Di tengah persidangan, Karim (Faizal Hussein) selaku pengacara, bertanya, “Siapa di sini percaya ilmu hitam?”. Hampir semua akseptor sidang mengangkat tangan. Sebagaimana kita, perihal mistis memang lekat dengan kehidupan masyarakat Malaysia. Beberapa menyebutnya kepandiran dalam periode modern, tapi saya melihatnya sebagai aspek kultural unik yang memiliki fungsi. Seperti ketika Dain Said (Bunohan: Return to Murder, Interchange) menimbulkan Dukun karya “eksklusif” yang takkan bisa direplika sineas negeri Barat sehebat apa pun. Aspek supranatural bukan jadi alat penghasil teror saja, melainkan cuilan penting narasi, pula cuilan kehidupan karakternya.
Dukun sendiri terinspirasi dari kasus kasatmata pembunuhan Mona Fandey, dukun sekaligus mantan penyanyi yang membunuh kemudian memutilasi badan salah satu kliennya, politikus Mazlan Idri, menjadi 18 cuilan pada 1993 selaku cuilan ritual. Selepas proses persidangan yang menarik ekspresi dominan seantero negeri, Mona dieksekusi gantung tahun 2001. Keterlibatan nama-nama besar serta konten kontroversial tersebut menciptakan Dukun terhalang perilisannya yang awalnya dijadwalkan pada 2007. Setelah 11 tahun tanpa kejelasan, Dukun akhirnya tayang.
Skenario buatan Huzir Sulaiman sejatinya hanya mengadaptasi lepas, walau beberapa unsur terperinci masih serupa. Pilihan itu hasilnya membuka jalan kisahnya mencampurkan elemen tiga genre: pemeriksaan kasus pembunuhan, thriller ruang persidangan, dan horor supranatural. Menariknya, elemen yang disebut terakhir justru porsinya paling minim, meski nuansa supranatural kental menyelimuti tiap sisi cerita, sehingga menciptakan tiap cabang alur tetap saling terikat.
Nama Mona Fandey diganti Diana Dahlan (Umie Aida). Jauh berbeda? Tidak ketika anda tahu jikalau album debut Mona dahulu mengusung judul Diana I. Sejak awal kita bertemu Diana, ia telah mendekam di penjara pasca menghabisi sang klien, Datuk Jefri (Adlin Aman Ramlie), dengan damai menanti dakwaan, sembari selalu menolak jasa pengacara. Sampai pengacara ke-24, Karim, mengatakan diri demi memperoleh informasi soal puterinya yang hilang. Kali ini Diana beredia. Di kawasan lain, Talib (Nam Ron) dan bawahannya, Shah (Bront Palarae) dari kepolisian, sedang memeriksa kasus tersebut kemudian menemukan setumpuk belakang layar kelam nan mengerikan.
Perlahan ketiga cabang itu bertemu, memuncak di suatu twist seputar relasi terselubung antar-karakter yang terasa beralasan juga masuk akal, berbeda dengan kebanyakan film yang cuma mengandalkan kebetulan dipaksakan. Satu lagi bukti solidnya penulisan Huzir Sulaiman, meski di banyak kesempatan, selipan adegan-adegan pendek yang muncul sambil lalu, menimbulkan fatwa alur kurang nyaman diikuti.
Besar kemungkinan anda takkan menganggap Dukun sebuah horor menyeramkan, walau melihat dari penyutradaraan Dain Said, itu memang pilihan. Dia enggan berusaha keras menakut-nakuti penonton lewat unsur supranatural, namun melukiskannya sebagai pemandangan tidak wajar. Seram atau tidak urusan belakangan. Ketika Diana melaksanakan ritual di sel misalnya, yang jadi wahana Dain Said bermain-main memanfaatkan ruang gelap gulita untuk mengkreasi trik visual. It’s scary for some but not for the others. But I think we can agree that it feels unnatural.
Babak persidangan ialah fase terbaik Dukun. Satu per satu saksi hadir, tiap keterangan divisualisasikan, menggiring kita menuju reka ulang insiden yang menjelaskan kengerian dalam ruang praktek Diana. Semakin banyak protagonisnya berguru perihal kasus itu dari para saksi, semakin kita memahami latar belakang kisanya. Di situ terjadi “pertarungan” Karim melawan jaksa penutut (Chew Kin Wah). Jaksa bersikukuh Diana bersalah, sebaliknya, Karim menyanggah. Argumen mereka berdasar, saya pun tertarik mempertimbangkan versi kebenaran masing-masing, termasuk Karim, di mana selesai hidup Datuk Jefri hanya kecelakaan. Setidaknya sampai kasus digali lebih jauh.
Bagi drama ruang sidang, kemampuan memprovokasi penonton, menghadirkan duduk kasus mengenai dua perspektif berlawanan yang diperdebatkan dalam konfliknya, merupakan wujud kesuksesan. Tapi sulit menyangkal argumen bahwa kesuksesan terbesar film ini ialah penampilan Umie Aida. Terlihat mengerikan, mematikan, dengan senyum yang menolak memudar walau berada di persidangan yang mempertaruhkan nyawanya. Pun beliau tambahkan sensualitas melalui gestur kecil ibarat memilin rambut atau gerakan kepala yang menyiratkan kontrol penuh sarat kepercayaan diri atas segala situasi.
“Aku tidak akan mati”. Demikian kalimat terakhir Mona Fandey sebelum lehernya dijerat tali gantungan. Walau tak dimasukkan di film, namun baik di atas atau di balik layar, kalimat itu terus menggema. Terkait narasi, Dain Said berilmu menggunakannya guna menyusun konklusi supranatural yang sepenuhnya baru, tidak terikat insiden nyatanya. Sementara di balik layar, seiring kontroversi yang membanjiri filmnya, Mona takkan mati. Namanya, riwayatnya, selalu hidup dalam ingatan publik sebagai bomoh (dukun) penebar teror berdarah.
Ini Lho Dukun (2018)
4/
5
Oleh
news flash