Thursday, November 29, 2018

Ini Lho Asih (2018)

Asih membuktikan 2 hal: Awi Suryadi (dwilogi Danur) selalu berusaha memperbaiki kekurangannya dan ia pantas menerima franchise, atau setidaknya naskah yang lebih baik. Pasca sekelumit peningkatan di Danur 2: Maddah, di sini Awi menyempurnakan penyutradaraannya, tahu kapan waktunya memainkan keheningan guna membangun atmosfer, kapan mengejutkan penonton lewat jump scare, serta bagaimana melakukannya. Patut disayangkan departemen naskah mencoreng pencapaian tersebut.

Bertindak selaku prekuel yang terjadi 37 tahun sebelum film pertama, Asih mengisahkan asal-usul sang titular character (Shareefa Daanish), meski pada kenyataannya, elemen itu cuma muncul dalam satu flashback singkat. Naskah buatan Lele Laila (Keluarga Tak Kasat Mata, dwilogi Danur), yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Risa Saraswati, bahkan tidak berupaya menjelaskan keperluan selipan fakta mengenai perubahan nama Kasih menjad Asih, sebuah isu yang tak berperan dalam keseluruhan plot.

Sisanya serupa judul-judul lain di Danur Universe, yakni kompilasi teror demi teror yang ditempel paksa tanpa dongeng besar lengan berkuasa sebagai perekat. Setelah adegan pembuka kala Asih membunuh bayinya sebelum balasannya bunuh diri, kita dibawa mengunjungi satu keluarga kecil: pasangan suami-istri, Puspita (Citra Kirana) dan Andi (Darius Sinathrya) beserta sang ibu (Marini Soerjosoemarno). Pasutri ini tengah menanti kelahiran anak pertama mereka. Protagonis yang akan mempunyai bayi ketika sang antagonis kehilangan bayi terang bukan mengambarkan baik.

Asih menebar beberapa benih konflik menarik di awal. Kepikunan ditambah penglihatan Ibunda Andi yang mulai menurun, rasa takut berlebih Puspita akhir mendengar dongeng mistis dari sang bidan (Djenar Maesa Ayu), semua itu lebih dari cukup selaku pangkal perpecahan keluarga yang diakibatkan kejadian mistis, atau tepatnya, ketakutan terhadapnya. Tapi benih-benih menjanjikan itu ditinggal begitu saja seiring penolakan penulis naskah untuk repot-repot membuat dongeng sungguhan. Menjaga supaya filmnya terus berjalan (baca: mengisi durasi) merupakan fokus tunggal.

Poin menarik naskah Asih hanya dikala beberapa kepercayaan mistis lokal turut mengambil peran, yang sanggup menghadirkan rasa ngeri bagi penonton yang familiar dengan hal-hal macam bunyi anak ayam atau tiang listrik yang dipukul. Sisanya nihil. Usaha menjembatani film ini dengan Danur: I Can See Ghosts (2017) pun berujung kekonyolan. Mengapa Asih meningglkan sisirnya?

Di sinilah kapasitas Awi mengambil alih. Dibebani kiprah menghabiskan durasi (yang cuma 77 menit), sang sutradara meninggalkan pendekatan mengesalkan yang jadi andalan seri Danur, di mana jump scare berisik menghantam tiap beberapa detik. Kali ini Awi justru berani menyusun atmosfer melalui keheningan plus lagu Indung Indung yang terdengar lebih creepy dibanding Boneka Abdi.

Begitu Asih muncul, musik garapan Ricky Lionardi (Sakral, Rasuk) menolak latah untuk pribadi menggebrak. Awi menyimpan gebrakan itu khusus bagi gugusan “menu utama” ketika jump scare dilontarkan pada kesempatan  tak terduga, yang sesuai formula di “Buku Panduan James Wan”, dikala para hantu bukan sekedar “setor muka”, melainkan menyerang secara agresif. Saya terenta beberapa kali dibuatnya. Bahkan, Awi sanggup memberi sebuah momen yang benar-benar menyeramkan, bukan sebatas mengagetkan. Momen itu berupa sekelebat penampakan Asih, yang mungkin takkan disadari banyak penonton.

Sayang, sekali lagi, pencapaian Awi “dikhianati” kemalasan skenarionya begitu Asih memasuki babak ketiga yang kolam tanpa puncak intensitas. Seolah filmnya usai alasannya yakni penulis naskahnya sudah kehabisan ide, membiarkan teror Asih tidak boleh oleh doa ala kadarnya dan teriakan karakter. Secara menyeluruh, Asih memang membuktikan bahwa seri Danur, walau perlahan, konsisten mengalami peningkatan. Namun bila mereka tak kunjung memperbaiki kualitas naskah, sulit membayangkan franchise ini bakal memproduksi installment yang layak menyandang status “film bagus”. Sementara, paling tidak Asih bukan satu lagi horor berisik mengesalkan atau parade repetitif bagi lisan abnormal Shareefa Daanish.

Artikel Terkait

Ini Lho Asih (2018)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email