Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Sara & Fei: Stadhuis Schandaal (2018)

Jika diibaratkan masakan, Sara & Fei: Stadhuis Schandaal berasal dari gagasan ambisius seorang koki untuk membuat nasi goreng ternikmat dengan cara mengumpulkan seluruh materi dan bumbu yang bisa ia temukan di pasar. “Kalau semua materi baku kucampur, tentu bakal membuat kekayaan cita rasa”, begitu pikirnya. Apa daya, ia malah kerepotan, kebingungan, dan kesudahannya justru kwetiau yang tercipta, setengah matang pula. Bukan saja tidak enak, esensi dasar nasi goreng, yaitu “NASI”, turut lenyap. Jadilah bencana. Bencana yang ajaib. Seberapa ajaib? Simak kutipan obrolan berikut, yang melibatkan polisi dan komandannya.

Lapor Komandan, Abimanyu berhasil ditangkap, namun tersangka Chiko BERHASIL MELARIKAN DIRI.”
Kenapa bisa begitu?”
Karena di dikala bersamaan pelaku BERHASIL MELARIKAN DIRI!

Itu sama saja dengan situasi ketika seorang ibu bertanya pada anaknya, “Bagaimana bisa nilai ujian kau jelek?!”, yang dijawab oleh sang anak, “Karena nilai ujian saya jelek”. Apabila pembicaraan di atas terdengar bodoh, asal, konyol, dan inkonklusif, itu alasannya yaitu keseluruhan filmnya pun begitu. Premisnya menarik, mengenai Fei (Amanda Rigby), mahasiswi yang di tengah risetnya seputar sejarah kota renta Batavia, didatangi sosok misterius dari masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, seorang perempuan berjulukan Sara (Tara Adia). Pertemuan itu membuat Fei terlempar ke masa lalu, menyaksikan eksklusif skandal perintaan Sara si perempuan terhormat dengan Peter (Mikey Lie) si prajurit rendahan.

Terdapat cukup modal untuk mengawinkan unsur sejarah dengan fiksi dengan sampul fantasi. Tapi, layaknya koki pada dongeng tadi, naskah buatan Irfan Wijaya bersama Adisurya Abdy (Roman Picisan, Asmara) yang juga merangkap sutradara, berantakan, tanpa tujuan pasti. Perjalanan menembus lorong waktu gres terjadi pasca film menginjak 30 menit. Itu pun cuma sejenak, dan dikemas layaknya video presentasi role play murid-murid SMP, diiringi voice over Sara yang terdengar kolam guru sejarah paruh waktu membacakan buku pegangan plus data-data riset dari internet. Petualangan trio Ustaz Addin-Zidan-Haji Husin di lorong waktu jauh lebih menghibur meski penuh ceramah.

Sudah begitu, volume suaranya selirih bisikan manja seekor semut pemalu yang masih bocah. Musik yang sejatinya dimainkan dalam volume normal pun membabat habis obrolan “keilmuwan” yang diucapkan para pemain dengan tingkat semangat mendekati nol. Jangan buat saya membahas pilihan musik “eksentrik” dari Adisurya Abdy, yang bagai diambil dari katalog tembang nostalgia. Juga jangan buat saya mempertanyakan alasan Danny (Volland Volt)—pria yang disukai Fei meski merupakan rekan kerja ayahnya—menyanyikan Naik Kereta Api kala sedang menggendong Fei.

Padahal, di suatu wawancara, sang sutradara menyebut film ini dibutuhkan bisa menggaet ketertarikan generasa millenial, tapi selera estetikanya terperinci berlawanan dari tujuan tersebut. Senjata lain guna memikat penonton masa sekarang yaitu pemakaian CGI. Ada CGI untuk salju, CGI untuk meriam, CGI untuk benteng, CGI untuk jendela benteng, bahkan sebagai bentuk totalitas, ruang sederhana yang hanya diisi meja, kursi, serta rak berisi buku-buku pun CGI. Mengapa tidak semua lokasi, bahkan karakternya dibentuk menggunakan CGI? James Cameron niscaya bangga.

Sara & Fei: Stadhuis Schandaal sanggup melanglang buana mengambil gambar hingga ke Cina, namun membangun set sederhana untuk halaman benteng beserta sebagian kecil isinya saja tak bersedia. Tunggu? Kenapa film ini turut menyertakan latar Cina? Sebab di situlah Fei dan Danny bertemu. Jika merasa itu membuat fokus kisahnya melebar, tunggu hingga anda bertemu Chiko (Haniv Hawakin), mantan kekasih Fei yang dipekerjakan pebisnis kotor, Abimanyu (Anwar Fuady), untuk meretas sistem perusahaan saingannya. Apa yang diretas menjadi tanda tanya, mengingat ketika Chicko beraksi, kita hanya melihat layar komputer berisi angka serta grafis acak, dan sebuah screen saver bergambar Matrix Digital Rain.

Kisah sejarah, fantasi, romansa, dongeng kriminal, drama keluarga, tak heran jikalau gabungan film ini berantakan. Belum lagi penyuntingan gambar Bimmo DJ (Miss Call, Nyai Ahmad Dahlan) kerap semaunya, di mana adegan acap kali berpindahh meski kalimat atau gerakan karakternya belum tuntas. Kasar dan asal. Jujur saya murung sekaligus geli melihat Sara & Fei: Stadhuis Schandaal. Rasanya mirip melihat bapak-bapak paruh baya, sedang berusaha terlihat modern dan asyik dengan aktif mengirim gambar atau video di grup WhatsApp keluarga. Akhirnya, dikala konsumen nasi goreng yang disuguhi kwetiau tadi bertanya “Nasinya mana???”, saya pun berujar, “Mana unsur sejarah yang bisa dipelajari?”.

Artikel Terkait

Ini Lho Sara & Fei: Stadhuis Schandaal (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email