Saya menggemari sepak bola cukup usang (hampir 2 dekade) untuk tahu bahwa Gold mengeksplorasi ragam intriknya, khususnya yang terjadi di luar lapangan dengan baik. Tapi bukankah film ini mengangkat soal hoki lapangan? Benar, tapi kedua cabang olahraga tersebut menunjukkan dinamika senada. Sama-sama dimainkan secara tim, dan—sebagaimana olahraga lain—memiliki federasi di tiap negara. Terpenting, keduanya sama-sama bisa menyatukang bangsa yang terpecah belah.
Berbeda dibanding fillm olahraga kebanyakan, karya pertama sutradara Reema Kagti semenjak Talaash: The Answer Lies Within enam tahun kemudian ini dibuka oleh keberhasilan protagonisnya meraih gelar juara. Pada Olimpiade 1936 di Berlin, India merebut medali emas hoki lapangan untuk kali ketiga beruntun. Tapi baik bagi para atlet atau sang manajer, Tapan Das (Akshay Kumar), kemenangan itu terasa hambar, lantaran diraih di bawah nama British India. Saat itu India memang masih dijajah Inggris. Tapan pun bermimpi suatu hari, pasca kemerdekaan, tim nasional bakal menyabet emas Olimpiade dengan nama India, mengibarkan bendera India, menyanyikan lagu kebangsaan India ketimbang God Save the Queen.
Sampai Perang Dunia II meletus, dua penyelenggaraan Olimpiade pun dibatalkan, menghancurkan mimpi sekaligus kehidupan Tapan yang sekarang hanya pemabuk dengan setumpuk hutang. Maka tatkala Olimpiade 1948 di London resmi diumukan, ia menunjukkan diri memimpin tim hoki lapangan India untuk meraih emas sekaligus mengalahkan para penjajah di negerinya sendiri. Balas dendam sehabis penindasan 200 tahun pun dicanangkan. Dari sosok “hero”, Tapan sempat terjerumus menjadi “zero”, kemudian berusaha meraih status “hero” kembali.
Kita tahu nantinya Tapan bakal dianggap pahlawan lagi, namun jalan menuju ke sana tidak sesederhana itu. Beberapa pemain, termasuk Samrat (Kunal Kapoor) sang legenda hoki India pula kapten timnas 8 tahun lalu, telah tetapkan pensiun. Tapan harus membentuk tim baru, yang tentu menyimpan setumpuk rintangan termasuk wacana finansial. Ketua federasi mendukung 100%, tapi Mr. Mehta (Atul Kale) selaku sekretaris justru berusaha sekuat tenaga menyingirkan Tapan dengan mengeksploitasi gambaran buruknya. Bukan diam-diam kalau musuh terbesar atlet negara bukan lawan di turnamen melainkan para petinggi yang terlampau campur tangan entah demi kepentingan pribadi atau golongan. Bentuk campur tangan mereka bahkan hingga pada keputusan di ruang ganti. Gold memberi kita visualisasi akan skenario tersebut.
Masalah seputar pemain tak kalah runyam. Skuat sudah terkumpul hanya untuk terpecah, yang ironisnya akhir kemerdekaan, di mana sebagian besar anggota tim menjadi warga negara Pakistan. Belum lagi pertikaian dua pemain andalan, si kaya Raghubir Pratap Singh (Amit Sadh) dengan Himmat Singh (Sunny Kaushal), lantaran berebut posisi penyerang. Sedangkan pemain lain turut terbagi dalam kubu sesuai suku serta kawasan masing-masing. Beranjak dari situ, naskah buatan Rajesh Devraj menjabarkan nilai sportivitas pertama, ialah soal kolaborasi tim. Dan sebagai film olahraga yang baik, Gold menunjukkan solusi atas kasus di atas lewat suatu metode latihan, yang efektif menjelaskan pesannya baik pada para atlet maupun penonton. Tentu kenyataannya takkan sesederhana itu. Sekali latihan tidak mungkin menuntaskan segalanya. Namun dalam realita film yang terbatas durasi, selama intisari berhasil disampaikan, itu sudah cukup.
Kembali mengenai perebutan posisi Raghubir-Himmat, tiba nilai sportivitas berikutnya, mengenai kesabaran serta kesediaan mengesampingkan ego. Hal begini jamak terjadi. Salah satu pemain dicadangkan atau dimainkan di posisi yang tak diinginkan, sehingga ia tetapkan menyerah, menyulut masalah, atau pergi dari tim. Saat balasannya Raghubir dan Himmat sanggup menyiasati problem itu untuk bersatu demi bangsa, emosi saya pun ikut bergejolak.
Gold membawa penonton menuju roller coaster emosi. Penyutradaraan Reema Kagti terhadap momen pertandingan memang tidak spesial. Kadang pilihan sudut kamera kurang mengakomodasi para pemain pamer kemampuan atau agresi saling oper bagus selaku bukti bahwa tim mulai padu. Tetapi ketegangan tetap setia mencengkeram, alasannya usaha protagonisnya gampang menggaet simpati. Saya ingin tim nasional India membawa pulang medali emas. Kaprikornus jangan heran kalau tiap mereka mencetak gol atau memenangkan pertandingan, air mata haru turut mengalir.
Anda tidak sendiri. Akshay Kumar hadir untuk menangis, meluapkan amarah, dan berteriak menggugah semangat juang bersama penonton. Setelah Pad Man di awal tahun (dan formasi performa memukau tahun-tahun sebelumnya), sekali lagi Akshay menampilkan raut wajah yang terasa begitu jujur berekspresi, alhasil penonton dibentuk mencicipi emosi serupa. Pun beliau suntikkan ajaran energi dalam beberapa sekuen musikal. Deretan lagunya diproduksi oleh Zee Music Company, sehingga anda bisa berekspektasi mendengar nomor-nomor yang begitu erat di telinga.
Momen pamungkasnya menentukan pendekatan kontemplatif ketimbang euforia total. Melihat proses yang Tapan lalui, pilihan tersebut sanggup dimengerti walau menciptakan konklusinya urung mencapai puncak potensi emosi. Tapi jika—seperti saya—anda menyaksikan Gold bersama warga atau keturunan India, saat lagu kebangsaan terdengar di penghujung film dan mereka mulai bangun (budaya yang mestinya bisa kita contoh), “hutang emosi” film ini rasanya pribadi terbayar lunas. Konflik ras serta agama boleh memecah masyarakat, bahkan lebih buruk, menghancurkan bangsa. Tapi Gold memastikan, bahwa olahraga, atau dalam konteks ini hoki, siap merekatkan semuanya.
Ini Lho Gold (2018)
4/
5
Oleh
news flash