Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Sui Dhaaga: Made In India (2018)

Poin fatal Sui Dhaaga: Made in India—yang terperinci bermaksud menjadi tontonan inspiratif—adalah pilihannya untuk terlalu bersandar pada penderitaan serta ketidakberdayaan, dan kurang berhasil menyeimbangkannya dengan penebusan uplifting. Bahkan dikala datang di momen tersebut, filmnya urung menyentuh emosi maksimal, entah diakibatkan elemen di luar nalar atau tergesa-gesa menjatuhkan karakternya lagi ke dalam jurang kepahitan sebelum mereka (dan penonton) berkesempatan menikmati kebahagiaan barang sejenak.

Bukan berarti menampilkan penderitaan berkepanjangan diharamkan dalam tontonan inspirasional. Apalagi Sui Dhaaga: Made in India mengisahkan pergumulan si miskin memperbaiki hidup dan bagaimana mereka diperalat oleh si kaya yang lebih berpendidikan. Tapi semenjak awal, sutradara sekaligus penulis naskah, Sharat Katariya (Dum Laga Ke Haisha), telah tetapkan suatu tone, yang seiring perjalanan, gagal dijaga konsistensinya. Tone yang dibawa oleh kalimat andalan protagonisnya: “It’s all good”.

Mauji (Varun Dhawan) selalu berpikiran positif, tersenyum, berkata “It’s all good”, meski faktanya, tinggal bersama keluarganya dalam kesulitan ekonomi, jarang berinteraksi dengan sang istri, Mamta (Anushka Sharma) akhir rutinitas tak bersahabat, pula diperlakukan (literally) layaknya anjing oleh pemilik toko mesin jahit tempatnya bekerja. Melalui Mauji, Sharat Katariya bagai mengajak penonton menengok penderitaan masyarakat ekonomi kelas bawah, tapi alih-alih perspektif sarat ratapan,  ia memakaikan kita kacamata penuh romantisme, sehingga bisa menertawakan segala pemandangannya.

Mauji kerap terlibat cekcok dengan ayahnya (Raghubir Yadav), yang menganggapnya anak pemalas tidak berguna, namun bukan pertengkaran panas yang nampak, melainkan tukar barang sindiran-sindiran tajam berisi pilihan kata-kata menggelitik. Ayah dan anak ini kolam punya stok olok-olokan tanpa batas untuk satu sama lain. Pun tatkala sang ibu (Yamini Das) jatuh di dapur sebab serangan jantung, kecemasan keluarga justru mengundang tawa berkat sikap jenaka. Pendekatan yang menunjukan kesetiaan filmnya pada semangat “It’s all good” yang ditanam semenjak permulaan.

Bahkan tragedi alam sakitnya sang ibu justru secara mengejutkan memunculkan keinginan gres bagi Mauji untuk menata ulang kehidupannya. Didorong oleh Mamta, Mauji berhasrat menjadi penjahit meski mendapat saingan ayahnya, mengingat dahulu, perjuangan jahit sang kakek gulung tikar dan menggiring keluarganya menuju kemiskinan. Ini yakni ukiran dua sudut pandang. Mereka yang jengah diinjak-injak (Mauji dan Mamta) “melawan” mereka yang menerima, merendahkan diri demi bertahan hidup (orang bau tanah Mauji). Kedua sudut pandang sanggup dimengerti, walau terperinci Sharat berpihak ke mana.

Dia ingin kita mendukung mereka yang berjuang. Dia ingin kita menaruh iba pada kegagalan mereka sembari membenci para penindas. Dia ingin kita terhanyut tatkala protagonisnya terjatuh menuju lubang gelap, kemudian mendukung usahanya untuk memanjat ke permukaan. Masalahnya, Sharat mengurung karakternya terlau usang di kegelapan, kemudian berulang kali mematahkan pendakiannya tiap kali mereka mulai melihat cahaya. Pendekatan “gali lubang tutup lubang” ini menghalangi progres sehingga terasa melelahkan. Sui Dhaaga: Made in India menghabiskan second act sebagai melodrama, mengenyahkan semangat “It’s all good” yang diusung.

Padahal paruh terbaik film ini selalu berpusat pada momen keceriaan, contohnya lewat sebuah adegan musikal yang efektif memancing senyum berkat koreografi sederhana yang memanfaatkan keselarasan musik dengan goyangan kepala penumpang dikala bus bergetar melewati jalan terjal. Sewaktu kejenakaan keluarga Mauji lenyap ditutupi kegelapan, Anushka Sharma hadir sebagai penyelamat. Dengan senyum lebar yang sanggup menebar aura aktual ke seluruh penjuru ruangan, Anushka Sharma bagai tiang penyangga kokoh yang bisa menahan biar penonton tak memalingkan hati dari karakternya, sebagaimana Mamta setia menjaga api semangat suaminya.

Intensitas sempat berdiri memasuki paruh akhir, bersamaan dengan kembalinya keinginan sekaligus keceriaan para tokoh. Sampai gebrakan emosi yang dinanti-nanti tak kunjung datang akhir suatu ketidaklogisan. Mauji memang penjahit berbakat, tetapi tidak berarti ia, dengan keterbatasan rujukan serta informasi, bisa membuat rancangan baju layaknya desainer ternama. Masalah  bukan terletak pada kualitas, melainkan gaya. Ini pun kepingan inkonsistensi. Setelah meluangkan sebagian besar durasi memaparkan realita minim “pemanis” Sharat Katariya justru menutup filmnya dengan nuansa berlawanan.

Artikel Terkait

Ini Lho Sui Dhaaga: Made In India (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email