapkan pemahaman akan formula, Hanung masih menyimpan kepekaan bertutur.
Berusaha menuntaskan novel terbarunya, Tiana (Ayushita Nugraha) pindah ke Yogyakarta, menempati kamar kosong yang terletak di kediaman Harun (Reza Rahadian). Mengalami gangguan penglihatan dan duduk perkara personal terkait keluarga membentuk Harun sebagai langsung yang kurang ramah. Berbeda kondisi fisik, keduanya mempunyai kesamaan, sama-sama terbiasa memandang dunia dari dalam kegelapan. Dibantu naskah buatan Ifan Ismail (Habibie & Ainun, Ayat-Ayat Cinta 2), Hanung mempresentasikan percintaan sebagai hasil kecocokan dua insan, membangun romantika dari interaksi yang tersusun atas obrolan tajam nan menarik ketimbang eksploitasi momen manis.
Kali ini Hanung turut memakai simbolisme yang tersaji subtil nan mulus, bermain-main dengan metafora guna menyoroti sisi gelap serta sifat korelasi manusia. Gembok pemisah kamar Tiana dan Harun melambangkan sekat pembatas dua hati, sementara bahasan soal "penglihatan" yang kental mengisi sepanjang film tak hanya bermakna literal. Apakah Tiana dengan mata yang tepat bisa melihat lebih terperinci dibanding Harun? Ataukah kesempurnaan itu membuatnya terlena, melupakan sensitivitas lain termasuk perasaan?
Dibekali kebebasan kentara memaksimalkan kualitas penyutradaraan Hanung. Hasil pengadeganannya penuh kreativitas yang memperkuat dinamika. Kamera bergerak lincah pun beberapa kali memanfaatkan pantulan cermin dengan puncak kebolehan menyusun mise-en-scène tersaji pada sebuah pertengkaran Harun dan Tiana, sedangkan huruf Simbok berdiri di kejauhan sambil merespon. Perpindahan rutin flashback ke masa sekarang pun bergerak rapi, saling menguatkan dan menyokong alih-alih mendistraksi. Tapi poin terbaiknya ialah penyusunan situasi dramatis.
Musik garapan Charlie Meliala dibiarkan melantun merdu sebagai latar, bukan media manipulasi rasa. Bahkan secara umum dikuasai momen terkuat tampil di tengah kesunyian mencekat layaknya bencana yang menghadang tiba-tiba tanpa bisa kita antisipasi. Penampilan para pemain ikut jadi tonggak. Baik selaku tuna netra maupun ketepatan lisan emosi, telah cukup mengingatkan penonton betapa Reza Rahadian merupakan pemain drama terbaik yang jauh meninggalkan generasinya di level berbeda. Ayushita mengimbangi lewat sensibilitas tinggi, dan bukan sebuah kejutan kala Christine Hakim mampu merenggut hati walau cuma muncul beberapa menit.
Sayangnya The Gift menurun ketika menyentuh babak akhir, pasca memindahkan setting ke Italia seiring kehadiran Arie (Dion Wiyoko) mewarnai cinta segitiga, lalu bertransformasi dari drama low-key menuju konflik penuh kebetulan yang bagai hasil kebingungan penulis menyusun konklusi. Belum lagi bumbu kejutan yang diperlukan mencengkeram emosi namun berakhir sebatas shock value akibat kurangnya fase pembangunan. The Gift bukan persembahan terbaik Hanung Bramantyo, tapi cukup menjadi bukti bahwa sang sutradara punya kapasitas lebih dari sekedar meramu tontonan sesuai pakem.
Ini Lho The Gift (2018)
4/
5
Oleh
news flash