Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Cinta Sama Dengan Cindolo Na Tape (2018)

Cinta Sama dengan Cindolo na Tape ialah tontonan membingungkan, canggung, layaknya pertemuan dengan gebetan yang berujung kekacauan, grogi, tidak tahu mesti berkata apa. Akhirnya untuk memberikan maksud sederhana pun sulit, hanya bisa meracau, bicara tidak keruan. Seperti film ini, yang bermaksud memberikan wacana sederhana, bahwa cinta serupa cendol dan tape, walau manis di awal akan busuk jikalau dibiarkan terlalu lama, tapi terbata-bata akhir terjebak dalam narasi tanpa arah pasti.

Film ini melanjutkan kisah film pendek berjudul sama karya Rusmin Nuryadin (kini menjadi penulis naskah) yang beberapa tahun kemudian “meledak” di Makassar. Dua sahabat, Timi (A Thesar Resandy) dan Ian (Brilian Rexy Sondakh), yang di film pendeknya masih siswa SMP, kini telah duduk di dingklik SMA. Hubungan mereka merenggang sesudah Timi merasa menerima imbas jelek dari Ian, yang gemar membolos, malas belajar, dan bergaul dengan berandalan. Singkatnya, Timi ingin bertobat. Sampai tiba Cinde (Maizura), siswi pindahan dari Jakarta, yang seketika merenggut hati Timi, pun sebaliknya.

Ian menganggap kehadiran Cinde membuat Timi melupakannya. Dia bingung, mengapa mitra lamanya menjauh. Ian tidak sendiri. Saya pun bingung, kesulitan memahami jalan pikiran atau motivasi perbuatan semua karakternya. Ambil satu adegan sebagai contoh. Ian mendatangi Cinde, mencurahkan kekesalannya soal perubahan Timi. Cinde mengamini. Namun ketika Cinde coba menenangkan, Ian tersinggung, merasa si gadis malah membela Timi. Lalu Ian pergi sambil tetap mengomel, memaksa Cinde mengaku jikalau bahwasanya ia menyukai Timi. Apa ada cinta segitiga di sini? Tersirat demikian di satu kesempatan, hanya untuk dibantah di kesempatan lain.

Semakin membingungkan, selain akhir naskahnya, juga alasannya ialah ketidakmampuan sutradara Andi Burhamzah bertutur lewat visual dalam debutnya ini. Konon, membisu punya jutaan arti, tapi Cinta Sama dengan Cindolo na Tape membuatnya jadi milyaran alias gagal memberi titik terang. Kesubtilan bisa berujung baik. Artinya sang pencerita menghargai intelegensi penonton, enggan menyuapi mereka. Tapi kesubtilan yang baik mesti mengandung petunjuk-petunjuk yang mengarahkan pemaknaan menuju satu tujuan, pula tidak saling berkontradiksi sebagaimana terjadi di sini.

Penampilan jajaran pemain makin menambah kekusutan, khususnya kala dituntut bicara melalui mimik wajah, yang ketimbang menyiratkan isi hati, justru menegaskan kecanggungan serta ketidaknyamanan di depan kamera. Apalagi sewaktu muncul jeda berhiaskan keheningan. Saya dibentuk bertanya-tanya, apakah ada humor yang hendak menyusul? Apakah ini momen dramatis dikala seseorang begitu terpana? Atau sekedar adegan yang dibiarkan mengalir terlalu usang di ruang penyuntingan? Departemen penyuntingan memang bermasalah.  Banyak adegan dimulai terlalu cepat atau diakhiri terlalu lama. Miskin dinamika, apalagi dikala bersinggungan dengan tukar barang kalimat antara pemain.  Kelemahan yang turut menyulut duduk masalah pada komedinya.

Sebagian humornya berpotensi lucu. Di atas kertas, ide-ide segar Rusmin Nuryadin sanggup dirasakan. Namun ide-ide tersebut secara umum dikuasai berupa humor yang membutuhkan gerak dinamis guna membuat kesan dadakan supaya bisa tampil lucu. Lelucon soal cokelat ialah teladan tepat ketika seluruh kekurangan-kekurangan bersatu membunuh kelucuan komedi. Naskah yang menambahkan obrolan tak perlu pasca punch line, sutradara yang luput memainkan dinamika, penyuntingan yang sekedar “potong-dan-sambung”, sampai akting para pemain yang ada di ambang batas antara deadpan comic atau murni datar.

Sebaliknya, paparan dramanya justru bergerak liar ke sana kemari layaknya setumpuk film pendek dengan huruf sama namun tema berbeda yang dipaksa bersatu. Cinta Sama dengan Cindolo na Tape awalnya cuma kisah cinta biasa berbalut lika-liku dunia remaja: pria bertemu perempuan, sang sahabat cemburu, pertemanan mereka renggang. Itu saja merupakan pondasi solid, tapi kolam merasa belum cukup kompleks, konflik di atas menemukan resolusi di pertengahan durasi, kemudian filmnya berpindah menuju permasalahan berikutnya. Benang merahnya tetap sama. Tetap soal “Cinta ialah cindolo na tape”, tetap membahas para pria “mati kiri” yang dibutakan cinta, melupakan teman-temannya. Tapi serupa karakternya, yakni terpelajar balig cukup akal yang terombang-ambing tak menentu, Cinta Sama dengan Cindolo na Tape bergerak semaunya ke segala penjuru, menggantung penonton dalam ketidakpastian, layaknya selesai pahit sebuah korelasi romansa.

Artikel Terkait

Ini Lho Cinta Sama Dengan Cindolo Na Tape (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email