Friday, November 30, 2018

Ini Lho Beirut (2018)


Alkisah, pemerintah Amerika Serikat bergantung pada Mason Skiles (Jon Hamm), seorang negosiator, guna membebaskan seorang sandera di Beirut, Lebanon. Sama mirip film Beirut yang mengandalkan wibawa Jon Hamm yang begitu meyakinkan memerankan diplomat Amerika Serikat untuk Lebanon. Bermodalkan wajah tegas, senyum mempesona, ditambah setelan necis, Mason jago bercerita, aktif berkeliling menyapa satu per satu tamu pesta di rumah mewahnya, dan tak sulit melihat betapa cocok Hamm melakoni kiprah ini. Salah satu dongeng yang dituturkan Mason ialah analogi soal Lebanon.

Menurutnya, Lebanon menyerupai rumah berisi orang-orang yang saling tidak percaya. Beirut memang dipenuhi tokoh-tokoh yang mengundang kecurigaan bahkan berkhianat, entah secara sengaja sebagai bentuk ketamakan, atau cuma menjalankan tugas. Hal kedua dialami Cal Riley (Mark Pellegrino) sahabat Mason sekaligus anggota CIA yang terpaksa menahan bocah Lebanon berusia 13 tahun yang Mason dan sang istri, Nadia (Leïla Bekhti), rawat, atas tuduhan terlibat agresi terorisme yang dijalankan kakaknya di Munich. Karim (Idir Chender) nama bocah itu. Tanpa diduga, upaya penangkapan itu berujung bencana yang mengubah hidup Mason, menghempaskannya.
Perubahan bukan saja dialami Mason, alasannya lebih banyak didominasi tokoh film ini identik dengan dua karakteristik, yakni “tidak bisa dipercaya” dan “berubah lantaran perang”. 10 tahun pasca tragedi, Mason kembali ke Amerika, menjalankan profesi sebagai perantara perusahaan, hidup awut-awutan dalam jeratan alkohol. Mason berubah. Pun sehabis kembali ke Beirut, ia mendapati setumpuk perubahan. Kota yang porak poranda akhir perang saudara, juga beberapa orang terdekat yang sekarang berbalik memusuhinya. Beirut sendiri, layaknya analogi soal rumah di atas, terjebak dalam kepentingan politik internasional. Palestina, Israel, Amerika Serikat, tumpah ruah berebut kendali.

Alasan pemerintah Amerika Serikat meminta (baca: memaksa) Mason kembali tak lain lantaran Cal diculik, dan sang pelaku meminta Mason khusus didatangkan sebagai negosiator. Di sana, beberapa perwakilan pemerintahan membantunya, termasuk Sandy Crowder (Rosamund Pike) si distributor lapangan CIA. Sekali lagi, tak ada yang bisa sepenuhnya dipercaya. Perjalanan Beirut selaku hostage thriller dimulai dengan dipandu naskah buatan Tony Gilroy (trilogi The Bourne), yang sebagaimana biasa, penuh sesak oleh setumpuk intrik rumit, yang bisa memberi dua hasil berlawanan: intensitas mencekat atau penonton tersesat. Beirut sayangnya lebih bersahabat ke kelompok kedua. Saling tipu, kejutan, maupun konspirasi terus dituangkan tanpa ada kepedulian apakah penonton mempunyai cukup kesempatan menyerap seluruhnya.
Tidak hanya penonton, Beirut sendiri tersesat, kebingungan memilih fokus, apakah harus mengedepankan hostage thriller atau drama perihal gejolak batin Mason. Poin kedua sejatinya menarik. Walau menyangkal, secara tersirat Mason turut menyalahkan Cal atas bencana yang menimpanya, sementara Cal pun menyalahkan diri sendiri, yang ditengarai menjadi alasannya tetap tinggal di Beirut selama satu dekade terakhir. Tatkala Mason mesti menyelamatkan Cal, berlangsunglah prosesnya berdamai dengan duka, yang semakin berhasil dilalui, semakin cepat pula luka batinnya sembuh.

Di dingklik sutradara, Brad Anderson (The Machinist, The Call), mungkin bukan Paul Greengrass yang mampu menerjemahkan skenario Tony Gilroy menjadi parade intensitas tingkat tinggi, tetapi Beirut tetap solid, walau banyak sekali musik ritmis kaya ketukan perkusi buatan John Debney bakal mengatakan jenis iringan paling klise dalam suguhan thriller yang telah diterapkan dalam ratusan, ribuan, atau malah jutaan tontonan serupa di luar sana. Setidaknya Brad bisa menjaga kerapatan momentum pun mempunyai kepekaan soal bermain timing, di mana adegan meledaknya sebuah bom jadi titik paling menghentak. Jauh lebih menghentak ketimbang keseluruhan filmnya.

Artikel Terkait

Ini Lho Beirut (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email