Friday, November 30, 2018

Ini Lho Skyscraper (2018)

Skyscraper is one hell of a stupid movie. Bahkan jikalau disandingkan bersama judul-judul lain yang dibintangi Dwayne Johnson, sebutlah G.I. Joe: Retaliation, San Andreas, sampai Rampage. Saya bisa, bahkan harus mentoleransi kemampuan para karakter, yang sanggup melompat lebih jauh dari atlet lompat jauh dan punya refleks bergelantungan lebih berpengaruh dibanding jagoan gimnastik. Semua demi terciptanya blockbuster popcorn. Tapi ketika gedung pencakar langit tertinggi di dunia yang membuat Burj Khalifa tampak kolam tiang panjat pinang sanggup diambil alih menggunakan seni administrasi non-imajinatif sedemikian mudah, saya pun yakin toleransi terhadap kebodohan demi eskapisme ada batasnya.

Namun ini filmnya Dwayne “The Rock” Johnson, yang berkat ototnya bisa membabat habis musuh-musuhnya, sebagaimana karismanya selaku action hero membabat rasa janggal yang menyelimuti otak tiap kali kebodohan menyeruak. Johnson memerankan Will Sawyer, mantan anggota FBI yang mesti kehilangan kaki kanannya pasca sebuah misi berakhir fatal. 10 tahun berselang, sesudah menikahi Sarah (Neve Campbell) dan dianugerahi dua anak, Will menjadi kepala keamanan “The Pearl”, gedung tertinggi di dunia sekaligus arkologi yang terletak di Hong Kong. Dengan status tersebut, masuk akal jikalau berasumsi sistem keamanannya kelas satu. Pun empunya gedung,  Zhao (Chin Han), berpikiran demikian.

Sampai sekelompok teroris beraksi, menguasai sentra kontrol yang berada di luar gedung secara mudah, seolah keamanannya didesain oleh seorang amatiran. Poin ini bisa dimaafkan, sebab fungsinya sebagai pembuka jalan. Ini ialah kebodohan yang diperlukan. Tapi tatkala sutradara Rawson Marshall Thurber (We’re the Millers, Central Intelligence) yang merangkap penulis naskah menyuapi penonton dengan kebodohan nyaris di tiap persimpangan guna menjaga alurnya berjalan, rasanya berlebihan. Di satu titik misalnya, Zhao disudutkan oleh teroris, sementara bodyguard-nya belakang layar siap menarik pelatuk. Belum waktunya Zhao tertangkap, namun si teroris belum boleh dihabisi pula. Apa yang terjadi berikutnya membuat garuk-garuk kepala.

Blockbuster popcorn yang baik, menempatkan abjad dalam situasi di mana opsi menipis dan mereka menyelamatkan diri dengan cara-cara tak masuk akal. Sedangkan di Skyscraper, bahaya hadir akhir kebodohan karakternya sendiri. Bagi Thurber, tak dilema terlalu banyak kebodohan asal agresi bombastis sanggup terus berjalan. Puncak “The Pearl” mempunyai ruang berbentuk mutiara, yang berdasarkan Zhaoe patut disebut keajaiban dunia kedelapan. Apa gunanya bagi gedung itu patut dipertanyakan, yang terang ruangan ini ada sebab Thurber ingin membuat titik puncak berupa versi futuristik dari Enter the Dragon (1973). Sebelumnya, ia pun menampilkan “versi murah” dari momen ikonik Tom Cruise di Mission: Impossible – Ghost Protocol (2011). Bedanya, ini kental CGI.

Tapi Dywane Johnson tetap Dwayne Johnson, yang membuat segalanya terasa mungkin. Bukan berarti saya yakin ia bisa melompat dari crane besar menuju gedung pencakar langit, tetapi dalam realita film hiburan, di mana situasi tak masuk akal perlu diterima demi kepuasan, Johnson termasuk satu dari sedikit pemain film kini yang membuat penonton takkan berat hati mendapatkan hal-hal di luar budi itu. Thurber memahami kelebihan aktornya, kemudian melimpahkan setumpuk agresi bombastis untuk dilakoni. Walau visi Thurber soal “kehancuran masal yang melibatkan The Rock” belum sehebat Brad Peyton (San Andreas, Rampage), pun secara mengejutkan kuantitasnya tak terlampau padat, gugusan tabrak over-the-top milik Skyscraper cukup menjadi obat yang ampuh menetralisir pusing akhir kebodohan filmnya.

Kelebihan utama Thurber justru bukan merajut kesan bombastis (pilihan sudut gambarnya kurang “memuja” kehancuran megah layaknya Peyton), melainkan timing. Thurber tahu kapan mesti memunculkan sebuah momen semoga menghentak, mengejutkan, bahkan menegangkan, tidak peduli seberapa jauh momen itu dari nalar. Kebodohan Skyscraper memang kerap keterlaluan, namun kombinasi Thurber-Johnson di tatanan tabrak nyatanya bukan bencana. Hukumnya selalu sama: ketika anda mendatangi bioskop murni mencari hiburan, kemudian melihat wajah Dwayne Johnson di poster, tak perlu mengecek premis atau judul. Santap saja, dan menyerupai narkoba, kenikmatan sesaat pasti anda rasakan.

Artikel Terkait

Ini Lho Skyscraper (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email