Friday, November 30, 2018

Ini Lho Animal World (2018)

Animal World punya salah satu trailer paling menipu. Saya berkewajiban mengungkap itu biar anda tidak keliru memasang ekspektasi. Adaptasi lepas dari manga Tobaku Mokushiroku Kaiji karya Nobuyuki Fukumoto ini bukan Deadpoolesque mengenai agresi bertabur warna seorang hero super berkostum badut mirip nampak di banyak sekali bahan promo. Bayangkan Sucker Punch (2011) milik Zack Snyder, tapi dengan sanksi yang tak semata bergantung pada sekuen fantasi, melainkan punya pondasi alur solid yang sedikit menyenggol film-film klasik bertema judi kartu macam God of Gamblers (1989).

Sederet adegan badut menebas monster-monster yang menyemprotkan darah kolam cat beraneka warna berasal dari kondisi mental Zheng Kaisi (Li Yifeng), yang menyebut dirinya gila, dan setiap emosinya tersulut, Zheng akan bertransformasi menjadi hero badut yang sewaktu kecil ia tonton di layar kaca. Tentu semua hanya di kepalanya saja. Monster yang dihadapi pun hanya manifestasi dari orang-orang di sekitar yang mengganggu pikirannya. Nakah buatan Han Yan (Go Away Mr Tumour), yang turut menduduki dingklik sutradara, terang tak menyasar ketepatan presentasi ilmu psikologi, lantaran seiring memuncaknya konflik, sikap Zheng terlalu damai untuk ukuran penderita gangguan emosi.

Zheng terbelit kesulitan finansial. Sang ibu telah koma bertahun-tahun dan ia makin sulit melunasi biaya perawatan rumah sakit. Bantuan kerap didapat dari perawat sekaligus temannya semenjak kecil, Liu Qing (Zhou Dongyu), yang juga merupakan pujaan hati Zheng, namun keuangan cekak membuatnya ragu menyatakan cinta. Putus asa, ia terpaksa mendapatkan “bisikan setan” dari sahabat lamanya, Li Jun (Cao Bingkun) biar menggadaikan apartemen ibunya, hanya untuk mendapati pola kekejaman dunia di mana orang-orang saling tipu dan tikam demi materi.

Singkatnya, Zheng justru terjebak hutang besar, dan untuk melunasinya, ia mesti berada di Animal World, sebuah panggung permainan di kapal pesiar yang dikelola Anderson (Michael Douglas, yang keberadaannya hanya untuk memberi “rasa Hollywood”), di mana para akseptor saling bertarung demi melunasi hutang, sementara orang-orang kaya rahasia menyaksikan dengan nyaman sambil bertaruh siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Walau mirip dunia bawah tanah imajiner, Animal World sejatinya cerminan realita kita. Peserta saling tipu, berkhianat, menanggalkan moral serta nilai-nilai kemanusiaan demi keselamatan pribadi dan (lagi-lagi) materi. Dalam Animal World, Zheng, mirip keseharian kita, menjalani proses sarat ujian. Dia harus bertahan sembari menolong beberapa pihak yang bekerja sama dengannya, di tengah godaan biar memenangkan ego. Perjalanan Zheng pun memunculkan pesan yang tak lekang oleh waktu, bahkan bertambah penting seiring kondisi dunia kita yang makin ibarat Animal World.

Penonton dengan hati nurani tentu berharap Zheng tetap bertahan di jalur, meski penokohannya penuh kesan dadakan. Dari pecundang menyedihkan nan pemalas, ia jadi jeli, taktis, cekatan, bahkan hebat matematika. Belakangan diungkap ayah Zheng merupakan guru matematika, elemen karakterisasi yang urung dijabarkan selaku pondasi di awal, sehingga sulit rasanya pribadi mendapatkan fakta itu begitu saja. Pun status “anak guru matematika” bukan alasan memadahi melihat kompleksitas permainan yang dijalankan, ialah batu-kertas-gunting berbentuk kartu. Tiap akseptor diberi 3 bintang plus 6 kartu yang sanggup bertambah maupun berkurang seiring waktu. Mereka yang sesudah 4 jam mempunyai minimal 3 bintang dan tidak satu pun kartu, dinyatakan lolos.

Terdengar gampang, tapi sebagaimana kita tahu, kartu remi di level pos ronda saja butuh hitung-hitungan rumit kalau ingin menjadi ahli, apalagi ketika nyawa dipertaruhkan dan melibatkan puluhan orang beradu taktik penuh trik psikolologis dan matematika. Terdapat momen-momen kala protagonis kita tersudut, dan sulit menebak bagaimana caranya keluar dari kesulitan itu.  Hebatnya, Han Yan senantiasa memperlihatkan resolusi cerdik, mengakibatkan proses pencarian solusi darurat secara cepat berlangsung menarik berkat penantian atas apa yang bakal dilakukan Zheng berikutnya. Begitu terungkap, kepuasaan selalu saya peroleh.

Barisan taktik kompleks sering Zheng pakai, dan Han Yan coba menjabarkannya lewat kemasan visual kreatif yang turut bertujuan memudahkan pemahaman penonton. Mungkin balasannya tetap sulit mencerna seluruh detailnya, namun sang sutradara telah melaksanakan perjuangan terbaiknya. Sisanya, tinggal mau (dan mampu) atau tidak penonton memperhatikan. Sekali kita menyerap permainannya, Animal World akan menghadirkan pertarungan otak sekaligus mental menarik pula dinamis, yang memudahkan kita memaafkan “promosi tipu-tipu” miliknya.

Di luar yang mempunyai kegunaan memperjelas jalannya permainan, tersebar banyak visual bergaya (termasuk semua adegan agresi brutal Zheng dalam kostum badut) yang sesungguhnya, lebih banyak didominasi kurang substansial. Setidaknya, niat Han Yan membuai mata kita layak diapresiasi. Dia ingin filmnya terlihat menawan, dan itu pula yang terpampang di layar. Kembali, berbeda dengan Snyder di Sukcer Punch yang hanya mengandalkan kemewahan sekuen agresi fantasi guna menutupi kekosongan plot, dalam Anima World, unsur itu berfungsi mempercantik, alias hal sekunder. Meski kalau diajukan pertanyaan “perlukah semua itu?”, saya bakal menjawab, “mungkin tidak”.

Artikel Terkait

Ini Lho Animal World (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email